Kemaksiatan Dibalut Kesenian

       Malam tadi sekitar pukul 22:00 WIB, saya diajak adik saya untuk menonton sebuah pertunjukan campursari di dekat rumah kami. Suara sound dari pertunjukan tersebut juga terdengar nyaring dari rumah kami. Sebetulnya saya tidak ada maksud untuk menonton pertunjukan tersebut. Sama sekali tidak ada niatan juga. Namun kalau boleh memberitahu, pagelaran campusari tersebut diadakan bukan satu dua kali di dekat rumah kami, tetapi berkali-kali. Dan dari sekian banyaknya jumlah pertunjukan, saya sama sekali belum pernah menonton pertunjukan tersebut. Mendengar adik saya yang terus merengek mengajak saya untuk menonton pagelaran itu, hati saya tergerak untuk menontonnya mengingat ayah dan ibu saya juga mengizinkan saya menemani adik saya menonton pertunjukan campusari.
       Setiba di lokasi, banyak sekali orang menonton pertunjukan campursari. Dari mulai anak-anak hingga orang tua. Perlu diketahui, pagelaran itu diadakan tidak di atas panggung melainkan di tengah jalan yang lebarnya tidak lebih dari lima meter. Pas diadakan di depan rumah Bapak RT. Panggung tidak ada, yang ada hanya baliho sebagai background pagelaran tersebut. Dalam benak saya "ini pagelaran apa sih?". Kalau memang tidak ada pentas, ya adakan lah di tengah lapangan. Ini enggak, pagelarannya diadakan di tengah jalan dan di depan rumah RT, diadakan malam hari jam 21:00-00:00 lagi.  Lokasinya sih cukup jauh dari keramaian atau pemukiman penduduk kampung kami. Anehnya yang nonton juga tidak sedikit. Mereka nonton ya duduk di jalan itu sudah. Ada yang duduk di depan teras rumah orang. Ya begitu, yang jadi perhatian pertama saya adalah letak atau tempat pertunjukannya diadakan di tempat yang bisa dibilang kurang lazim. 
        Selanjutnya, ketika kami berdua sampai di lokasi, pertunjukan yang dipertontonkan adalah pertunjukan jaranan. Saya bingung, ini pertunjukan jaranan atau campursari sih? Di tengah jalan menuju lokasi pertunjukan tersebut, tetangga saya tanya sama saya "Mau kemana Reza?" Saya jawab "ini mau nemenin adek saya nonton campursari" tetangga saya respon "oh itu bukan campursari, itu jaranan za". Sampai di lokasi saya berkata "oh bener kata tetangga saya ini'
       Uniknya, pelakon yang mempertunjukkan jaranan, tak satupun dari mereka yang memakai kostum layaknya pelakon jaranan pada umumnya. Mereka memakai kaos hem dan celana jeans. Ada juga yang memakai kaos begitu. Setahu saya, pelakon jaranan itu memakai kostum khusus untuk jaranan. Dan di belakang kostum tersebut tertera nama grup jaranannya. 
       Pertunjukan jaranan tidak berselang lama. Kira-kira lima menit usai setelah kami tiba di lokasi. Saya pun juga tidak sempat menonton aksi jaranannya seperti makan beling, kelapa atau yang lain. Saya hanya menonton mereka menari saja begitu. Ada tiga orang yang saat itu menjadi jaranan. Dan mereka semua masih dalam usia remaja. 
       Selanjutnya ada jeda istirahat untuk para pelakon jaranan dan pelakon musik gamelan yang mengiringi pertunjukan jaranan. Di tengah-tengah jeda tersebut, saya mulai mengamati sekitar dan berpikir apa ya kira-kira yang bisa saya tulis dari pertunjukan ini. Karena saya membawa hp bukan tanpa maksud. Tetapi saya sudah niat untuk menulis dari rumah. Karena saya percaya dari pertunjukan tersebut pasti saya menemukan sesuatu untuk ditulis. 
       Di tengah-tengah jeda, ada obrolan kecil dengan adik saya. Dia berkata bahwa yang nonton pertunjukan itu ada yang dari RT 02 dan 04. Selebihnya penontonnya adalah penonton pendatang dari luar daerah kami. Ada yang dari kecamatan Kencong juga turut menonton tutur tukang mic-nya. Nah pertunjukan tersebut diadakan di RT 03, RT kami begitu. Sekilas saya amati memang apa yang dikatakan adik saya benar adanya. Kalau yang nonton dari RT 02 cukup dekat sih jaraknya, nah yang RT 04 ini lumayan jauh. Uniknya penonton dari RT kami jumlahnya jauh lebih sedikit dari RT 02 dan 04. 
        Selanjutnya, saya mengamati pemain gamelannya. Nah para pemain memakai kostum grup campursari tersebut. Nama grupnya adalah campursari gema Nusantara. Rapi dan serasi dengan kostum berwarna kuning. Saya pikir "nah cocok ini kalau memakai kostum semua pemainnya". Yang unik adalah dari sekian banyaknya pemain gamelan, ada yang memainkan biola dan piano. Umumnya alat musik gamelan kan terdiri dari kendang, bonang, saron, kenong, kempul, siter, gong, suling, slenthem dan seterusnya. Kalau campursari di tempat saya memakai alat musik baru yaitu piano dan biola. Perpaduan alat musik tradisional dan modern, sebut saja begitu. 
       Tidak berselang lama, musik gamelan pun dimainkan. Kemudian mengiringi tiga perempuan yang menyanyikan tembang dan sinden Jawi. Berdasarkan pengamatan saya, dua perempuan tersebut sudah tua dalam kategori menjadi ibu rumah tangga. Nah satu perempuan lainnya masih muda dalam kategori menuju dewasa yang kira-kira berusia 17-19 tahun. Bagian pertunjukan inilah yang paling tidak saya sukai. Karena mohon maaf kostum perempuan tersebut yang mengundang nafsu dan syahwat. Dengan kata lain, pakainya tidak sesuai dengan aturan agama Islam (tidak menutup aurat). Melihat perempuan menyanyi dan menari, waduh penonton khususnya yang laki-laki bersorak ria. 
        Di tengah-tengah pertunjukan nyanyian dan tarian tersebut, tiba-tiba datang beberapa sosok pemuda menghampiri tiga perempuan itu. Dan apa yang pemuda tersebut lakukan? Dia ikut menari juga dan memberi uang saweran kepada tiga perempuan itu. Selain itu, pemuda tersebut dalam kondisi mabuk. Sosok tua pun juga tidak ketinggalan, beliau juga ikut memberi uang saweran. Saya bertanya dalam benak saya "ini sebenernya acara campursari apa dangdutan sih?" Saya merasa dibodohi datang ke pertunjukan itu. Saya pribadi juga merasa tidak pantas menonton pertunjukan campursari itu. Karena yang dipertontonkan jauh berbeda dari apa yang saya bayangkan. Saya menonton kan ingin tahu seninya bukan maksiatnya. Menonton pertunjukan tersebut benar-benar membuat saya malu pada diri sendiri. Lebih baik bubarkan sajalah. Tidak perlu mengadakan pertunjukan seperti itu lagi di kampung kami. Lebih baik adakan acara sholawatan dan pengajian saja. 
        Saya tiba di lokasi sekitar pukul 22:00 WIB. Dan saya memutuskan untuk mengajak adik saya pulang pada pukul 22:30 pas. Bisa dikatakan, saya ada di lokasi selama 30 menit. Saya mengajak adik saya pulang lantaran pertunjukan tersebut sama sekali tidak layak ditonton. Tidak ada hikmahnya juga menonton pertunjukan itu. Lebih baik tidur saja lah, mengingat sudah tengah malam.  Entah kenapa ketika menonton pertunjukan itu, kehormatan saya seolah-olah pudar. Maksiat kok dipertontonkan dalam benak saya. Apa yang ada di benak bapak RT dan RW sampai mengizinkan pertunjukan tersebut dipertontonkan begitu. Maksiat atau apapun itu, kalau sudah mendapat izin resmi dari RT dan RW ya sah-sah saja untuk dipertontonkan. Kuasa ikut campur dalam hal ini. 
       Ironisnya kenapa pertunjukan itu diadakan di tengah jalan dan pas depan rumah bapak RT. Kenapa tidak diadakan di tengah halaman yang luas. Di depan masjid kampung kami, halamannya cukup luas. Kenapa tidak diadakan disana saja. Enak begitu, jelas dan penglihatan penonton tidak terhalang. Ibu saya berkata "kalau diadakan depan halaman masjid, marah semua warga sini". Jelas lah marah, pertunjukan yang dipertontonkan seperti itu. Kata ayah saya "bapak RT-nya sudah gila itu, bisa-bisa diprotes itu RT-nya, ya gak mau orang-orang sini nonton kaya gitu, coba lihat saja, apa rame dari kampung sini yang nonton? Ya ada paling mampir ke warung Mbah Mini, nonton sambil ngopi". Jadi kebetulan lokasinya dekat dengan warkop Mbah Mini, tetangga kami. Kalau boleh saya gambarkan, lokasi pertunjukannya itu dekat sekali dengan sungai, hanya ada enam rumah penduduk termasuk rumah bapak RT di tengah lokasi pertunjukan campursari. Bisa dikatakan pertunjukannya cukup jauh lah dari keramaian rumah penduduk. Walaupun cukup jauh, namun suara sound dan musik gamelannya sampai di rumah-rumah penduduk. 
       Kasihan orang yang tidak tahu seperti saya. Saya kira yang dipertontonkan kesenian. Sampai disana kok maksiat, ya pulang saja saya. Seni kok dibuat-buat. Kemaksiatan kok dibalut dengan kesenian. Apa namanya kalau bukan maksiat kalau ada tiga perempuan menyanyi dan menari sembari mempertontonkan auratnya? Kemudian ada pemuda yang mabuk dan menari. Brandnya sih madu tetapi yang dijual racun. Laki-laki beriman tidak akan mau menonton pertunjukan semacam itu karena dia berpegang teguh pada QS An Nur ayat 30 dan QS Al Mu'minun ayat 1-11. 
       Kadang kita sering mendengar orang berkata "Halah biarlah yang mabuk saya, yang zina saya, yang judi saya, kenapa anda yang repot, kalau dosa kan saya sendiri yang nanggung dosa saya, kenapa anda ikut campur, urus saja diri anda sendiri". Memang semua itu mereka yang nanggung, tetapi judi, mabuk, zina kan maksiat. Kalau turun azab, semua ikut terkena dampaknya. 
       Gambarannya begini, anda ingin memanjat pohon jambu, anda ingin buat rujakan lah. Ketika Anda mulai memanjat pohon, tiba-tiba kaki anda digigit satu semut rangrang. Anda merasa kesakitan. Anda lihat di pohon banyak sekali semutnya. Anda pulang ke rumah ambil korek, nyalain obor. Saya tanya, anda bakar semua tidak semut yang ada di pohon? Pasti anda bakar semua. Padahal semut yang gigit cuma satu, tetapi semua semut anda bakar. Ya tidak berbeda jauh dengan orang maksiat. Yang maksiat satu, yang tidak ikut maksiat juga ikut terkena dampaknya karena azab dari Allah SWT. 
        . 



       
        
       

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?