IP Mahasiswa: Antara Sial dan Beruntung
IP Mahasiswa: Antara Sial dan Beruntung
Galuh Riyan Fareza
"Dimana ada orang beruntung, maka di situ akan ada orang sial. Dan dimana ada orang bahagia, pasti di situ akan ada orang yang sedih juga. Ini adalah sebab akibat dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Itulah kehidupan sesungguhnya, dan kita manusia harus rela menerimanya.”
Baru-baru ini, banyak mahasiswa di Kampus IAIN Jember yang digegerkan dengan hasil IP mereka yang amburadul. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa IP yang mereka peroleh tidak sesuai dengan apa yang telah mereka perjuangkan. Tidak sedikit mahasiswa yang kecewa ketika tahu bahwa IP mereka meleset dari sasaran. Banyak argumen dari mahasiswa datang yang menyebutkan bahwa padahal saya kuliah rajin, tugas tidak pernah absen, dan aktif dalam presentasi, tetapi mengapa IP saya segitu-gitu saja? Tetapi di sisi lain, tidak sedikit juga mahasiswa yang merasa bahagia dan beruntung karena IP nya diluar ekspektasi seperti itu. Padahal kuliahnya iya hanya gitu-gitu saja, tetapi kenapa IP nya bisa bagus.
IP adalah jumlah bobot nilai (4-0) yang diakumulasikan dengan melihat nilai masing-masing matakuliah yang diterima, kemudian dibagi dengan banyaknya jumlah SKS. Dengan mendapatkan IP yang tinggi atau cum load katakanlah, tentu ini sangat mempengaruhi cepat atau tidaknya seorang mahasiswa akan diwisuda. Karena dengan IP yang cum load, mahasiswa dapat mengambil beban SKS lebih banyak yakni maksimum 24 SKS dan dapat diprediksikan lulus tepat waktu. Jelas di sini, bahwa keberadaan IP telah menjadi magnet tersendiri di dalam dunia perkuliahan. Namun untuk mendapatkan IP sering sekali terjadi kontroversi di kalangan para mahasiswa, ada mahasiswa yang beruntung dan ada juga yang sial.
Mahasiswa dalam hal IP sering dikaitkan dengan dua hal, yakni kesialan dan keberuntungan. Ada mahasiswa yang beruntung dan ada juga yang sial. Tidak sedikit memang mahasiswa yang beruntung dalam mendapatkan IP. Info ini saya dapatkan langsung dari mulut mahasiswa ke mulut mahasiswa IAIN Jember. Padahal kuliahnya hanya 3D (Datang, Duduk, Diam). Yang penting absen jalan dan tugas tidak ketinggalan. Lucunya mahasiswa yang beruntung tersebut ada yang sadar kalau dia tidak layak untuk mendapat IP yang bagus, tetapi tidak melayangkan protes atau banding ke dosen begitu. Namun di satu sisi, tidak sedikit juga mahasiswa yang sial dalam mendapatkan IP. Padahal jika aju banding, mereka sangat layak sekali untuk mendapatkan IP yang bagus menurut saya.
Hal yang menarik bagi saya adalah saat penantian IP yang diumumkan melalui siakad online. Karena sifatnya yang online, tidak sedikit mahasiswa yang terus menunggu dan terus menunggu sampai nilai pada siakad keluar. Saking khawatirnya atau apa yang lain saya tidak faham. Bahkan mereka rela menunggu dari pagi sampai pagi demi tahu nilai dan IP berapakah yang akan mereka dapatkan. Dari sini kita sebenarnya dapat mengetahui mana mahsiswa yang giat mencari ilmu dan mana yang giat mencari nilai. Kalaupun memang mahasiswa dikonstruks untuk mencari nilai, maka hilanglah fungsi kampus sebagai cakrawala ilmu. Iya betul, karena mahasiswa bukan dididik untuk berilmu tetapi dididik untuk bersaing dalam mendapatkan nilai atau IP sebaik-baik mungkin. Nah, oleh karena itu jangan heran jikalau nanti banyak mahasiswa ember bocor di Indonesia. (Selengkapnya baca tulisan saya yang berjudul "Mahasiswa Ember Bocor")
Dalam kasus IP ini, kira-kira siapa yang memiliki peran penting atau andil besar dalam menentukan IP mahasiswa? Jelas semua ada di tangan dosen. Karena dosenlah yang memberikan nilai, bukan? Nah, permasalahannya ialah bagaimana cara sang dosen tersebut memberi nilai mahasiswanya? Bisa lewat cara fair-play, obral nilai, pak-pak-tung atau cara yang lain. Karena ada salah satu dosen saya, sengaja tidak saya sebutkan namanya. Beliau tanya kepada saya saat saya sedang mengurusi KRS di Kampus "hei mana laporannya, kok gak dibuat? Hari Jumat yang lalu saya ajak kumpulan nyari kelas sebentar, banyak yang pulang katanya. Kesal saya, ya akhirnya saya kasih A semua sudah" kurang lebih seperti itu kata beliau. Lalu dengan enteng saya nyeletuk "kenapa dikasih A semua pak? Kalau memang layak dikasih C, ya kasih C saja pak!" Beliau berkata lagi "ah janganlah kasihan, nanti saya diprotes banyak mahasiswa lagi, toh mereka juga kemari bayar Rp 1.300.000, kasihan kalau cuma dapat B, apalagi C kan?" Saya jawab lagi "oh berarti kalau begitu nilai itu dibeli ya pak?" (Dengan suara keras agak sedikit menghina pas didepan mata sang dosen tersebut). Akhirnya saya dijewer di hadapan banyak dosen karena dianggap apa saya lupa sudah. Pencitraan atau apa pokoknya begitu. Intinya saat dijewer, telinga saya tidak patah gitu saja.
Dalam hal ini yang saya khawatirkan adalah dampak jangka panjangnya. Karena dengan mendapat nilai bagus di awal dan dengan cara yang tidak wajar akan membuat si mahasiswa menyepelekan kedepannya. Halah sudahlah nanti bakal juga dapat A itu kalimat yang sering saya dengar selama menuntut ilmu di perguruan tinggi. Jujur bahkan saya pribadi juga pernah mengucapkannya. Mungkin para pembaca juga demikian.
Berdasarkan catatan saya, ada dua kemungkinan di balik sebuah kemungkinan yang menyebabkan baik buruknya IP mahasiswa. Kemungkinan pertama adalah dari dosen, mengapa demikian? Karena bagi saya dosenlah yang memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam menentukan IP mahasiwa. Misal dosennya datang ke kampus disiplin, terbuka dalam hal apapun, selalu absen mahasiswa satu per satu setiap tatap muka, dan ramah terhadap mahasiswanya. Tentu tipe dosen seperti ini dikelas akan tahu mana mahasiswa yang benar-benar layak diberi nilai bagus dan tidak. Mana mahasiswa yang rajin masuk kuliah dan sering bolos akan tahu beliau. Saya juga yakin 90% penilainnya akan akurat. Sehingga dalam hal ini tidak akan ada mahasiswa yang dirugikan kembali. Penilaiannya akan menjadi objektif tanpa noda membandel.
Lain halnya dengan dosen yang hanya menggugurkan kewajiban dalam mengajar di dalam kelas. Tidak memberikan perhatian lebih terhadap mahasiswa, masuk kelas tidak pernah absen mahasiswanya, dari 14 pertemuan dosen hanya ngajar empat kali. Lah, terus dari mana beliau dapat kenal atau tahu mana mahasiswa yang benar-benar layak diberi nilai bagus dan mana yang tidak. Penilainnya pasti ditentukan dengan melihat nilai UTS dan UAS atau bisa jadi bersifat subjektif. Karena saya pribadi yang kuliah mulai dari semester satu sampai enam sekarang, tidak pernah melihat satupun dosen yang membagikan hasil UTS dan UAS pada saya secara langsung di dalam kelas. Mungkin para pembaca juga merasakan hal yang sama dengan saya. Nah, terus dari mana saya dapat mengetahui nilai saya kalau seperti itu? Dari siakad? Apakah kevalidannya sudah benar-benar teruji. Nah, takutnya disini terjadi hal-hal yang tidak diharapkan begitu. Mahasiswa yang suka caper langsung diberi A, mahasiswa yang sok rajin di depan dosen langsung dikasih A juga, mahasiswa yang aktif bertanya sedangkan ditanya kembali apakah ada sanggahan atau tidak, dia jawab tidak langsung diberi A, mahasiswa yang pandai tetapi saat masuk kelas tidak pernah cium tangan dosen atau sering telat dikasih B. Akhirnya dalam memberikan penilaian, terjadi kontroversi disini. Ada mahasiswa yang beruntung dan ada juga mahasiswa yang sial nantinya dalam mendapatkan IP.
Di awal pertemuan pertama, banyak dosen selalu menyampaikan kontrak kuliah, sistematika penilaian, tata cara perizinan, dan lain sebagainya. Menurut saya itu bohong, karena beliau sebenarnya ingin mengulur waktu, hanya menggugurkan kewajiban karena kan ada check-lock itu, dan juga tidak tahu pertemuan pertama harus diisi kuliah apa. Atau mengkin hanya ikut-ikut dosen yang lain, karena banyak dosen yang melakukan hal demikian. Tahu-tahu minggu depan sudah suruh presentasi, referensi tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih begitu. Intinya menngugurkan kewajiban, karena berdasarkan pengalaman yang saya alami, apa yang dikatakan beberapa dosen diawal dan di akhir itu jauh berbeda sekali. Beberapa dosen di awal pertemuan mengatakan bahwa presensi dinilai 10%, keaktifan dalam presentasi dinilai 20%, UTS 35%, dan UAS 35%. Tetapi selalunya nanti akan ada tugas-tugas tidak terduga dan tugas akhir. Nah pertanyaan saya, tugas-tugas itu mau diberi presentase berapa terus? 0%? Kan tidak mungkin.
Tetapi perlu diketahui bahwa dosen yang profesional berbeda, beliau lebih memilih untuk tidak hadir di awal pertemuan daripada hanya omong kosong belaka. Bahkan ada juga dosen yang menurut saya profesional, pertemuan pertama beliau langsung memberikan gambaran umum tentang mata kuliah yang akan dipelajari. Beliau tidak menjelaskan kontrak belajar, penilaian dan lain sebagainya. Karena mungkin menurut beliau itu lebih cocok untuk MABA. Selera MABA sekali itu. Saya jadi ingat waktu MABA dulu, disuruh maju depan kelas untuk perkenalan tidak jelas. Sudah perkenalan, keesokan harinya dosennya masih tanya dan belum kenal siapa nama saya seperti itu. Dan menurut saya ini lucu sekali.
Percaya atau tidak, penilaian dari dosen itu rata-rata mengacu pada hasil UAS. Sedangkan kita tahu bahwa UAS pada mata kuliah tertentu itu terkadang ada yang disuruh bawa pulang, ada yang open book, dikerjakan tidak secara individu tetapi berkelompok seperti buat video misalnya, kalaupun dikerjakan di kelas ya ujung-ujungnya pasti ada yang nyontek. Saya tanya, UAS macam apa itu saudara? Intinya anggap semua itu tidak jelas begitu sajalah. Saya mengutarakan hal demikian bukan karena saya mau kurang ajar sama dosen, tetapi itu memang benar-benar terjadi menurut pengalaman saya selama menjadi mahasiswa di Kampus tercinta IAIN Jember. Jadi misalnya nanti ada dosen yang memberikan penjelasan kontrak belajar dan sistematika penilaian di kelas, jangan dianggap terlalu serius saja begitu. Karena nanti UAS-lah disini yang akan memiliki presentase 100%. Nikmati semua hidangan yang disajikan saja!
Kemungkinan kedua disini adalah mahasiswa. Karena sering saya temui dan menurut info juga, tidak sedikit mahasiswa yang pandai mencari muka di depan dosen. Sehingga nanti itu akan mempengaruhi nilai mereka ke depan. Berbeda dengan mahasiswa yang pandai, kebanyakan dari mereka lebih suka diam tetapi tidak mendiamkan diri. Karena diam tadi, namanya tidak diingat dosen sehingga berpengaruh juga terhadap IP yang akan dia dapatkan. Bisa jadi mahasiswa yang beruntung mendapatkan nilai itu adalah seorang koordinator kelas. Percaya atau tidak, banyak ternyata koordinator mendapat nilai bagus karena sering berhubungan atau kontak dengan dosen mengenai tugas atau jam perkuliahan. Sehingga namanya diingat, akhirnya dapat nilai bagus. Namun yang tidak menjadi koordinator ini riskan mendapatkan kesialan, terlebih di kelas hanya diam walaupun dia pandai sekali pun.
Kita sebagai mahasiswa ketika merasa dirugikan atau sial karena mendapatkan IP yang tidak sesuai harapan, mahasiswa harus sadar diri juga dong. Apa yang telah dilakukan selama ini saat kuliah itu benar atau tidak? Jangan mentang-mentang dapat IP yang tidak bagus, terus seenaknya menyalahkan dosen. Karena dosen juga manusia. Belum lagi dosen memiliki kesibukan yang lain seperti melakukan riset di luar kota, mengurus mahasiswa skripsi, keluarganya di rumah dan lain sebagainya. Kesalahan dalam memberikan peniliaian disini merupakan hal yang wajar bagi saya. Walaupun nantinya harus ada yang dirugikan.
Karena menyesal dengan hasil IP, tahu-tahu ada beberapa mahasiswa yang curhat di status WA "IP itu tidak penting, karena yang penting itu prosesnya, oleh karena itu nikmati saja prosesnya!" Plus emoticon senyum dengan wajah memerah yang matanya sipit. Iya benar, tetapi kalau prosesnya tidak sesuai prosedur yang ada dan menyalahi aturan yang berlaku di Kampus, apakah masih berlaku kalimat "nikmati prosesnya". Misal seorang mahasiswa diketahui mendapat nilai D pada mata kuliah tertentu dikarenakan dia tidak hadir selama 6 pertemuan. Kemudian ada lagi mahasiswa yang masuk ke kelas cuma ngisi absen. Presentasi baca buku dan PPT. Ada tugas nyontek ke tetangga sebelah. Teman presentasi dia tidur. Dosen menerangkan dia main Hp di pojokan. Saya tanya kembali proses mana yang mau dinikmati jika seperti itu? Intinya harus ada kesadaran diri pada mahasiswa yang bersangkutan. Kepentingan lain iya biarlah kepentingan yang lain, kepentingan kuliah ya kuliah. Karena tujuan utama kita ke Kampus tercinta itu untuk kuliah bukan untuk kepentingan yang lain. Intinya prioritaskan tujuan utama kita datang ke Kampus itu saja.
Saya pribadi juga kesal dengan mahasiswa yang sok tahu tentang IP begitu. Mengatakan bahwa IP itu tidak penting di status WA. Kemudian juga ada yang mengatakan bahwa 90% mahasiswa dibutakan dengan adanya IP. Itu data 90% dari mana saya juga tidak tahu. Saya yakin yang mengatakan demikian itu IP nya biasa-biasa saja.
Nah, lain halnya jika mahasiswa sudah mengikuti proses dengan benar selama mengikuti mata kuliah di kelas, namun IP nya tidak sesuai dengan harapan. Barulah boleh mengatakan nikmati prosesnya Kasihan memang iya, tetapi semua itu terjadi diluar kehendak diri kita masing-masing. Saya yakin tidak akan ada mahasiswa yang menginkan atau mengharapkan untuk mendapatkan IP tidak bagus. Semua ingin mendapatkan IP yang bagus supaya dapat membanggakan kedua orang tuanya.
Hal yang menyebabkan mahasiswa beruntung dalam mendapatkan IP mungkin dikarenakan dosen terlalu kasihan atau saat memberikan penilaian, peniliannya salah. Atau mungkin dosennya enakan dalam memberikan nilai.atau mungkin bisa yang lain misalnya si mahasiswa tidak ketahuan nyontek saat UAS sehinggan nilainya bagus. Atau bisa yang lain sudah terserah. Bagi yang sial mungkin mereka sibuk dengan kesibukan yang lain misalnya mengikuti organisasi. Atau pas di kelas dosennya tidak pernah memberikan perhatian lebih. Dosen hanya memberikan perhatian pada mahasiswa yang pandai cari muka saja dan hanya peduli dengan mahasiswa yang galonnya kosong isinya. Atau mungkin bisa yang lain terserah, karena pembaca memiiki pendpatnya masing-masing dalam hal ini.
Kemudian bagi mahasiwa yang kebetulan beruntung dalam mendapatkan IP. Jangan sampai terbawa euforia karena semester depan belum tahu apakah akan beruntung lagi. Bagi yang sial sabar saja, yakinlah bahwa Allah selalu bersama kita. Bisa jadi kesialan yang kita peroleh itu merupakan cobaan dari Allah supaya kedepan kita lebih giat lagi dalam menimba ilmu. Jangan pernah bahagia bagi yang merasa pandai di dalam kelas, karena orang pandai masih kalah dengan orang yang beruntung. Dalam hal apapun itu, bisa dalam hal nilai, melamar pekerjaan, dan lain sebagainya. Bukankah begitu?