Pengetahuan yang Terhalang Tembok Silabus
Tujuan pelajar datang ke sekolah adalah untuk menimba ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas akan menjadikannya sosok yang pandai dan bijaksana. Namun, lembaga pendidikan di Indonesia justru mengekang seseorang untuk berpikir dalam mengembangkan kemampuan mereka. Mereka dikekang dengan adanya silabus. Hal serupa juga pernah terjadi di Barat pada abad pertengahan, dimana dominasi gereja merajalela. Abad ini dikenal dengan dark age. Dengan adanya dominasi ini membuat ahli pikir susah mengembangkan kebebasan dalam berpikir. Alasannya adalah kekangan yang bersifat dogmatis. Misal ahli pikir menemukan teori bahwa bumi bulat, tetapi dogma gereja mengajarkan bumi itu datar, maka kebenaran yang diakui adalah dogma gereja. Dengan kata lain, ajaran yang berbeda dengan ajaran gereja, secara mutlak tidak dibenarkan. Kalau ada yang menentang kebeneran dogma-dogma gereja, orang tersebut akan menerima hukuman.
Silabus berisi rincian atau pokok-pokok materi pembelajaran. Hal ini memudahkan guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Namun, keberadaannaya justru membuat ilmu pengetahuan terbatas pada pokok-pokok materi di silabus. Selain itu, kemampuan murid untuk berpikir juga terbatas. Sehingga para pelajar hanya belajar materi yang hanya tertera di silabus. Jika materi keluar dari silabus, maka materi itu tidak diajarkan. Di era digital dan serba modern seperti ini kita butuh panduan yang lebih optimal daripada silabus.
Bagi saya, sudah bukan waktunya pendidikan di Indonesia hanya berkutat di masalah kurikulum dan silabus. Seharusnya ada gerakan atau terobosan baru untuk mencari sistem yang sesuai dan dapat menopang kemampuan berpikir pelajar yang liar akan pengetahuan. Supaya harapannya dari sini dapat ditemukan banyak ahli pikir yang handal dan banyak bicara di pentas keilmuan dunia. Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah penelitian dan penemuan sistem yang menggantikan silabus dan kurikulum.
Ada satu cerita dari Bapak Nur Sholikin Wakil Rektor II UIN KHAS Jember, beliau bercerita tepatnya pada tahun 2016 yang lalu. Beliau mengatakan, bahwa kemampuan bertanya anaknya sangat bagus. Kemampuan bertanyanya selalu berdasar akan ciri kefilsafatan. Semisal mengapa ada malam dan siang, bagaimana ada siang dan malam, dst. Padahal anaknya masih berusia empat/lima tahun. Setelah anak tersebut masuk SD, pertanyaan-pertanyaan yang bagus tersebut hilang dengan sendirinya. Bapak Sholikin berasumsi penyebab mengapa pertanyaan bagus dari anaknya tidak muncul dikarenakan banyaknya tugas yang diberikan di sekolah. Sehingga nalar berpikir yang bersifat filosofis pudar dengan sendirinya. Kita tahu bahwa pertanyaan pada soal-soal anak SD antara lain, jelaskan, sebutkan, dan buatlah.
Kali ini adalah cerita dari pengalaman saya. Pelajaran IPA adalah pelajaran yang seru. Saat duduk di bangku SMP saya tertarik sekali untuk belajar IPA. Mulai dari eksperimen cacing sutra sampai membuat roket buatan. Bagi saya IPA bukanlah pelajaran tetapi sebuah permainan yang kaya akan khazanah ilmu pengetahuan. Tetapi semua itu berubah ketika saya masuk SMA.
Di SMA orientasi guru mengajar IPA untuk kepentingan UN saja. Ketika kita melayangkan pertanyaan dan pertanyaan tersebut tidak masuk UN, maka pertanyaan itu tidak dijawab. Misalnya, dulu saya pernah bertanya pelajaran Fisika, "kenapa rel kereta api diberi banyak batu?" Jawab guru saya "karena kalau diberi kue onde-onde akan diambil sama kamu". "Jawaban macam apa itu" dalam hati saya. Saya juga pernah bertanya "kenapa suara pesawat pada siang hari lebih terdengar daripada malam hari, kalau malam hari tidak ada suaranya itu kenapa ya?" Guru saya jawab "saya jawab nanti, sekarang kita lanjutkan materi kita dulu" sampai sekarang jawaban itu belum dijawab juga.
Pelajaran Kimia sering belajar di Laboratorium. Guru saya tidak sengaja berkata bahwa beliau bisa mengajarkan kami cara membuat bensin. Tetapi beliau tidak mau mengajarkan dengan alasan takut disalahgunakan. Nah setelah selesai pelajaran, saya hampiri dan bujuk beliau untuk mengajarkan kami membuat bensin. Beliau tidak mau mengajarkannya. Saya minta diajari cara membuat minyak goreng, wangi, dan lain-lain. Jawabannya sama tidak boleh. Tidak akan keluar di UN nanti itu. Di buku juga tidak diajarkan. Lebih tepatnya di silabus tidak ada keterangan materi membuat bensin begitu.
Andai saja saya diajari cara membuat bensin, enak begitu bisa patungan dengan yang lain. Atau juga bisa untuk keperluan usaha. Berguna sekali itu untuk kehidupan sehari-hari. Masalahnya di buku dan silabus kan tidak ada materi pelajaran semacam itu. Bingung saya haha.
Di Lab kami diajarkan bagaimana cara membuat garam kotor jadi bersih. Apa gunanya coba? Tidak guna sama sekali. Harga garam sebungkus berapa sih? Ada 1 juta? Kemudian diajari senyawa-senyawa dan cairan-cairan saja. Itu fungsinya untuk apa juga lupa. Diajarkan membuat lampu kelap-kelip, pemanas air, selebihnya lupa saya. Saya itu butuh ilmu yang aplikatif dan ada gunanya untuk kehidupan sehari-hari saat itu. IPA itu ada disekitar kita loh. Dari bangun tidur sampai tidur lagi IPA ada disamping kita.
Saya kelas X dulu bertanya nakal. Saya bertanya yang pertanyaan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pelajaran di buku. Kesel ada, karena kami diajarkan yang kami tau bagaimana mengerjakannya di papan tulis, tetapi kami tidak tau aplikasi untuk kehidupan kami itu untuk apa. Bingung kan? Saya juga bingung haha. Kimia rumit emang, kami bisa mengerjakan. Setelah itu? Hilang sudah, masih ingat untung. Repot ya belajar kalau dibatasi begitu. Tidak masuk UN dan silabus, tidak diajarkan.
Kalau pelajaran biologi, lebih ke teori seingat saya. Biologi medis tidak diajarkan saat itu. Itu dibutuhkan untuk kehidupan kita loh. Obat-obatan herbal begitu, kami tidak diajarkan. Justru pelajaran yang kami terima di SMP diajarkan kembali. Kami menerima pelajaran biologi yang aplikatif justru di kegiatan ekstrakurikuler seperti PMR dan Pramuka.
Sebetulnya para guru bisa mengajarkan kami pelajaran di luar silabus. Misalnya pelajaran bagaimana meredakan stress, self control, motivasi, dsb. Karena kita tahu bahwa pelajar yang datang ke sekolah memiliki warna yang berbeda-beda. Ada yang niat belajar dan ada yang tidak. Tetapi guru di Indonesia lebih terikat oleh Silabus dan materi yang ada di buku. Masuk kelas tahu-tahu memberi soal di papan. Saya tanya apa bisa ditangkap oleh siswa metode mengajar seperti itu. Adakan lah setidaknya intermezo atau apa yang lain begitu. Jangan langsung ngajar saja. Hal itu membuat siswa jadi malas belajar terlebih siswa yang tidak niat datang ke sekolah. Karena setiap anak berbeda-beda dan guru mengajarnya dengan cara yang sama di tempat dan waktu yang berbeda.
Kadang saya berpikir apa sih epistemologi, ontologi, dan aksiologi dari adanya silabus. Silabus hadir tujuannya untuk mempermudah guru dalam proses belajar dan mengajar dalam kelas. Justru yang terjadi sebaliknya, silabus malah membuat guru kebingungan dalam mengajar siswa. Kemampuan guru dalam mengajar juga dibatasi oleh silabus ini. Kita tahu juga banyak guru yang mengajar tidak menggunakan RPP.
Indonesia tidak bisa berada di dalam lingkaran ini terus menerus. Mengingat zaman sekarang teknologi yang semakin kemari semakin canggih. Hal itu membuat peran guru sebagai pendidik semakin tergantikan. Siswa dengan mudahnya searching ilmu pengetahuan lewat layar ponsel mereka tanpa diimbangi arahan guru. Kalau sampai sekarang pemerintah tidak melakukan perubahan yang ada dalam dunia pendidikan, hancur moral generasi ini.