Ramenya Tahlilan Pada Malam Ketujuh

       Kemarin malam adalah tahlilan malam ketujuh almarhum Mbah saya. Tahlilan tersebut dilaksanakan di kelurahan Kebonsari kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Tahlilan tersebut dilaksanakan tidak pada umumnya. Kalau umumnya, tahlilan dilaksanakan di rumah almarhum atau almarhumah. Namun di kelurahan Kebonsari, tahlilan dilaksanakan di masjid. Karena dilaksanakan di masjid, kita yang di dalam jadi tahu berapa banyak orang yang datang tahlil dari malam ke malam. Ada pun yang menarik disini adalah pada malam ketujuh karena banyak sekali orang datang. Saking ramainya, masjid tidak muat menampung orang-orang yang tahlil.
        Berbeda dengan kampung saya, di kampung saya, tahlilan dilaksanakan di rumah almarhum atau almarhumah. Sehingga kita tidak tahu berapa banyak orang yang hadir dari malam ke malam.Umumnya di kampung saya, orang yang datang tahlil selalu stabil. Dari malam pertama hingga malam ketujuh orang-orangnya itu saja. Berbeda sekali dengan di tempat Mbah saya di Kebonsari. Jadi pemandangan unik bagi saya. Saya tidak tahu di tempat para pembaca bagaimana. 
         Di Kebonsari, tahlilian dilaksanakan di dalam masjid. Pada malam pertama, saya akui yang datang cukup ramai. Namun malam kedua hingga kelima, yang datang sedikit. Bisa dikatakan tidak stabil jumlah orang yang datang. Saya sih tetap berpikir positif, barangkali orang-orang sibuk atau bekerja, bisa saja kan? 
        Saya dapat tahu jumlah orang yang tahlilian karena tahliliannya dilaksanakan di dalam masjid. Berbeda kalau dilaksanakan di dalam rumah, pandangan kita jadi terbatas kan. Di dalam masjid kita tahu berapa orang di dalam dan di serambi masjid. Karena tidak ada yang menghalangi pandangan kita, tembok besar tidak ada begitu. 
         Di dalam masjid tersebut, orang-orang duduk bersandar tembok. Dengan kata lain, pola duduknya berbentuk persegi. Tapi dari malam pertama hingga keenam tidak berbentuk persegi, karena masih ada space yang belum terisi. Di malam ketujuh baru semua space dalam masjid terisi. Bahkan masih ada yang duduk di luar masjid karena tidak kebagian tempat duduk di dalam masjid. Nah yang bikin lucu adalah beberapa orang yang hadir, belum saya kenali. Atau dengan kata lain orang tersebut tampak asing karena dari malam pertama tidak hadir. Kenapa saya bisa berkata demikian? Karena saya mengamati begitu, saya juga termasuk tuan rumah. Karena itu saya juga jadi penyambut tamu. Ada orang datang, kemudian biasalah salaman dengan kami, terus kami beri rokok dan air mineral. Masuk dalam masjid kemudian. Jadi saya kenal juga dari situ. Wajah-wajah kuno atau asing saya tahu sungguh. 
       Bagi yang belum tahu, pada malam ketujuh adalah malam terakhir tahlilan. Disitu orang yang datang tahlilian selalu mendapatkan nasi berkat dan kue-kue umumnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan kenapa pada malam ketujuh banyak sekali orang yang tahlil. Saya tidak tahu begitu, karena berbeda saja dengan kampung saya. Di kampung saya, seperti yang saya katakan orang yang hadir tahlilan jumlahnya stabil dan rata-rata orangnya tahu diri. Misalkan A punya anak B dan C. Ketika malam ketujuh B dan C tidak diperbolehkan hadir tahlilan. Karena nanti kan dapat tiga nasi berkatnya. Kemudian juga takut akan jadi kecumburuan sosial atau sentimen. "Malu-maluin saja, tahlil malam ketujuh bawa anaknya semua" kan begitu nanti. Tapi ini berbeda dengan di Kebonsari tempat Mbah saya tinggal. 
       Mbak Iin anak dari Mbah saya mengatakan bahwasanya ada bapak yang membawa empat anaknya pada malam ketujuh. Jadi mereka dapat lima nasi berkat totalnya. Tapi justru kata mbak Iin hal ini sudah biasa. Sudah biasa pada malam ketujuh yang hadir membludak itu sudah biasa. Dan tidak ada namanya kecumburuan sosial atau sentimen. Dalam benak saya yang bukan penduduk sana berpikir "kok tidak malu ya?". Bisa dikatakan ini adalah culture-shock untuk saya. Ya tidak masalah, semua bagi saya bergantung pada niat saja beres. Mau niat tahlilan apa mau cari sesuatu. 
       Sempat terjadi obrolan di akhir dengan keluarga almarhum. Saya yang tidak ngerti jadi kaget, kaget sekali. Kaget karena banyak sekali yang hadir pada malam ketujuh, banyak sekali. Seratus lebih saya yakin itu. Istri Mbah saya berkata bahwa 100 berkat lebih yang habis. Jadi bisa disimpulkan yang hadir lebih dari 100 orang bayangkan. Di tempat saya itu paling banyak mungkin 50 orang yang hadir. 
       Ya dalam hal ini saya sama sekali tidak ada maksud ingin menjustifikasi atau mengintimidasi acara tahlilan di tempat tinggal Mbah saya. Sama sekali tidak ada niat semacam itu. Saya kaget saja melihat pemandangan itu. Kalau dari malam pertama  sampai malam ketujuh ramai orang datang tahlil, saya tidak kaget. Atau di malam ketujuh orang yang datang tahlil berkurang dari sebelumnya saya juga tidak kaget. Contoh seperti sholat teraweh saja, saya kira di tempat-tempat manapun juga sama khususnya di Jember ya. Malam pertama ramai, malam selanjutnya sepi sudah biasa dan saya tidak kaget karena memang polanya begitu.  
         

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?