Fenomena Langkanya Pejalan Kaki di Kota Jember: Orang Jalan Kaki kok Dilihatin Sampai Segitunya?

        Tulisan ini sejujurnya ditulis dua tahun yang lalu, momen di mana pak de menyuruh saya membeli hp android untuk anaknya. Saya membelinya di sebuah toko hp bernama bitcom yang letaknya tak jauh dari rumah. Kendati demikian, pak de menyuruh kami untuk naik becak kesana. Itu dilakukan karena sepeda motor saya tiba-tiba bannya bocor, sedangkan sepeda yang lain dibawa ayah saya kerja. Jadi saya terpaksa pergi kesana dengan naik becak. Saya pergi kesana bada dhuhur, ditemani oleh dua sepupu saya, Bintang (10 tahun) dan Jenim (15 tahun).
         Ketika hendak naik becak, biasanya ada proses tawar menawar harga dulu. Nah gobloknya adalah ketika hendak bertanya, si Jenim kampret ini langsung naik becaknya. Terpaksa saya pun juga naik sembari bilang ke tukang becaknya tujuan kami. Sampai di bitcom saya memberi uang kalau tidak salah 10 ribu atau 15 ribu. Pak de memberi kami uang tersebut khusus untuk naik becak. Goblok juga saya, jadi saya berikan semua uangnya ke tukang becak tersebut. Tanya dulu kan bisa, berapa ongkosnya. Atau mungkin saking lamanya saya tidak pernah naik becak, saya tidak tahu rumus-rumus dalam naik becak begitu. Saya baru sadar ini di akhir "kan harusnya saya begini dulu, bukan begitu".
         Masuk ke bitcom, langsung kami ditanya penjualnya. Tujuan kami kesana untuk apa begitu. Singkat cerita, setelah ngobrol dengan penjualnya, kami tidak menemukan hp yang harganya dibawah satu juta. Ada yang harganya 800 ribu, tapi saya kurang cocok dengan merk dan kapasitas memori internalnya.  Akhirnya kami pergi meninggalkan bitcom. Ada sedikit percakapan antara saya dan Bintang "gimana bin langsung pulang aja atau beli hp di tempat yang lain?" Si Bintang kampret jawab "beli di tempat lain saja mas rez". Bintang kampret sekali karena dia gak tahu jarak tempat toko hp yang saya maksud. Akhirnya saya meminta pendapat Jenim. Dia bilang "gak apa-apa sudah mas jalan kaki saja sambil olahraga, uangnya disimpan untuk naik becak pulangnya". Jenim kampret ini pendatang, dia orang Banyuwangi, jadi dia mau jalan kaki saja sembari menikmati dan melihat indahnya kota Jember. Karena dua kampret itu minta jalan kaki, akhirnya saya turuti. Sisa uang kami, kami gunakan untuk naik becak tatkala kami pulang dari toko hp yang dimaksud. Saya keluar dari bitcom, kemudian menuju toko hp bernama bismar. Jarak bitcom ke Bismar adalah 2,2 km. 
        Kami jalan menelusuri trotoar kota Jember. Sampai di sebuah persimpangan, Jenim kampret meminta saya untuk memfoto kan dia. Lanjut perjalanan, jalan lurus sambil menghirup aroma debu dan polisi udara. Jalan belok sambil melihat indah pemandangan kota. Jalan turun sambil melihat kuda besi. Jalan melewati jembatan sembari melihat deras air sungai Bedadung. Tidak terasa kami sampai di Semanggi. Jenim kampret meminta saya untuk memotret dia lagi. Di terowongan Semanggi pun dia masih minta foto sialan itu. Saya juga yang malu dilihat banyak orang. Lanjut perjalanan, naik menuju gedung DPR, sambil ya menahan panasnya terik matahari. Kemudian sampailah di SMPN 3 Jember dan hujan deras turun. 
         Hujan deras turun, kami berteduh di sebuah kedai makanan. Tak berselang lama hujan pun redah dan kami melanjutkan perjalanan. Ketika hendak menuju Bismar, saya melihat ada banyak konter hp kecil-kecilan di sepanjang jalan Jawa. Hal itu sontak menyita perhatian saya untuk membeli hp disana. Lebih tepatnya saya ingin tanya-tanya harga hp begitu. Sama saja mahal-mahal dan tidak ada hp yang harganya dibawah 1 juta. Ada satu merk Advan, hanya saja ramnya sedikit. Ya terpaksa kami langsung menuju Bismar. 
         Setelah menempuh jarak 2,2 km dengan jalan kaki, sampailah kami di Bismar. Alhamdulillah saya menemukan hp yang cocok untuk si Bintang kampret itu. Ditanya oleh saya "bagaimana bin, kamu cocok dengan hp ini?". Dia respon "terserah sudah mas". Padahal yang mau beli dia sialan. Ya akhirnya atas beberapa pertimbangan, saya membeli hp tersebut mengingat harganya yang terjangkau. 
       Keluar dari Bismar, wajah si Bintang kampret ini senang sekali karena dapat hp baru. Kami jalan lagi sambil mencari tukang becak. Dari Bismar sampai perempatan gedung DPR, kami tidak menemukan tukang becak. Ada sih tukang becaknya, tetapi orangnya tidur. Tadinya mau saya bangunkan, tapi saya berpikir "Halah cari becak di ujung sana saja lah agar tarifnya tambah murah". Melewati SMAN 2, saya nasehati si bintang kampret agar kalau mau sekolah nanti daftar disana. Tetapi dia sendiri tidak mau. Wajar bintang masih kecil di langit yang biru soalnya. 
           Melewati perempatan, kami menemukan tukang becak. Jenim kampret kembali berulah lagi. Aturan mainnya kan kita tanya dulu kita mau kemana dan harganya berapa. Jenim kampret langsung naik di atas becak lagi Allahuakbar. Saya bilang "Nim jangan naik dulu". Ada penawaran harga antara saya dan kang becaknya. Harganya 20 ribu, tetapi saya coba tawar si Jenim kampret tidak membolehkan "biar sudah mas, aku capek semua ini loh". Ya akhirnya kami naik becak seharga 20 ribu dari lokasi ke depan gang rumah kami. Singkat cerita, kami semua tiba di rumah dengan selamat. 
         Nah, adapun peristiwa yang menarik adalah ketika kami jalan kaki, saya tidak menemukan pejalan kaki sama sekali selain kami. Pemandangan semacam ini beda sekali dengan negara-negara maju seperti Jepang, Australia, dst. Di negara-negara maju, umum sekali melihat orang-orang jalan kaki. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah untuk kesehatan tubuh. Di Jepang misalnya, banyak orang jalan kaki daripada naik kendaraan pribadi. Padahal kita tahu banyak kendaraan yang diproduksi oleh Jepang. Nah, di Indonesia khususnya di kota Jember justru sebaliknya, banyak yang menggunakan kendaraan bermotor daripada jalan kaki. Ketika jalan kaki, kami merasa pd sekali dilihat para pengendara kendaraan bermotor "wah aku ini siapa ya? Kok dilihatin terlalu serius oleh mereka"
         Itu benar adanya, ketika kami jalan kaki, banyak kendaraan baik dari arah belakang maupun berlawanan yang melihat kami. Jadi kami merasa jadi tontonan. Merasa jadi ikon karnaval, gila loh. Orang jalan kaki dipantengin oleh para pengendara kuda besi. Ada yang resek, kami jalan diklakson dari belakang, padahal jelas kami jalan di atas trotoar loh. Setelah saya lihat, yang klakson kami biasalah seorang pemuda. Pingin sekali saya colok matanya itu. Kecuali kalau kami jalan di bahu jalan baru boleh diklakson. Dia klakson itu semata-mata hanya untuk mengejek kami saja, saya tahu. Di depan si kampret itu tidak ada loh kendaraan lain, terus si kampret nglakson siapa kalau bukan kami? Di depannya tidak ada kendaraan baik roda dua maupun empat yang menghalangi dia. Kalau sekedar tes klakson tidak mungkin juga. Kenapa dia klakson dari belakang kami? Kok gak setelah melewati kami saja? Ya dia kampret ini tujuannya mengejek atau mengageti kami saja. Ya sontak kami kaget lah, wong diklakson pas dari belakang kami, dekat lagi jaraknya. Apa namanya kalau bukan kampret itu?
        Itu dari arah belakang, nah sekarang dari arah berlawanan. Dari arah berlawanan banyak juga yang heran atau bingung melihat kami jalan kaki. Kami juga tahu diri dan tidak gr lah. Dari belakang sebetulnya juga ada yang melihat kami. Baik yang bonceng atau yang dibonceng juga menengok kami seperti keheranan dengan mata sinis setengah ketawa mengejek. Itu true story, rasanya pingin saya colok matanya itu. Kalau dari arah berlawanan tidak jauh berbeda sih, melihat kami dengan tatapan heran dan tertawa. Ya maksud kami apa? Emang dosa jalan kaki? Beda cerita mungkin kalau kami jalan kaki memakai seragam sekolah kali ya? Baru tuh gak akan dilihatin kalau memakai seragam sekolah. Ya lihat boleh, tapi jangan dengan tatapan setengah mengejek dan keheranan lah. Aneh begitu rasanya mungkin lihat orang jalan kaki. Tahun 70-an orang jalan kaki keheranan lihat mobil jalan, sekarang berasa dibalik. Orang naik kendaraan keheranan melihat pejalan kaki. 
        Jujur sepanjang perjalanan sejauh 2,2 km, kami tidak melihat satu pun pejalan kaki selain kami. Jalan di atas trotoar di tengah panasnya matahari begitu. Mungkin saja belum rezeki kami melihat pejalan kaki kali ya. Kalau yang bawa sepeda motor nyeberang jalan beli bakso, ke Jember klinik, mampir beli bunga itu bukan termasuk hitungan. Nah kalau ada orang jalan kaki sejauh 1,5 km beli sarung di pasar Tanjung, nah itu masuk hitungan kami. 
      Saya sebenarnya juga bingung melihat pengendara menatap kami bingung begitu. " Ini orang kepo atau bagaimana sih? Apa dia gak pernah lihat orang jalan kaki?" Ya saya pribadi merasa risih dan sedikit terganggu ketika dilihati oleh banyak pengendara bermotor. Mereka seperti tidak ada kerjaan saja. Kan bisa lihat yang lain, lihat pengendara di depannya misalnya. Kenapa harus kami yang terus dilihati? Semua pengendara roda dua loh bayangkan, mereka asik melihat kami dengan ya raut muka yang kurang mengenakkan lah. Kalau melihat kami dengan tatapan biasa begitu, kami masih bisa memaklumi. Lah ini tatapannya gak wajar sama sekali, seperti lihat alien jalan di trotoar begitu. Lihat ya lihat saja gak usah lama-lama lihatnya. Ada itu muda mudi baik laki dan perempuan melihat kami lama sekali, dilihat dari spion juga. Itu mau apa coba? Saya juga mikir saya ini siapa kok dilihat sampe segitunya. Pembaca kalau ingin mencobanya silahkan dan buktikan sendiri kebenarannya. Kan benar nanti apa kata saya. 
       Tak dapat dipungkiri, fenomena orang jalan kaki di Kota Jember kian kemari semakin langka. Bahkan sampai sekarang, jika saya keluar ke kota, saya selalu mengamati keadaan di kota Jember. Dan jawabannya pun sama, tidak ada pejalan kaki. Kemana mereka semua? Kalau jalan kaki olahraga mengelilingi alun-alun kota banyak. Itu pun hari Minggu biasanya haha. 
       Hal itu tidak terlepas dari perkembangan zaman sih. Zaman sekarang itu mudah, jangan dipersulit. Kalau ada kendaraan, kenapa jalan kaki? Kan begitu? Makanya tak hayal, jikalau kami bertiga jalan kaki dilihati sampai segitunya. Kami yang dilihati bingung kan? Waduh kami ini siapa? Bule juga tidak. Terus terang, kami jalan itu ya seperti orang pada umumnya, tetapi masih dilhatin. Kecuali kami jalan sambil juggling bola, baru pantas dilihat. Jalan bawa celurit sama golok itu baru pantas juga dilihat. Gila orang-orang itu. Segitu penting kah melihat kami haha. Who are we?
       



     
        

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?