Mengenal Tradisi Sandingan

     

     Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang kaya akan budaya. Budaya ini lah yang mewarnai indahnya keberagaman (pluralitas) dalam negeri ini. Salah satu budaya yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah Sandingan. Karena budaya ini semakin kemari semakin hilang dimakan zaman. 
      Sandingan merupakan tradisi ritual yang dilaksanakan pada malam Jumat legi. Di tempat tinggal kami, sandingan diberikan kepada tetangga sebelah. Sandingan adalah sarana kirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini sudah mulai dilupakan.
       Adapun prosesi ritualnya meliputi: menyiapkan arang dan kemenyan lalu dibakar. Setelah itu, pemilik rumah membaca surah Al Fatihah, doa untuk para arwah, dan selanjutnya doa agar di lindungi dari roh jahat di dalam rumah. Selanjutnya pemilik rumah jalan mengelilingi rumah sembari meletakkan kemenyan di sudur-sudut rumah. Setelah mengelilingi dalam rumah, kemenyan dimatikan. Prosesi ini biasanya tidak memakan waktu lama. Menjelang Maghrib, sesaji dari ritual ini diberikan kepada tetangga sebelah. Perlu diketahui itu adalah proses ritual yang biasa dilakukan di kampung kami. Karena di daerah lain berbeda begitu. 
       Pertanyaannya adalah apakah sandingan itu? Sandingan berasal dari bahasa Jawa yang berarti pasangan. Nah apa yang dipasangkan? Mereka adalah makanan dan minuman (sesaji) yang disajikan sebagai sarana kirim doa kepada arwah yang telah meninggal dunia. Untuk makanan disini bebas tergantung kemampuan pemilik rumah, bisa roti, kue lemper, nogosari, dll. Untuk minuman ini  umumnya adalah kopi. Belum pernah saya melihat orang menghidangkan extra jos begitu. 
       Dalam tradisi ini, masyarakat Jawa percaya arwah yang telah meninggal kembali menjenguk keluarganya di rumah. Ada mitos yang mengatakan kalau kopi yang disajikan berkurang airnya, maka ada arwah yang pulang. Nah, kopinya itu diminum arwah tersebut.
       Tradisi ini tidak hanya bersifat simbolik saja. Kalau ditilik dari segi sosiologis dan antropologisnya mengandung banyak makna. Salah satunya adalah mempererat hubungan antar masyarakat. Dan itu yang diajarkan oleh para leluhur kita. Kemudian budaya ini ditinggalkan? Sayang sekali bukan? Ini adalah tuntunan dari para leluhur kita. Tapi repot juga, sekarang tuntunan berubah jadi tontonan dan begitu pun sebaliknya, tontonan jadi tuntunan.
       Dewasa ini, tradisi ini sudah redup dipadamkan oleh zaman. Orang-orang sudah mulai pintar dan begitu mudahnya mengatakan bid'ah. Zaman Rasul memang tidak ada sandingan. Tetapi jangan salah, nilai-nilai dalam sandingan ini begitu penting sekali untuk direnungkan. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi yaitu menciptakan kerukunan antar masyarakat. Kalau kita mengirim sandingan pada tetangga, tetangga akan mengingat dan berpikir "orang ini ngirim sandingan ke saya, saya kapan ngirim ke orang ini?"
       Masyarakat kita masih belum bisa membedakan apa itu agama dan budaya. Dalam tulisan Gusdur tentang pribumisasi Islam dalam buku Islam nusantara halaman 33, Agama (Islam) bersumber dari wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Karena itu agama sifatnya normatif. Kalau sudah normatif, maka ia cenderung menjadi permanen. Berbeda dengan budaya, budaya adalah buatan manusia bukan buatan Allah Swt, contohnya adalah sandingan ini. Karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah (dinamis).Jadi kita tidak bisa menyebut ini bid'ah begitu. Karena agama dan budaya memiliki wilayahnya sendiri. Istilahnya memiliki indepedensi masing-masing begitu.
Kalau dikit-dikit bid'ah tidak punya budaya kita. Islam di Indonesia ini jauh lebih berwarna karena adanya budaya salah satunya adalah sandingan ini.
       Sandingan bukan sarana untuk memuja jin melainkan sarana untuk kirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal. Kalau digunakan untuk memuja jin itu patut ditinggalkan. Ini budaya loh dari nenek moyang kita. Hanya saja, sesaji dan ritualnya tidak sekompleks pada zaman nenek moyang.
      Di kampung kami,  sandingan dilaksanakan umumnya jam 16:00 ba'da ashar. Untuk pembagian sandingannya sendiri dibagikan kepada tetangga sebelah menjelang Maghrib (Surup).
      Kalau kita bandingkan sandingan di Jember, Kediri dan Probolinggo jelas banyak sekali perbedaannya. Di Probolinggo, di kelurahan Jati kecamatan Mayangan, sesajinya jauh lebih kompleks dari kampung kami. Dimana ada rokok, pisang, bunga mawar, batok kelapa, dst. Dari segi ritualnya hampir mirip, hanya saja sesajinya diletakkan di kamar tengah kemudian ada lilin sebagai cahaya yang menerangi sesaji tersebut. Di Kediri tepatnya di desa Bendosari, proses ritualnya itu menggunakan pupuh (tembang). Pupuh ini terdiri dari sepuluh bait dan masing-masing bait memiliki makna. Yang kemudian diteliti oleh saudari Dhea Istiqomah dan Dian Agung Isnanto mahasiswi dari Universitas Muhammadiyah Malang. Judul penelitiannya adalah Makna Pupuh (tembang) dalam Tradisi Ritual Sandingan Masyarakat Jawa Kabupaten Kediri. Metode penelitian tersebut adalah deskriptif kualitatif dan pendekatannya adalah semiotik dengan berdasarkan teori Roland Barthes.
       Itulah sekilas tentang budaya Sandingan. Sangat amat disayangkan budaya ini menghilang. Mengingat bukan hanya budaya ini saja yang hilang dari Jawa ini. Di kampung kami yang mengadakan Sandingan hanya segelintir orang saja, sekitar lima orang lah. Kalau budaya ini hilang, maka hilanglah lokalitas budaya dalam kehidupan beragama di Indonesia. 



Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?