Istighosah Ya Arhamarrahimin: Obat Rindu Akan Kenangan Manis Bersama Emak
Setiap hari Kamis malam Jumat, di Ponpes Al Qodiri Jember rutin membaca sholawat Ya Arhamarrahimin. Suara mic dari sholawat tersebut terdengar sampai rumah saya. Sholawat tersebut selalu mengingatkan nostalgia saya dengan emak atau nenek saya 17 tahun silam. Sholawat tersebut baru saja terdengar sekitar pukul 21:00. Saya di dalam kamar ketika mendengar sholawat tersebut sontak teringat almarhumah emak saya. Entah kenapa setiap mendengar sholawat itu, hati saya terenyuh, tubuh yang melakukan pekerjaan sontak terdiam, bahkan tidak sadar air mata jatuh. Mendengar sholawat tersebut, teringat masa-masa saya sejak bersama emak saya. Duhh tak tahan rasanya menahan air mata.
Alunan dan syair sholawat tersebut benar-benar menusuk hati saya. Alunan liriknya benar-benar menggetarkan jiwa . Pembaca kalau ingin mendengarkan dapat mengunjungi linknya sendiri. (https://youtu.be/2FZqaIylbS0.)
Sewaktu kecil, saya lebih dekat dengan emak daripada kedua ortu saya. Kemana-mana saya selalu bersama emak saya. Emak saya sayang sekali dengan saya. Bapak Mitro, tetangga saya mengatakan bahwa saya adalah cucu kesayangan emak saya. Sampai sekarang pun ketika mengingat emak, hati ini rasanya belum ikhlas melepas kepergian beliau. Satu-satunya alat yang mampu mengingatkan saya akan beliau adalah sholawat Ya Arhamarrahimin.
Saat bersama emak dulu, saya sering sekali tidur di rumah beliau. Saya selalu tidak bisa tidur ketika diperdengarkan sholawat tersebut. Emak dan Mbah saya sudah tertidur. Sedangkan saya menengadah melihat langit-langit dan dinding rumah serta melihat Mbah dan emak saya yang sudah tidur. Shalawat tersebut lah yang menemani saya tatkala hendak tidur. Karena itu sampai sekarang, tidak heran kalau saya menangis mendengar shawalat tersebut. Saya jadi teringat dengan almarhumah emak saya. Paling tidak bisa saya mendengar shalawat tersebut, karena jatuhnya pasti saya menangis. Jasa emak kepada saya itu besar sekali. Bahkan sampai sekarang saya masih ingat kenangan manis yang pernah kami lakukan berdua.
Kenangan yang paling melekat adalah lembang-lembang di sungai. Lembang-lembang artinya tatkala mandi di sungai, kita mandi terlentang dan bahu kita dipegang dibawah derasnya arus sungai. Anak kecil paling suka dilembang-lembang. Saya tidak tahu, bahasa lain dari lembang-lembang menurut KBBI. Sebelum lembang-lembang, biasanya emak mencarikan saya ikan dulu menggunakan tangan kosong. Saya yang masih kecil saat itu hanya bisa teriak-teriak melihat ada ikan di dekat saya. Ya Allah tidak kuasa rasanya menahan air mata tatkala mengingat kebersamaan saya dengan almarhumah emak saya.
Ketika hari raya idul fitri misalnya, tatkala saya bersalaman dengan tetangga saya yang mohon maaf sudah tua. Beliau-beliau selalu bilang bahwa saya adalah cucu kesayangan emak saya. Bahkan tetangga saya bernama ibu Sumi masih ingat momen-momen ketika saya mencium kening jenazah emak saya. Kalau bertemu dengan tetangga, tidak luput dikaitkan dengan emak saya, karena kemana-mana kita selalu berdua. Mandi ke sungai berdua, cari ikan berdua, cari keong di sawah berdua, ke pasar berdua, dst.
Namun kalau melihat diri saya yang dulu. Saya adalah anak yang nakal dan bandel. Belum ada anak sekarang yang mengalahkan kenakalan saya sewaktu saya kecil dulu. Namun emak saya senantiasa sabar mendidik saya. Kalaupun saya diomeli orang-orang, emak saya selalu di depan membela saya. Nah, setiap lebaran hari raya idul Fitri juga, orang tatkala bersalaman dengan saya selalu bilang "huh Reza sudah besar, dulu tahu sendiri kecilnya nakal sekali, untung masih disayang sama emaknya". Saya hanya tersenyum mendengar itu. Nakal disini adalah nakalnya anak kecil begitu. Tetapi walaupun saya dulu nakal, tetangga saya memaklumi karena saya dulu masih kecil belum bisa membedakan mana baik dan buruk.
Ada banyak pengalaman dan kenangan saya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu detilnya dalam tulisan ini. Kemana-mana saya selalu diajak jalan berdua dengan emak saya. Contohnya jalan kaki beli beras dan minyak gas, ke pasar belanja bersama, BAB ke sungai bada subuh, ditemani jalan kaki menuju TK, beli baju ke toko jalan melewati sawah, dst. Intinya setiap hari setiap saat saya diajak jalan berdua dengan emak saya. Karena itu kalau sudah mendengar Shawalat Ya Arhamarrahimin, saya menangis mengingat kenangan saya dengan emak saya. Bisa dikatakan, saya paling tidak bisa mendengar shalawat tersebut. Tidak bisa dalam hal ini bukan berarti saya anti sholawat tersebut atau tidak mau mendengarkan, akan tetapi tatkala mendengar shalawat tersebut saya selalu meneteskan air mata karena ingat kenangan bersama almarhumah emak saya. Berbeda dengan ibu, kalau ibu saya teringat kenangan bersama emak saya manakala H-1 lebaran hari raya idul Fitri. Mendengar takbiran malamnya, ibu selalu menangis karena mengingat emak saya.
Emak saya adalah seorang petani dan pencari kayu. Ketika beliau bertani, saya selalu diajak oleh beliau. Saya jadi tahu euforia makan bersama dengan petani yang lain. Tidak bisa saya mendeskripsikan sosok beliau. Melihat cintanya yang luar biasa kepada saya rasanya sungguh membuat hati terenyuh.
Ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Saya masih ingat kenangan bersama emak saya. Karena tetangga yang lain menceritakannya tatkala bertemu saya. Di tempat tinggal saya itu ada istilah area dukuran (atasan) dan ngisoran (bawahan). Di kedua area itu, ketika orang-orangnya bertemu saya, mereka selalu berkata "Reza wes besar, dulu kemana-mana selalu jalan berdua sama emaknya". Memang saya akui itu benar adanya, kemana-mana saya selalu diajak jalan berdua oleh emak saya. Aktifitas sehari-hari tidak luput berdua begitu. Ada yang mengatakan emak saya itu pelak (sayang) pada saya.
Nah, cinta emak saya itu menembus ke dalam qolbu saya. Tatkala saya duduk di bangku SMA, saya selalu membawa foto emak saya di dalam tas. Alasannya adalah ketika saya di kelas bandel dan tidak mendengarkan guru atau tidak mengerjakan tugas, saya selalu lihat foto emak saya supaya saya jadi semangat belajarnya. Ini true story, saya tidak bohong. Pernah pastinya, saya dilanda stress karena kesibukan di sekolah, obatnya satu yaitu melihat foto emak saya, karena itu saya jadi semangat untuk bersekolah. Itu akan jadi motivasi saya agar saya sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di sekolah.
Emak saya itu selalu membela saya tatkala saya bandel dengan orang tua saya. Padahal jelas yang salah saya karena mencuri uang ayah saya. Tetapi tetap, emak saya selalu membela saya walaupun saya salah. Emak saya tidak ingin saya diapa-apakan oleh ortu saya seperti dicubit atau semacamnya. Hal itu juga yang membuat saya selalu lari ke emak ketika saya dimarahi ibu atau ayah saya hehe. Wah bandel sekali saya anaknya. Sebandel-bandelnya anak sekarang, lebih bandel saya yang dulu. Semua tetangga saya ketika bertemu saya, masih ingat bandelnya saya waktu kecil dulu. Bukan di kampung saya saja, di kampung lain saya juga sama bandelnya. Di rumah saudara-saudara misalkan, ketika hari raya saya main kesana, tetangga di sana masih ingat dengan saya. Bukan ingat karena baiknya, tetapi karena nakalnya. Terkenal nakal saya yang dulu. Tetapi nakalnya disini nakalnya anak-anak. Tetapi kurang lazim sih nakalnya. Misalnya, ada orang bertamu, tehnya saya minum semua. Itu juga kata salah satu tetangga saya. Semua teman saya, ketika berteman dengan saya selalu menangis karena dinakali oleh saya. Karena itu saya tidak ditemani oleh teman-teman yang lain.
Walaupun saya nakal seperti disebutkan di atas, emak saya selalu membela saya. Beliau bahkan pernah bertengkar dengan tetangga lantaran membela saya. Tetapi emak saya tidak pernah main tangan dengan saya, senakal-nakalnya saya. Kalau cerita tentang nakalnya saya dulu, wah makan halaman lebih dari 100 sepertinya.
Anak kecil seperti saya dulu, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kepedihan setelah ditinggalkan oleh orang tersayang. Tumbuh beranjak dewasa, saya jadi teringat masa-masa bersama emak saya "dulu saya sama emak pernah begini begitu dan kesana kemari". Dari situ saya berpikir ternyata cinta dan sayang emak begitu besar untuk saya. Sedangkan saya pribadi masih belum bisa menunjukkan bahwa saya adalah anak yang baik. Emak saya meninggalkan saya 17 tahun silam, dimana saya masih berusia sekitar enam tahun. Ya kembali lagi bahwa saya masih belum mengerti apa itu kepedihan, ketika emak saya meninggal, saya biasa saja dan masih bisa tertawa. Begitu beranjak dewasa, saya jadi tahu apa yang dimaksud kepedihan setelah ditinggal emak saya.
Ketika melihat adik saya tidur misalkan, saya sering mengelus rambutnya seraya berkata "coba kalau emak masih hidup, pasti kamu diajak jalan-jalan seperti mas dulu". Ketika emak meninggal, adik saya masih belum lahir. Sedih rasanya ditinggal emak begitu. Jelas belum bisa ikhlas saya sampai detik ini. Karena saya merasa berutang budi, sedangkan saya masih belum bisa membalas jasa emak saya kepada saya. Ibu berkata "dulu emak itu kalau mau beli sesuatu, yang tidak ada diada-adakan untuk membeli sesuatu tersebut, padahal beliau tidak memiliki uang, beliau pergi ke pasar jual sprei, uangnya dibuat beli barang yang dimaksud" Orang seperti beliau langka sekali di dunia ini. Belum ada yang menandingi beliau, termasuk orang tua saya sekalipun. Yang membuat sedih, emak saya belum bisa melihat saya yang sekarang. Saya bukan lah anak yang nakal seperti dulu lagi.
Setelah tahu emak meninggal, saya orang pertama yang melihat Mbah saya nangis. Beliau duduk di atas lantai sembari memperlihatkan tatapan kosong. Saya yang masih kecil belum mengerti arti semua itu. Kasihan sekali saya dengan Mbah saya. Beliau juga tidak kalah luar biasanya di mata saya. Kasihan saya melihat beliau ditinggal oleh orang yang luar biasa seperti emak saya. Saking luar biasanya, tetangga saya menghormati beliau. Dan kembali, begitu melihat saya, selalu dikaitkan dengan emak saya. Karena memang kemanapun kami selalu bersama begitu.
Saya mengaku bangga pernah bersama dengan emak saya walaupun sebentar. Saya merasakan cinta yang luar biasa dari beliau. Kenangannya masih teringat dalam benak saya. Dan kenangan ini tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih emaklu.
Note: Level atau kualitas tertinggi dari seorang penulis ialah apabila ia mampu menulis sambil meneteskan air mata.