Taman Belajar Jadi Kenangan
Saya mulai merintis taman belajar sejak semester empat sampai enam silam. Awal mulanya saya mengajari adek saya di depan teras rumah saya. Kemudian ada Putri, teman sekelasnya datang, mau belajar bareng adek saya. Ya sudah saya ajari sekalian dua anak tersebut.Tak lama setelah itu ada Talia teman bermain adik saya, mampir ke rumah saya untuk melihat saya ngajar bahasa Inggris. Nah, dari Talia inilah muncul ide untuk merintis sebuah taman belajar. Talia berkata pada saya "eh mas Reza, kalau setiap hari belajar seperti ini enak ya mas? Kenapa mas Reza gak ngadakan belajar bersama saja mas? Pasti banyak yang mau ikut, kan mas Reza pinter sih. Nanti aku mau bilang ke anak-anak yang lain mas". Saya respon "selama mas Reza gak sibuk gapapa tal, ajak semua yang mau belajar saja tal, saya ajari"
Belajar bersama tersebut, saya bentuk dan beri nama sebagai Taman Belajar, bukan kursus atau les-lesan. Karena bagi saya les-lesan atau kursusan identik dengan uang atau pembayaran selama mengikuti jalannya pembelajaran. Di taman belajar ini, saya tidak memungut biaya sepeser pun dari murid-murid saya.
Perlu diketahui, saya membuat taman belajar ini tujuannya bukan karena faktor finansial, desakan orang tua atau yang lain. Saya hanya ingin membagi ilmu saya kepada adik-adik saya yang membutuhkan. Itu saja tujuan saya, tidak ada yang lain. Karena kalau mereka les di luar, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang, dan saya amat kasihan begitu. Biarlah belajar sama saya. Saya sama sekali tidak menarik uang sepeser pun dari taman belajar tersebut kepada murid-murid saya. Sepeser pun tidak ada. Justru saya yang mengeluarkan uang untuk kebutuhan atau perlengkapan belajar mereka. Karena saya berprinsip, semua rezeki sudah ada yang mengatur. Niat saya satu, yakni berbagi ilmu itu saja. Masalah imbalan atau gaji itu nomer sekian untuk saya.
Awal merintis taman belajar, murid saya hanya berjumlah enam orang. Mereka adalah adik saya sendiri, Heni, Palupi, Putri, Talia, dan Aurel. Semuanya adalah perempuan. Dan semuanya duduk di bangku SD. Nah dalam taman belajar ini, saya tidak mengajari mapel bahasa Inggris saja, melainkan semua mapel yang ada di sekolah dasar.
Setelah beberapa lama taman belajar berjalan, murid-murid saya memberi usul bahwa pada hari A, B, C supaya diajarkan mapel MTK saja karena sulit sekali. Saya terima usulnya dan saya memberi mapel MTK lebih banyak daripada mapel yang lain.
Hari demi hari jumlah murid saya semakin bertambah. Alhamdulillah saya senang karena mereka semua antusias menerima mapel yang saya ajarkan. Kadang kalau melihat mereka, rasanya sempat ingin menangis. Karena saya melihat saya yang dulu. Dulu banyak sekali teman saya yang les. Hanya saya saja yang tidak les. Sehingga kalau mau bermain saya harus menunggu teman saya dulu di depan les-lesan tersebut. Lihat anak-anak les belajar bareng enak sekali begitu. Saya hanya bisa melongo saja depan pintu. Sempat ingin dileskan oleh ortu saya, namun tidak kesampaian saat itu. Karena mengingat itu, maka saya bebaskan semua biaya belajar pada murid saya. Gratis kapan saja. Ada PR, ada ulangan, belajar sama saya gratis.
Ketika saya sudah semester lima. Murid saya berjumlah tiga puluh lebih. Ada yang TK SD, dan SMP begitu. Sampai di taman belajar, mereka duduk saja mendengarkan saya menjelaskan. Kasihan yang masih TK, disuruh pulang gak enak begitu. Karena saat itu mata pelajarannya adalah MTK tentang pecahan. Bingung saya yang TK mau diajari apa. Ibu saya memberi saran agar anak-anak itu dibagi waktu ngajarnya berdasarkan jenjang pendidikannya. Yang TK diajari calistung saja. SD kelas sekian dan sekian diajar di hari dan jam yang berbeda. Kalau SMP belakang-belakang saja itu. Saya terima usul ibu saya.
Saya mengajar mereka hari Jumat sampai Minggu, sore bada ashar kemudian dilanjut bada Maghrib sampai jam 20:00. Namun saya pernah ngajar pagi di hari Sabtu dan Minggu. Biasanya saya ngajar tiga anak saja. Mereka itu yang juara sih di kelas. Di luar itu mereka yang ingin belajar hanya ingin dibantu mengerjakan PR-nya. Ada juga tetangga saya yang SMP belajar kepada saya di hari dan jam tertentu. Biasanya dia lihat dulu, kalau di rumah saya, saya senggang, mereka minta ajar ke saya. Saya mengajar MTK pada anak SMP tersebut. Padahal MTK sendiri bukan jurusan saya di kampus. Tetapi tidak apa lah, saya juga suka MTK. Fisika saya juga suka. Anak-anak yang mau belajar ke saya, saya bebaskan mereka mau belajar apa, terserah mereka mau belajar apa. Belajar Tartil, agama, Sejarah, Menggambar, ayo sudah saya sanggup. Namun kalau ada kesibukan, saya kadang dilema begitu. Kasihan ada dalam diri saya kepada mereka. Karena itu saya sering juga mengenyampingkan tugas-tugas kuliah saya. Saya ajari mereka dulu. Sampai jam 22:00 juga pernah. Ya saya pribadi tidak tahu datangnya rasa kasihan tersebut. Murni dari dalam hati mungkin ya? Karena itu saya sempat ditegur oleh ibu saya "kasihan dan baik sama orang itu boleh, tetapi perhatikan dulu diri kamu, ada kesibukan tidak, kalau sekiranya ada kesibukan ya bilang ke anak-anak sibuk begitu". Saya sedikit keras kepala memang, justru saya lebih memilih mengajar murid saya dulu, setelah itu saya fokus dengan tugas-tugas kuliah saya.
Dari pengalaman membentuk taman belajar itu, orang tua anak-anak ada yang menghampiri saya agar anaknya diajari secara private. Katanya nanti akan dibayar perbulannya. Awal mulanya saya menolak untuk dibayar, kalau hanya mengajar calistung saja. Tetapi orang tua tersebut mengatakan tidak apa kalau saya dibayar, uangnya berguna untuk beli paketan. Selain itu yang mau membayar saya adalah Tante dari anaknya. Setelah menerima saran dari ibu saya, saya menyiapkan jadwal untuk mengajar private calistung. Saya harus pandai dalam menyesuaikan jadwal mengajar private dengan taman belajar saya. Alhamdulillah atas kehendak Allah, semua berjalan lancar. Saya mengajar anak yang private itu dari Senin sampai Sabtu, jamnya tidak beraturan. Kapan pun saya bisa, saya panggil anaknya ke rumah saya dan belajar dimulai.
Tidak berhenti disana, saudara saya yang mengetahui saya mengajar di taman belajar meminta saya untuk mengajar dua anaknya dan satu anak yang lain secara private di kelurahan Bintoro. Saya mengajar disana selama setahun lebih. Saya yang pergi ke rumahnya, bukan mereka yang datang ke rumah saya begitu. Tadinya saya menolak, apalagi setelah mendengar bau-bau bayaran. Tetapi setelah mendengar saran ibu, saya terima tawaran saudara saya.
Sibuknya mengajar di kelurahan Bintoro, membuat taman belajar saya sedikit tidak terurus. Karena Sabtu dan Minggu jadwal ngajar saya di Bintoro bentrok dengan taman belajar. Awalnya hari Sabtu dan Minggu sore saya ngajar di taman belajar, diganti ngajar di Bintoro. Nah, baru setelah pulang dari Bintoro, bada Maghrib sekitar jam 18:30 saya mengajar di taman belajar. Jam 18:00 saya masih ngajar satu anak secara private di rumah saya. Waktu ngajarnya sengaja dipersingkat setelah saya negosiasi dengan orang tuanya. Yang biasanya satu jam lebih seperempat, menjadi setengah jam khusus di hari Sabtu. Materinya yaitu mengulang pelajaran yang saya ajarkan dari hari Senin hingga Jumat.
Setelah mengajar private, saya mengajar di taman belajar saya. Jumlah muridnya masih banyak kira-kira sekitar lima belas lebih. Nah semuanya adalah anak SD dari kelas empat sampai enam. TK dan kelas satu hingga tiga, saya ajari di hari Jumat sore dan malam. Tidak berhenti disitu, setelah saya selesai mengajar di taman belajar pada pukul 20:00 pas, anak-anak SMP datang ke rumah saya untuk mengerjakan PR. Awalnya saya minta mereka untuk gabung anak SD, mereka tidak mau. Berbeda dengan anak SD, untuk anak SMP saya cenderung mengajar tugas mereka, bukan memberi pelajaran. Kalau anak SD, setiap pertemuannya saya siapkan materi-materi yang akan diajarkan, hari A mengajar pecahan, selanjutnya materinya beda, bahkan saya adakan ulangan untuk mereka. Kalau anak SMP tidak begitu, minimnya waktu membuat saya hanya membantu menyelesaikan PR mereka.
Hari demi hari ibu mulai kecewa dengan orang tua anak-anak yang saya ajar. Ibu merasa bahwa saya dibodohi dan dimanfaatkan. Karena selama saya mengajar, saya sama sekali tidak memungut biaya dari taman belajar. Yang membuat ibu saya kecewa adalah tak satu orang tua pun yang datang ke rumah saya mengucapkan terimakasih karena telah mengajar anaknya. Ibu saya berkata "kalau bayar mungkin terlalu berat, cobalah sekali-kali menengok anaknya belajar disini dan bilang terima kasih sama Reza". Ibu saya hanya butuh ucapan terima kasih saja setelah sekian lama saya mengajar anak-anak beliau. Kedua, bapak RT tidak mendukung adanya program taman belajar ini, karena apa-apa saya yang menyiapkan sendiri seperti beli tinta spidol, ngeprint soal, dst. Setidaknya ada upaya atau apresiasi dari bapak RT untuk saya, mengingat cucunya juga diajar oleh saya. Jadi selama saya mengajar belum ada satu dari orang tua anak-anak yang mendatangi rumah saya dan mengucapkan terima kasih, sama sekali belum pernah. Bukan hanya ibu saya yang kecewa, pak de saya juga kecewa karena saya kuliah kan keluar uang, tenaga, dan waktu, harusnya ada lah uang ceperan dari organisasi di kampung saya untuk saya. Saya mengerti maksud ibu dan pak de saya, saya mencoba koreksi diri dan belajar untuk sabar saja, karena saya percaya kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Walaupun sakit untuk saya pribadi. Melihat anak-anak senang belajar sama saya, itu sudah cukup membuat saya bangga. Kembali lagi dengan sudut pandang, sudut pandang saya, ortu, dan pak de saya berbeda dalam hal ini. Saya tahu kok mana yang baik dan buruk dan mana yang benar dan salah. Selama itu baik untuk saya maka akan saya lakukan. Mau saya sakit hati atau apa itu nomer sekian.
Ketika saya selesai mengajar anak-anak TK dan SD kelas 1-3, keesokan harinya ibu mengomeli saya. Ibu ngomel karena lantai dibuat kotor, tembok dicoret dengan crayon, jendela saya dirusak, ada stipo dimana-mana. Awalnya ibu masih memaafkan. Namun hal itu terulang kembali kesekian kalinya. Akhirnya ibu saya marah dan tidak membolehkan saya mengajar anak-anak TK tersebut. Nah, ibu saya merasa sakit hati begitu, tidak tega saya diperalat. Entah kenapa saya tidak menyadari kalau saya diperalat dan saya menganggap itu sesuatu yang baik untuk saya. Kendati demikian, setelah mendengar omelan ibu, saya menuruti kemauan ibu untuk tidak mengajar anak-anak TK dan SD kelas 1-3 tersebut. Sedih ada, namun dalam hal ini saya harus mematuhi perintah ibu saya.
Menginjak semester tujuh, saya secara terang-terangan mohon maaf untuk berhenti mengajar taman belajar dulu karena saya harus fokus dengan perkuliahan saya. Semester tujuh adalah semester dimana sibuk-sibuknya mahasiswa. Nah, karena itu taman belajar saya hanya menjadi kenangan. Terima kasih untuk semuanya yang telah memberikan saya arti dari kehidupan.
Lesson: Kita tidak bisa merubah masa lalu, tetapi kita bisa merubah masa depan.