Logikaku Hancur Dibuatnya
Logikaku Hancur Dibuatnya
(Galuh Riyan Fareza)
(Galuh Riyan Fareza)
Di dalam gerbong kereta api, terjadi perbincangan seorang ibu dan anak kecilnya duduk berhadapan dengan kami. Saya saat itu sengaja mendengar perbincangan mereka. Inti dari percakapan itu adalah sang ayah akan menjemputnya di stasiun Rogojampi. Namun diselah-selah perbincangan tersebut, ada beberapa penjelasan dari sang ibu yang tidak saya fahami secara logika. Seolah-olah logikaku hancur dibuatnya.
Kereta api meninggalkan stasiun Jember, sang anak mulai bertanya kepada ibunya "bu ayah nanti lewat sini ya?" (sambil menunjuk ke arah jalan raya). Sang ibu menjawab "tidak, ayah lewat Kalisat". Jujur saya tidak mengerti maksud ibu tersebut, padahal jalan tersebut adalah jalan menuju atau menghubungkan ke Kalisat. Singkat cerita, saya bertanya-tanya pada diri saya "ini logika saya yang tidak sampai apa bagaimana?" Pertama, saya biasa saja menyikapi jawaban ibu tersebut. Barangkali maksudnya lewat jalan raya itu kemudian putar balik menuju ke Kalisat atau mungkin ayahnya mulai tadi pagi sudah stand by di Kalisat.
Melewati stasiun Kalisat, sang ibu bilang kepada anaknya bahwa rumah kakeknya berada di Ledokombo. Singkat cerita, sampai di daerah Ledokombo, ibu tersebut mendeskripsikan keberadaan rumah kakenya. Kurang lebih seperti ini "nak bentar lagi dekat dah rumah kakek, itu di belakang pohon kelapa itu." Saya bingung sambil menggaruk-garuk kepala begitu, padahal tidak ada satupun rumah di belakang pohon yang ditunjuk oleh ibu tersebut. Setelah itu sampailah kereta melewati banyak rumah. Sang ibu mengatakan pada anaknya "nah itu rumah kakek pas di belakang rumah besar yang gentengnya warna coklat itu nak" kurang lebih seperti itu. Jujur ya, padahal saat itu saya juga lihat rumah besar yang gentengnya warna coklat bukan ada satu. Ini saya mulai bingung haha. Anak kecil yang kira-kira usianya enam tahunan seperti itu mengerti atau tidak. Tadi ibunya bilang rumah kakeknya di belakang pohon kelapa, kemudian sekarang bilang rumah kakeknya di belakang rumah besar yang gentengnya warna coklat. Ini saya tidak tahu rumah kakeknya pindah atau jalan sendiri sebenarnya. Terus yang benar yang mana kalau begitu? Ah sudahlah.
Kemudian sang ibu menceritakan kepada anaknya lagi tentang rumah saudaranya yang bernama Mayel, kalau tidak salah saat itu di daerah Sempolan. Singkat cerita, ibunya bilang pada anaknya "nak rumah Mayel di sini". Batin saya "apanya yang rumah Mayel di sini katanya". Padahal yang ditunjuk ibunya itu area persawahan. Terus rumah Mayel dimana? Di sawah? Kan tidak mungkin. Anaknya yang polos saat itu cuma bisa diam saja dengan wajah datar sambil tolah-toleh. Lanjut cerita, kemudian ibunya mengatakan "sudah wes, rumahnya Mayel dilewati sudah nak." Kali ini anaknya bertanya dengan polos "dilewati sama kereta ini ya bu?" Ibunya jawab "iya nak dilewati rumah Mayel". Rumahnya Mayel yang dimaksud ibunya tadi, anaknya saja masih belum tahu gambalaran jelasnya bagaimana dan yang mana, begitupun juga saya. Maksudnya rumah yang dimaksud tersebut berada di luar empiri kami begitu. Bisa-bisanya ibunya bilang kalau runah Mayel dilewati oleh kereta. Mungkin ceritanya akan berbeda jika rumah Mayel adalah stasiun kereta api. Nah, baru itu namanya dilewati.
Saat kereta api mendekati terowongan, sang ibu berkata pada anaknya, "nanti ayah akan lewat sini nak". Yang membuat saya bingung adalah sang ibu menunjuk ke arah tanah lapang yang dipenuhi banyak pepohonan. Terus terang, padahal di ladang itu tidak ada jalan sama sekali. Nah, saat berada di terowongan ibunya berkata lagi pada anaknya "nak sudah masuk terowongan ini nak." Iya menurut saya kan sudah tahu anaknya kalau keretanya sudah masuk terowongan. Pakai dijelasin pula. Terus bilang lagi ibunya "ayah lewat atas nak, iya sekarang ayah ada di atas dan kita ini lewat bawah". Tidak faham saya maksudnya ibu itu, di atas terowongan masak iya dilewati oleh kendaraan haduh. Saat itu saya kesal dan mencoba untuk tidak mendengarkan perbincangan ibu dan anak tersebut tetapi tidak bisa karena kita duduk berhadap-hadapan. Kekesalan itu saya luapkan saat adik saya bertanya pada saya "mas kalau di kereta bawa bantal yang berbentuk U itu enak ya?" Jawab saya "oh iya enak, bawa kulkas dua pintu, kompor, lemari juga enak." Saya kesal sekali serius, biar hancur-hancur sekalian sudah logika berpikir saya. Singkat cerita dan akhirnya mereka sampai di stasiun Rogojampi.
- Berpikir secara atau menggunakan logika bagi saya itu sangat perlu sekali. Dalam cerita ini saya dapat tahu, sebenarnya apa yang dimaksud oleh ibu tersebut benar menurut dia. Tetapi penggunaan kata dan caranya saja yang salah. Sehingga membuat pendengar tidak mengerti apa yang dimaksudnya saat menggunakan berpikir logika. Alhasil hancurlah logika pendengar dibuatnya. Untuk itu saya mengajak kepada para pembaca untuk senantiasa berpikir secara logika sebelum berkata.