Wanda Anak Kecil yang Malang

       Hari Jum'at tanggal 9 kemarin, saya dikejutkan dengan kedatangan teman adik saya di rumah kami. Adik saya membawa dua orang temannya ke rumah kami untuk mengerjakan ujian akhir sekolah. Kedua temannya adalah Putri dan Wanda. Kalau Putri datang kemari saya tidak terkujut karena sebelumnya dia bilang mau mengerjakan UAS di rumah kami. Itu dikarenakan kedua orang tuanya yang bekerja. Putri merasa tidak bisa jika mengerjakan UAS seorang diri. Nah, kalau Wanda ini saya terkejut karena sebelumnya adik saya tidak bilang ke saya kalau Wanda mau melaksanakan ujian di rumah kami begitu. Ada apa gerangan?
       Saya tanya ke Putri dan adik saya penyebab kenapa si Wanda ujian di rumah kami. Penyebabnya adalah; pertama Wanda rumahnya jauh, karena jauh tersebut tidak jarang ketika mengerjakan ujian, Wanda selalu datang terlambat mengumpulkan ujian di sekolah. Selain jaraknya yang jauh, dia datang ke sekolah juga jalan kaki. Bisa dibayangkan sendiri dia bolak-balik dari rumah ke sekolah. Jam setengah delapan, Wanda mengambil lembar soal di sekolah dan kemudian dikerjakan di rumahnya. Itu pun saat dia mengambil lembar soal, dia sering datang ke sekolah melebihi jam setengah delapan. Jam sepuluh pas, dia harus mengumpulkan hasil pekerjaannya ke sekolah. Batas pengumpulannya jam sepuluh, kalau tidak ingin terlambat, maka dia harus berangkat ke sekolah kurang dari jam sepuluh. Faktanya dia datang ke sekolah mengumpulkan hasil ujiannya di atas jam sepuluh.
          Kedua, hal itu diantisipasi oleh gurunya supaya Wanda mengerjakan ujian di sekolah agar tidak terlambat lagi dan lagi ketika hendak mengumpulkan ujiannya. Sayangnya ketika mengerjakan ujian di sekolah, pekerjaan Wanda selalu banyak salahnya daripada benarnya. Dua hal itu lah yang menjadi faktor atau latar belakang kenapa Wanda dianjurkan mengerjakan ujian di rumah kami. Pertama rumah kami jaraknya dekat dari sekolah dan yang kedua ada yang mengajari supaya hasil ujiannya bagus. Nah itu adalah alternatif nomer dua yang dipilih oleh gurunya. Awalnya Wanda diminta untuk mengerjakan ujian di rumah Putri. Wanda juga menyetujui. Tetapi kan Putri sudah bilang sebelumnya mau mengerjakan ujian di rumah kami karena orang tuanya pergi bekerja. Secara langsung itu artinya Wanda juga mengerjakan ujian di rumah kami. 
        Saya sebagai pendamping mereka bertiga, menyuruh mereka mengerjakan ujiannya semampu mereka dulu. Setelah selesai mengerjakan semua, saya bantu untuk mengoreksi pekerjaannya yang salah. Mereka mengerjakan ujian dibantu dengan kisi-kisi yang diberikan oleh gurunya sebelumnya. Di dalam kisi-kisi tersebut sudah lengkap, bahkan soal dalam ujian hampir jiplak di dalam kisi-kisi, hanya saja bahasanya dibuat sedikit berbeda. Kisi-kisi nomer satu, sesuai dengan soal nomer satu, begitu pun seterusnya. Gambar kisi-kisi dan soal ujian yang dimaksud seperti dibawah ini:

                               Gambar 1
                 Kisi-kisi Ujian Akhir Sekolah
                                Gambar 2
                   Soal Ujian Akhir Sekolah
        Sebelum mengerjakan soal, saya menyuruh mereka bertiga untuk mempersiapkan kisi-kisinya. Putri tidak sadar kalau ada kisi-kisinya, sehingga dia pulang ke rumahnya untuk mengambil kisi-kisi tersebut. Saya bingung dengan Putri, padahal dia menghabiskan uang lima belas ribu untuk print kisi-kisi mapel di sekolahnya. Terus kemana kisi-kisi tersebut? Lucu sekali Putri menurut saya. Nah, kalau Wanda memang benar-benar tidak tahu kalau diberi kisi-kisi oleh gurunya karena dia tidak memegang handphone. Jadi ceritanya kisi-kisi tersebut dikirim via wa dalam bentuk file, kemudian siswa-siswinya diminta untuk print kisi-kisinya itu sendiri. Seyogyanya guru dalam hal ini perlu tahu siapa saja murid yang tidak pegang handphone begitu. Atau kalau perlu, gurunya sendiri yang print kemudian siswa-siswinya tinggal mengambil kisi-kisinya di sekolah. Agar semua siswa-siswi mendapatkan kisi-kisi ujian untuk dipelajari tanpa terkecuali.
         Karena Wanda tidak memegang kisi-kisinya, saya minta adik saya untuk membuka file kisi-kisi di hp-nya kemudian diberikan ke Wanda. Biarlah Wanda membaca kisi-kisi di hp saja begitu. Ternyata file tersebut tidak bisa dibuka. Dikirim ke hp saya juga tidak bisa. Saya pribadi tidak tahu penyebabnya apa. Akhirnya saya tanya ke Wanda apakah dia bisa mengerjakan soal tanpa kisi-kisi. Dia jawab bisa. Walaupun dalam hati saya, saya kurang yakin dia dapat mengerjakan tanpa kisi-kisi. Saya biarkan mereka mengerjakan dulu sebisanya, toh nanti setelah mereka selesai, saya koreksi hasil pekerjaannya. 
        Di tengah-tengah mengerjakan soal, saya bertanya tentang keluarga Wanda. Dimana orang tuanya sampai tega betul membiarkan anaknya jalan kaki bolak-balik dari rumah ke sekolah untuk mengerjakan ujian. Padahal saya tanya ke Wanda, justru Putri yang memberitahu saya, Wanda hanya diam saja. Katanya Putri, Wanda tinggal dengan nenek dan adiknya saja. Ayahnya telah meninggal sejak Wanda kecil. Dan ibunya pergi meninggalkan mereka. Saya tanya ke Wanda, ibunya pergi kemana, dia jawab tidak tahu karena ibunya lama tidak memberi kabar ke dia. Dilihat dari gelagatnya, amat terlihat Wanda ingin menutupi masalah keluarganya kepada saya. Dia tidak ingin orang asing seperti saya banyak tahu tentang dia begitu. Sebaiknya saya berhenti untuk tidak mengungkitnya lagi. 
        Adik saya dan Putri mengerjakan soal dengan dibantu kisi-kisi, sedangkan Wanda tidak. Tetapi Wanda selesai lebih dulu dari mereka berdua. Mereka berdua mengerjakan masih sampai nomer dua puluhan. Setelah saya koreksi hasil pekerjaan Wanda, dari lima belas soal, hanya dua yang dijawab benar dan sisanya salah. Mengetahui hal itu, saya mencari alternatif untuk Wanda. Lembar kisi-kisi adik saya, steplesnya saya buka dan saya berikan kisi-kisi nomer satu sampai dua puluh sekian ke Wanda agar dia juga belajar dari sini. Mengingat adik saya mengerjakan sudah sampai nomer dua puluhan lebih begitu. Alhasil Wanda mengerjakan ujiannya dengan melihat kisi-kisi walaupun kisi-kisinya tidak lengkap karena sebagian masih dipegang adik saya. 
                               Gambar 3
               Anak-anak Mengerjakan Ujian
        Setelah mereka semua selesai mengerjakan ujiannya. Diadakan lah yang namanya koreksi bersama mulai soal nomer satu sampai lima puluh. Diantara mereka bertiga, Wanda lah yang paling banyak salahnya. Meskipun Wanda sudah memegang kisi-kisinya. Dalam hal ini, saya tidak pernah menjustifikasi Wanda inilah itulah tidak pernah. Karena tugas pendidik sejatinya bukan untuk menjustifikasi kemampuan seseorang melainkan untuk membantu seseorang berproses. Terutama proses dalam mengenal dirinya sendiri. 
          Setelah soal tersebut dikoreksi bersama. Saya ajarkan mereka istilah-istilah atau kata-kata yang sukar dipahami dalam soal tersebut. Saya perhatikan Wanda, dia tampak mendengarkan saya dengan baik. Saya selipkan motivasi untuk mereka bertiga. Karena motivasi belajar itu penting berada dalam diri seseorang. Selain memperhatikan Wanda, saya juga memperhatikan Putri dan adik saya. Saya lihat sekilas adik saya terlihat sentimen dengan Wanda. Saya tanyai dia "dek kamu gak kasihan sama Wanda?". Dia jawab "gakkk!!". Emang agak stress dia ini. Di depan orangnya, dia berani bilang begitu. Kemudian dia bilang ke Wanda "Wan bukalah maskernya itu, gak gerah tah? Masa dari tadi dipakai terus maskernya gak dibuka-buka, sampai kesel aku lihatnya". Wahh antagonis dia ini, mau jadi bawang merah sepertinya. Wanda mendengar itu diam saja dia. Saya bilang ke adik saya "sudah biarlah, wong dia nyaman dengan memakai masker, dia juga gak repot kenapa kamu jadi repot dengan urusan orang". Tetapi memang betul, saya perhatikan mulai Wanda masuk rumah, mengerjakan soal sampai selesai soalnya, dia sama sekali tidak membuka maskernya. Kalau Putri, saya perhatikan dia mesam-mesem saja. 
         Setelah semuanya selesai, saya mengantarkan mereka bertiga ke sekolah. Alhamdulillah semua selesai sebelum jam setengah sepuluh. Pertama saya mengantarkan adik saya dan adiknya Putri ke sekolah. Wanda dan Putri jalan pelan-pelan sambil menunggu saya. Setelah mengantarkan adik saya dan adiknya Putri. Saya menjemput Wanda dan Putri. Setelah semuanya selesai mengumpulkan lembar jawaban dan sudah tanda tangan, saya mengantarkan Wanda sampai di depan gang rumahnya. Kemudian sampai ke rumah saya, saya bilang ke Putri dan adik saya untuk mengambil soalnya sendiri besok, mengingat ada Wanda juga, supaya saya tidak mondar-mandir mengantarkan mereka bertiga. Batin saya, ngambil soal itu hanya sebentar saja kok, lagipula dekat jaraknya. 
        Malam ketika adik saya hendak tidur, saya ngobrol dengan adik saya tentang Wanda, bagaimana sih dia kalau di kelas. Adik saya berkata, kalau di kelas, Wanda sering lupa mengerjakan PR, kalau ditanya gurunya alasannya lupa tidak bawa buku. Cerita yang saya dapatkan dari adik saya semua negatif tentang Wanda. Tetapi saya percaya, semua itu ada latar belakangnya. Kemudian saya tanya adik saya tentang ortunya Wanda, dia jawab tidak tahu. Yang dia tahu Wanda hanya tinggal dengan adik dan neneknya. Semalam jujur saya teringat dengan anak bernama Wanda ini. Malang sekali nasibnya begitu. 
        Keesokan harinya, Putri dan adik saya mengambil soal ke sekolah jam tujuh pagi. Mereka sengaja saya suruh jalan kaki, supaya nanti kalau ada Wanda bisa jalan bareng ke rumah kami. Mereka berdua berangkat ke sekolah jam tujuh dan sampai ke rumah jam setengah sembilan. Saya tanya kok lama ke sekolahnya. Adik saya jawab, dia masih nunggu Wanda. Nah gurunya yang menyuruh mereka berdua untuk menunggu Wanda begitu. Di rumah, adik saya asik ngedumel saja karena lama menunggu Wanda. Ya sudah saya tenangkan dia. 
        Karena waktunya sedikit terkuras, maka saya merubah metode dalam mengajar mereka bertiga. Sebab jam sepuluh pas lembar jawaban sudah harus terkumpul di sekolah. Saya menyuruh mereka mengerjakan soal secara bergiliran, adik saya mengerjakan soal nomer satu, Putri nomer dua, Wanda nomer tiga, begitu seterusnya. Setelah mereka selesai mengerjakan, kemudian diadakan koreksi bersama. Koreksi bersama tidak membutuhkan waktu lama sebab saya lihat pekerjaan meraka banyak yang benar. 
        Di tengah-tengah kesibukan mereka, saya tanya adik saya perihal pengumpulan lembar jawaban kemarin. Apa ada komentar dari gurunya atau tidak begitu. Justru komentar datang untuk Wanda. Kata gurunya, cara Wanda menyilang jawaban di lembar jawaban kurang tebal begitu. Gurunya meminta adik saya untuk memperhatikan cara Wanda dalam menyilang jawaban di lembar jawaban. Mendengar itu saya tanya, pensil yang Wanda pakai itu 2B asli atau bukan. Wanda belum jawab, Putri jawab kalau pensil dan stipnya dia dipinjami oleh gurunya. Saya lihat pensil Wanda 2B asli, hanya saja rautannya kurang lancip sedikit begitu. Oleh karena itu saya rautkan pensil dia agar di lembar jawaban menjadi tebal.
       Saya memperhatikan Wanda, jatuhnya justru iba dan kasihan.  Saya tanya apa dia sudah sarapan? Dia jawab belum, ya sudah saya berikan molen saya untuk dia. Anak ini diam begitu selama mengerjakan. Tidak ada canda-candaan begitu dengan yang lain. Membuka obrolan atau semacamnya, dia sama sekali tidak melakukan itu. Saya tidak tahu seberapa besar beban hidup yang dia tanggung. Tetapi dia mengajarkan saya untuk selalu bersyukur. Malang sekali nasibnya, semoga kelak dia jadi anak yang sukses, berbudi pekerti luhur dan selamat dunia akhirat tentunya. Jujur saya ingin tahu banyak tentang dia, tetapi dia tetap berusaha untuk menutupinya. 
       Setelah semuanya selesai, saya mengantarkan mereka ke sekolah untuk mengumpulkan lembar jawaban. Saya mengantar mereka bolak-balik sebab sepeda saya tidak muat untuk empat orang. Adiknya Putri kan juga ikut kami ke sekolah. Disuruh tunggu di rumah saya, dia tidak mau ya sudah saya bawa saja sekalian ke sekolah. Setelah semuanya selesai dari sekolah, saya mengantarkan Wanda lagi sampai di depan gangnya. 
        Di tengah-tengah perjalanan menuju rumah Wanda, sebetulnya dalam hati ini ada niat mau bertanya tentang keluarga Wanda. Tetapi saya urungkan, karena itu adalah privasi dia. Bingung mencari cara untuk tanya ke dia, mau basa-basi dulu tapi tidak tahu mau bahas apa, ya sudah saya diam saja. Saya kasihan dengan dia begitu. 
       Di rumah saya, masih ada Putri dan adiknya. Dia memberi saran supaya besok Senin, saya yang mengambilkan lembar ujian dia dan adik saya. Saya tahu alasannya adalah supaya Wanda tidak ikut ujian di rumah saya. Putri berkata bahwa dia kasihan dengan saya bolak-balik mengantarkan mereka bertiga begitu. Kalau mereka yang mengambil lembar soal hari Senin, gurunya pasti meminta mereka berdua agar Wanda mengerjakan ujian di rumah kami lagi. Karena itu mereka berdua meminta saya untuk mengambil soal tersebut. Selain itu, Wanda juga datang ke sekolah lama sekali. Bayangan mereka, pasti Wanda disuruh mengerjakan ujian di sekolah karena lembar ujian mereka berdua kan saya yang mengambilkan.
         Hari Minggu, saya sudah menyiapkan rencana kedzaliman terhadap Wanda. Saya terpengaruh oleh Putri dan adik saya. Saya sengaja besok Senin mengambil lembar soal ujian, supaya Putri dan adik saya mengerjakan ujian dengan tenang di rumah saya dan Wanda mengerjakan ujian di sekolah. Lagipula, Wanda mengerjakan soal ujian di rumah saya juga banyak salahnya. Jadi memakan waktu lama kalau ada dia. Selain banyak salahnya, dia juga banyak diamnya seolah-olah tidak menghargai tuan rumah. Ini adalah rencana iblis yang nyata. Iblis menghasut saya sedemikian rupa yang akhirnya saya mendapatkan rencana jahat kepada seorang anak kecil yang tidak berdosa. Manusia macam apa saya ini. Alhamdulillah dalam hal ini Allah tidak tinggal diam, Allah menyadarkan dan mengetuk hati saya. Saya mempunyai rencana jahat, Allah mengubah rencana jahat tersebut keesokan harinya. Allah menggagalkan rencana jahat yang telah saya siapkan tersebut. 
        Keesokan harinya saya sudah mempersiapkan diri untuk mengambil soal putri dan adik saya. Perlu diketahui dalam pengambilan dan pengumpulan soal ini bebas, orang tua pun boleh mengambilkannya. Entah kebetulan atau apa, sepupu saya yang juga sekelas dengan mereka berdua, orang tuanya juga keluar. Sehingga hal itu memaksa saya untuk mengambilkan lembar soal dia. Jadi dalam kasus ini, saya harus mengambilkan tiga lembar soal ujian mereka; adik saya, Putri, dan Bintang sepupu saya. Saya bertanya ke Putri "emang tidak apa saya ngambil tiga lembar soal ujian sekaligus? Nanti saya tanda tangan tiga kali dong?" Putri jawab "tidak apa mas".
       Di saat hendak berangkat ke sekolah, saya jadi teringat Wanda. Saya berpikir " Anak itu kalau mengerjakan soal sendirian di sekolah apa bisa ya? kenapa tidak sekalian saja dia mengerjakan disini rame-rame berempat dengan sepupu saya?".  Karena sepupu saya juga ikut mengerjakan bersama dengan saya. Allah menyadarkan saya dalam hal ini. Akhirnya saya ngajak putri untuk ke sekolah berdua. Kalaupun Wanda disuruh mengerjakan ujian di rumah saya, ya sudah tidak apa. Kalau harus disuruh menunggu Wanda datang ke Sekolah, ya sudah tidak apa. Jalani ikhlas saja, pasti dibalik itu sudah ada hikmahnya. Barangkali ini telah menjadi takdir Wanda agar dia dapat mengerjakan soal di rumah saya. Yang saya tidak habis pikir kenapa saya bisa punya pemikiran jahat begitu loh. Alhamdulillah atas kehendak-Nya, Allah menyadarkan saya. Allah mengingatkan saya akan kedzaliman yang orang telah lakukan terhadap saya, dan rasanya benar-benar menyakitkan untuk saya begitu. Saya tidak ingin ini terjadi pada Wanda, anak kecil yang belum ngerti apa-apa.
       Sampai di depan sekolah, saya lihat ada Wanda duduk anteng di atas kursi. Dia menunggu pengambilan lembar soal, karena pengambilan tersebut dibuka pada pukul setengah delapan pas. Saat itu masih jam setengah delapan kurang, sehingga kami harus menunggu beberapa menit dulu. Saya perhatikan banyak sekali orang tua yang hendak mengambil lembar soal ujian untuk anaknya. Pembaca bisa merasakan sendiri bagaimana perasaan Wanda melihat itu semua. Begitu pun juga saya yang tidak kuasa melihat dia begitu. Siswa-siswi yang lain lembar soalnya diambilkan ortunya, sedangkan dia mengambil lembar soalnya sendiri. Kasihan begitu saya melihat dia. Terus saya mau dzalim dengan anak ini? Kan goblok itu namanya. Mahasiswa tidak pantas melakukan itu. Belum jadi manusia jika manusia tersebut sulit merasakan penderitaan yang dialami orang lain. 
       Setengah delapan pas, wali murid masuk mengambilkan soal untuk anaknya di rumah. Wanda dan Putri menunggu belakangan, saya perhatikan dari jauh dua anak ini. Setelah selesai mengambil lembar soal tersebut, kami kembali pulang ke rumah, Wanda pun juga ikut ke rumah saya akhirnya. Dia sama saja seperti biasanya saya perhatikan, diam begitu. 
        Sampai di rumah, ada empat anak yang mengerjakan ujian sekolah, mereka adalah Putri, Wanda, Adik saya, dan Bintang. Metode pengerjaannya masih sama, yaitu mengerjakan soal secara bergantian. Putri nomer satu, Wanda nomer dua dan seterusnya. Setelah semua selesai, diadakan koreksi bersama. 
         Saya perhatikan anak-anak mulai ada kemajuan termasuk Wanda. Kalau kemarin dia jawab soal banyak salahnya, sekarang banyak benarnya. Singkat cerita, semua anak-anak sudah selesai mengerjakan ujian. 
        Keempat anak itu mengumpulkan lembar jawaban ke sekolah dengan jalan kaki. Saya tanya sama Wanda, "nanti Wanda pulang dari sekolah jalan kaki?" Putri jawab "biasanya diantarkan oleh pak Wawan, satpam di sekolah". Lagi-lagi yang saya tanya Wanda, yang jawab Putri. Saya respon "oh jangan, iya kalau pak Wawan gak repot, biar wes Wanda tak antarkan saya, saya juga mau beli bensin, Wanda tunggu depan sekolah saja"
        Setelah dari pom bensin, saya menuju ke sekolah mereka. Sampai di sekolah saya perhatikan kok tidak ada empat anak ini. Apa semua anak ini sudah pulang begitu. Aduh saya kasihan dengan Wanda, jalan kaki anak ini batin saya. Ya sudah mau gimana lagi, saya memutuskan untuk pulang ke rumah setelah menunggu beberapa menit.
       Sampai di rumah saya tanya ibuk saya, adik saya dimana, ibu saya jawab di sekolah. Mendengar ini jujur saya bingung.  Pak lek saya juga bilang, anak-anak tadi balik ke rumah ambil uang buat jajan. Nah, saya langsung ke sekolah lagi. 
      Sampai di sekolah saya bertemu empat anak ini. Saya tanya darimana begitu, saya sudah nunggu disini tadi. Mereka jawab masih belanja jajan. Yang jajan hanya bertiga, Wanda tidak jajan. Bingung saya, jajan kok lama sekali anak-anak ini. Singkat cerita saya mengantarkan Wanda pulang.
       Di tengah-tengah perjalanan, saya tanya "Wanda kok gak jajan?" Dia jawab "gak papa". Saya tanya sudah makan. Dia jawab singkat "belum". Dalam hati, saya berkata "hari Senin ini adalah hari terakhir ujian anak-anak, saya pingin tahu tentang si Wanda ini, besok sudah gak ke rumah lagi dia". Sampai di depan gang dia, saya tanya "ibunya Wanda sudah lama pergi meninggalkan Wanda ya?" Dia jawab "iya". "Pergi merantau apa gimana ya?" Sambung saya. "Iya kayaknya" jawab dia. Belum selesai tanya lagi, dia langsung bilang "makasih mas" dan selesai pergi begitu saja. Ya saya jawab sama-sama. Dia benar-benar menutupi masalah keluarganya terhadap saya. Pergi menuju rumah saya, saya tidak sadar saya meneteskan air mata, setelah mengingat rencana kedzaliman saya terhadap Wanda. Saya nangis itu murni, tidak dibuat-buat. Kalau saya dzolim sama orang, susah menghilangkan dari pikiran saya, justru terus akan mengganggu pikiran saya. Saya juga ingat didzolimi itu tidak enak, saya juga pernah didzolimi oleh seseorang yang saya kenal baik tetapi dia dzolim terhadap saya. Ketika saya tanya "kenapa kamu melakukan ini kepada orang yang tidak bersalah?" Dia jawab tidak tahu. Dia merendahkan kehormatan saya, dia memperlakukan saya seolah-olah saya ini bocah ingusan begitu. Saya tidak boleh ABC terhadap dia, tetapi dia ABC kepada saya. Dengan kata lain, dia memperlakukan saya seenak udelnya sendiri. Nah yang bikin sakit hati akan kedzaliman tersebut adalah, saya punya kesempatan dan layak sekali untuk marah, tetapi saya lebih memilih diam. Karena mengingat itu, saya jadi berpikir dua kali sebelum dzolim terhadap seseorang. 
       Sampai di rumah saya ditanya oleh Bu Sofa, tetangga saya "anak itu (Wanda) rumahnya dimana?". Saya jawab "di Bromo dekat gereja Kristen Jawi wetan". Kembali Bu Sofa tanya "orang tuanya dimana? Kok kamu terus yang nganterkan?" Ya saya jawab bla bla bla begitu. 
       Jarak rumah Wanda ke sekolah sejauh 850 meter. Dia harus bolak-balik sebanyak empat kali, mulai dari ngambil soal ujian dan mengumpulkan lembar jawaban ke sekolah. Kalau dikalkulasikan maka Wanda  menempuh jarak sejauh 3,4 km setiap harinya ketika hendak mengerjakan ujian. Nah karena itu oleh gurunya disuruh ngerjakan di sekolah. Sayangnya, di sekolah pekerjaannya banyak salahnya. Akhirnya apa? Wanda disuruh mengerjakan ujian di rumah adik saya. Ini adalah takdir untuk Wanda, atau mungkin ini bagian dari doa dia yang dikabulkan oleh Allah. Kita semua tidak tahu, kalau saya pribadi yakin ini takdir Allah. Karena mengingat kedzaliman saya yang digagalkan oleh Allah. Allah tidak akan pernah membiarkan hamba yang dicintainya didzolimi begitu saja. Allah pasti akan melindungi hambanya. Dan saya yakin itu. Semoga pelajaran di atas bermanfaat bagi kita semua Aamiin. Dari pelajaran di atas, saya banyak memetik manfaatnya. Terutama adalah banyak bersyukur. Kedua ikhlas menolong sesamanya. Dan yang terakhir jangan berbuat dzolim kepada seseorang. Karena Allah pasti akan melindungi orang tersebut. 

         
         
        
        
        
       
        
       

        
      
        
        
        



         

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?