Menawar Barang di Pasar: Antara Bijak dan Tidak Punya Perasaan

Ibu saya : sampai berapa harganya ini mbak?
Penjual   : 95 ribu
Ibu saya : tidak boleh kurang?
Penjual  : boleh, mau minta berapa?
Ibu saya : 50 ribu?
Penjual  : tidak boleh mbak, 85 ambil kalau  
                 mau. 
Ibu saya : tidak sudah, 50 ribu kalau boleh.
Penjual. : 75 sudah mbak 
Ibu saya : ayo sudah Reza, cari ke tempat 
                  yang lain.
Penjual   : Berapa maunya mbak?
Ibu saya  : yaitu 50 ribu kalau boleh
Penjual    : ya sudah mbak ini barangnya.

        Kemarin sore, saya dan ibu pergi ke pasar Tanjung Jember untuk membeli sebuah sepatu pantofel. Alasan saya beli sepatu pantofel di pasar Tanjung adalah barang bisa ditawar dan kualitas barang tidak kalah dengan kualitas di pusat-pusat perbelanjaan. 
        Sampai di sebuah toko yang menjual sepatu pantofel, saya dikejutkan dengan proses tawar menawarnya. Yang mana harga jual sepatu tersebut 95 ribu, oleh ibu saya ditawar 50 ribu. Dalam benak saya "jauh sekali tawarannya".
        Setelah kami berhasil membeli sepatu, ibu saya tanya kepada saya "Kalau kamu tadi, kira-kira ditawar berapa Reza?". Saya jawab "75 ribu itu sudah ma". Ibu saya respon "ya jangan dulu Reza, siapa yang tidak tahu pasar Tanjung? Kita beli barang  disini harus bijak". Saya balas "haduh bijak apa? Mama tidak punya perasaan dari dulu kalau menawar barang. Kasihan ma pandemi seperti ini". Ibu saya jawab "lah iya justru pandemi seperti ini barang disini banyak yang tidak laku, karena itu dalam proses menawarnya kita harus bijak". Dalam hati saya "hm". 
         Namun, apa yang dilakukan ibu saya, menurut kaca mata saya bukanlah suatu yang tepat. Baiklah, di pasar memang diperbolehkan menawar barang, berbeda dengan di supermarket. Tetapi perlu diingat bahwasanya di era pandemi ini jumlah barang yang ditawarkan berbanding terbalik dengan permintaan masyarakat. Karena itu, boleh menawar tapi yang ada perasaan sedikit begitu.
       Peristiwa ini mengingatkan saya dengan kakek saya. Beliau kalau menawar sebuah barang sama sekali tidak ada perasaan. Entah itu bijak atau apa saya tidak tahu. Pernah ada seorang ibu tua menjual buah-buahan, yang keranjangnya ditaruh di atas kepala. Ibu tua tersebut menjual dagangannya dengan jalan kaki panas-panasan. Kakek saya beli satu sisir pisang yang awalnya seharga 15 ribu ditawar menjadi lima ribu. Karena penjual juga butuh uang, maka diterima lah tawaran seharga lima ribu tersebut oleh penjual. Menawar sih boleh tapi jangan terlalu berlebihan, mengingat kakek saya seorang PNS juga. Apa salahnya kalau ditawar 10 atau 12 ribu begitu. 
        Tidak dapat dipungkiri memang, di era pandemi seperti ini jumlah permintaan akan barang perlengkapan sekolah di pasar semakin menurun. Misalnya seperti sepatu, tas, seragam, dan lain-lain. Saya pun juga melihat banyak sepatu-sepatu yang sudah mulai lusuh dimakan usia. Hal itu terjadi karena rendahnya permintaan masyarakat akan sepatu. Kembali lagi, mengingat di era pandemi ini, anak-anak belajar di rumah secara daring. Sehingga tak ayal, jikalau hal tersebut mempengaruhi nilai jual suatu barang di pasar. 

     

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?