Jangan Buta Politik

       "The worst illiterate is the political illiterate, he doesn’t hear, doesn’t speak, nor participates in the political events. He doesn’t know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn’t know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies" 
      "Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional." (Bertolt Brecht)
       Sedari dulu tepatnya di bangku madrasah saya tidak mengerti apa itu definisi politik. Yang ada di bayangan saya, politik itu jahat dan menyebalkan. Karena memang yang disuguhkan oleh orang-orang di sekitar kami, politik itu jahat. Guru MA saya berinisial G misalkan, pernah berkata "tidak ada orang jujur di dalam politik, politik itu kotor, politik itu tidak ada teman, semuanya musuh". Muncul tanda tanya dalam benak saya, politik itu apa sih? Nah dari pernyataan guru saya itu, saya sudah anti terhadap politik. Tidak mau tau lah kasarannya. 
        Latar belakang keingintahuan saya akan politik ketika saya magang 2 di salah satu sekolah menengah atas di Jember. Saya sebagai koordinatornya sering sekali dipanggil ke ruang kepala sekolah. Beliau bertanya tentang proker kami begitu. Ada suatu peristiwa menarik, dimana kami tidak boleh meminta iuran atau pun denda pada siswa ketika menjalankan proker bersih taman dan semarak kemerdekaan. "Mas jangan ada iuran dan denda, sekolah saja tidak berani mas meminta iuran atau denda pada siswa walaupun itu hanya lima ribu rupiah" tuturnya. Ironisnya ketika OSIS di sekolah tersebut mengadakan acara, mereka justru menarik iuran dan denda begitu. Berapa dendanya? Lima puluh ribu bayangkan. Muncul pertanyaan dalam benak saya "loh kok bisa ya?"
       Peristiwa selanjutnya adalah pengumuman proker kami. Setelah proker kami di-acc oleh kepsek, kami mengira semua bawahannya tahu akan proker kami. Untuk mengantisipasi adanya kesalahpahaman, kami memanggil masing-masing ketua kelas untuk mengabarkan walkasnya kemudian disosialisasikan ke teman-temannya. Namun apa yang terjadi? Setelah upacara bendera,  saya dibantai habis-habisan di dalam ruang guru karena dituding tidak mensosialisasikan proker kami yang seminggu lagi akan dilaksanakan. Ada kambing hitam disini, beberapa walkas yang mungkin tidak siap begitu, berkata pada kami "kami kok tidak tahu mas?", "Kami ini jangan dilangkahi mas". Padahal jujur, ada banyak walkas yang sudah siap begitu. Saya pun sudah koordinasi dengan wakasis, dan beliau mengatakan "iya proker ini berlangsung pada tanggal sekian". Wakasisnya belok saat di dalam ruang guru, justru kami yang dibantai. Ada pun kepseknya juga seolah-olah menyalahkan kami yang kerjanya lelet. Selanjutnya bagaimana? Proker kami diundur, dan diganti proker OSIS yang ada denda dan iuran tadi. Kenapa diundur? Karena banyak walkas yang tidak tahu proker kami begitu.
       Beberapa Minggu kemudian, saya dipanggil ke ruang kepsek. Kepsek berkata "gini saja mas biar gak pusing, sampean gak usah mengadakan proker A lagi sudah, sampean minta proker OSIS saja dan itu dijadikan proker sampean, kan hanya butuh foto, proposal, dst toh?". Saya kembali bertanya "apakah boleh begitu Bu?". Beliau menjawab "ya boleh saya kepseknya kok, sudah sampean ke ruang wakasis saja temui pak B dan C". Ya saya jawab "mohon maaf Bu, saya tidak bisa, biar bagaimanapun caranya acara ini harus dijalankan, saya kasihan dengan kelas yang sudah latihan dan mengeluarkan banyak biaya untuk proker ini, kami pun PPL sudah menyiapkan proker ini dengan susah payah". Mendengar jawaban saya, kepsek mengizinkan saya untuk tetap melaksanakan proker tersebut. Perlu diketahui proker kami adalah semarak kemerdekaan yang di dalamnya terdapat tiga lomba yaitu puisi, paduan suara, dan putra-putri Sekolah (Gus dan Ning). Alhamdulillah acara yang harusnya dijalankan bulan Agustus diundur ke Bulan September berjalan lancar. Dari beberapa uraian di atas saya tertarik sekali untuk mengenal what politic is.
       Di sepanjang perjalanan pulang dari tempat magang, saya selalu berpikir tentang apa itu politik. Semakin dipikir semakin malas mencari tahu saat itu. Karena yang saya tahu politik itu yang memiliki bendera partai. Nah sempit sekali bukan pemikiran saya? Beberapa hari kemudian, saya beli buku berjudul Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Ilmu Politik karangan S. Aminah dan Roikan. Pada halaman ke 8-9 saya mendapati pengertian politik. Harold Laswell dalam bukunya yang terbit tahun 1936 berjudul Politics: Who Gets What, When, How mendefinisikan apa itu politik dan definisi tersebut berfungsi sebagai definisi awam standar politik. Beliau mendefinisikan politik adalah perjuangan siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Lebih lanjut, perjuangan tersebut menunjuk kelompok kepentingan yang bersaing memperebutkan kontrol dan kuasa atas anggaran pemerintahan atau perlawanan etnik minoritas terhadap dominasi etnik mayoritas pada suatu negara. Titik fokus politik adalah dinamika kekuasaan. Dengan kata lain, bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Nah dari definisi di atas, saya sadar politik itu ada dimana-mana, bukan berbentuk bendera partai saja, di kelompok sosial terkecil seperti rumah tangga sekali pun juga ada politik. Suami misalnya, mengatur istrinya supaya hemat uang perbelanjaan, jangan digunakan untuk beli make-up terus. Kegiatan mengatur tersebut kan politik itu namanya. Yang berkuasa siapa? Ya suami kan?
       Namun anehnya di bangku sekolah atau di telinga masyarakat awam, politik itu terdengar kejam sekali. Hal itu membuat mereka buta akan politik. Contoh, Rhoma Irama ikut politik, berapa juta orang yang menghujat beliau? "Kiai kok ikut politik, gak pantes" katanya. Apa ini hanya sekedar permainan agar masyarakat membenci politik? Apa ini salah satu upaya untuk mengajarkan pada generasi muda kita kalau politik itu selamanya kejam? Jadi seolah-olah citra politik itu kejam begitu. Ada orang mencalonkan bupati, bagi-bagi sembako "Halah politik" katanya. 
       Banyak masyarakat yang membenci politik mungkin dikarenakan aktor politik yang tidak menjalankan kekuasaan sebagaimana mestinya. Disuruh ngurus beras, malah nimbun beras. Disuruh ngurus laut, jadi bajak laut. Disuruh ngurus hutan, jadi orang hutan. Hal itu menyebabkan masyarakat muak akan politik. Korupsi terus menjadi-jadi. Ada juga yang mengatakan politik identik dengan uang. Karena itu hal yang berbau politik mesti jahat di telinga kami orang awam. 
       Tahukah Anda bahwa politik berasal dari bahasa Yunani yaitu politikos yang artinya dari dan untuk warga negara. Dalam bukunya yang berjudul “Politics”, Aristoteles mengatakan bahwa politik merupakan kegiatan yang luhur karena hakikatnya untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi kenapa justru politik dipandang sebagai sesuatu yang buruk? Apa penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan jawabannya? Janji diumbar kemana-mana, setelah dilantik jadi Bupati misalnya, lupa dengan rakyat? Jadi sampai kapan pun susah menghilangkan image politik yang buruk begitu. Yang ada malah menumbuhkan rasa kebencian yang berlarut-larut dalam diri masyarakat.
       Prof. Miriam Budiardjo, ilmuwan politik Indonesia mengatakan bahwa politik ialah bermacam kegiatan yang dilakukan untuk merumuskan tujuan, pelaksanaan, sampai tercipta suatu tujuan. Dan tujuan itu adalah kesejahteraan rakyat.
       Jelas disini terjadi distorsi makna politik yang konsisten di dalam benak masyarakat. Sama halnya dengan kaum Sofis di era Yunani klasik. Kalau dilihat dari segi arti, Sofis berarti cerdik atau cendikiawan. Seiring berjalannya waktu, Sofis diartikan sebagai orang-orang yang pekerjaannya menipu dengan omongan besar. Jadi arti yang melekat dalam benak banyak orang adalah menipu, bukan cerdik lagi. Padahal definisi yang sebenarnya adalah cerdik. Nah, yang jadi pertanyaan besar adalah bagaimana cara mengembalikan definisi politik yang maknanya telah mengalami distorsi?
        Di era seperti ini, sudah sepatutnya kita operasi mata agar tidak buta politik. Tolong hilangkan dari kepala Anda citra politik yang negatif. Politik tidak selamanya berbau hal-hal negatif kok. Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan kutipan Mohammad Natsir. "Kalau memang saudara-saudara merasa tidak perlu ikut berpolitik, biar tidak usah berpolitik, tetapi saudara-saudara jangan buta politik. Kalau saudara-saudara buta politik, maka saudara-saudara akan dimakan politik"

      
       
       
       
       
       
      
       


Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?