Pemberian Tugas Secara Daring: Sebuah Drama Sosial Yang Nyata

       Saya awal mengajar di sekolah pada tanggal 4 Oktober. Saya mengajarnya secara daring atau tidak tatap muka. Mengajar daring itu sendiri susah bagi saya khususnya saat pemberian tugas di kelas bawah (1-3). Karena yang pegang hp siswanya adalah wali muridnya. 
       Masalah-masalah bermunculan saat saya mengajar secara daring. Masalah yang pertama adalah sinyal gangguan. Kedua, suara saya tidak terdengar jelas saat melakukan google meet. Ketiga, masalah pemberian batas pengumpulan tugas. Keempat, masalah penilaian tugas. Terakhir, adalah masalah kesalahpahaman di grup WhatsApp. 
     Pertama kali mengajar, saya dihadapkan oleh masalah gangguan sinyal. Sehingga video saya terlihat patah-patah di layar ponsel murid-murid saya. Ini juga yang menjadi alasan kenapa esoknya saya coba mengajar melalui WhatsApp saja. Saya terangkan tema pokoknya, kemudian saya bantu anak-anak mengartikan kata-kata dalam bahasa Inggris yang berada di halaman depan pada BAB-nya. Setelah itu saya share video pembelajaran, dan anak-anak disuruh mengamati. Dan yang terakhir saya suruh anak-anak untuk mengerjakan tugas. 
        Dari sekian banyak masalah, masalah yang paling melekat dalam benak saya adalah masalah batas pengumpulan tugas dan masalah chat di wa. Kalau masalah batas pengumpulan ini, di hari pertama ada sekitar lima anak yang mengumpulkan tugas secara terlambat tanpa izin dulu kepada saya. Kalau pengumpulannya wajar tidak apa-apa, ini jam 10 malam, bahkan lebih dari itu untuk mengumpulkan tugas.  Akhirnya saya bingung dan dilema harus memberi nilai berapa anak tersebut. Padahal di grup, saya sudah mengatakan bahwa bagi wali murid yang ada kepentingan lain sehingga memaksa untuk mengumpulkan tugas secara terlambat, silahkan japri saya. Justru japrinya setelah pengumpulan tugas. 
        Masalah di atas memaksa saya untuk curhat ke guru senior. Saya ingin minta solusi dan jalan keluar untuk masalah saya ini. Bu Sri salah satu guru kelas 6 berkata pokoknya prinsipnya adalah jangan mau diatur atau didekte oleh wali murid. Jikalau kita sebagai gurunya mau diatur, wali murid akan menyepelekan tugas anaknya. Nah, itu yang saya rasakan. Saya merasa saya telah diatur oleh wali murid. Yang saya khawatirkan kedepannya adalah timbulnya sebuah kecemburuan sosial di dalam grup. Anak si A mengumpulkan terlambat kok diterima tugasnya oleh saya, kan begitu. Jelas saya merasa tidak enak. 
      Dalam kasus ini, saya dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama adalah harus tega dan yang kedua adalah memberikan belas kasihan. Kalau anak sering dikasihani, saya takut kedepannya anak ini cenderung untuk menyepelekan tugasnya. Kalau saya sebagai gurunya tega dengan anak ini, saya takutnya dinilai sebagai guru yang tidak punya perasaan. Serba dilema saya saat ini. 
      Seperti contohnya tanggal delapan Oktober kemarin, saya memberikan batas pengumpulan tugas jam 10 siang. Kemudian ada wali murid yang minta agar tugas dikumpulkan jam 5 sore, sama halnya dengan wali kelasnya. Wali kelasnya kan wali kelasnya, tentu beda dengan saya. Saya merasa didholimi di grup tersebut. Saya merasa sakit hati dengan kata-kata wali murid di awal. Saya terus terang merasa didekte. Benar atau salah yang saya ketik di WhatsApp, tetap dinilai salah oleh wali murid. Karena saat itu saya memilih kasihan, maka saya perpanjang pengumpulan tugasnya sampai jam 20:00 malam. Itu pun juga wali murid yang anaknya sakit masih keberatan. Ok, kalau dikumpulkan jam 10 pagi, keberatan ok lah. Lah wong tugasnya sedikit. Selain itu, saya beri kompensasi pengumpulan tugas sampai jam 20:00 malam. Tetap beliau bersi keras untuk tidak mengumpulkan tugas karena anaknya sakit. Anaknya sakit flu saya tanya waktu itu. 
       Masalah saya itu berawal di kelas 1A. Masalahnya hanya masalah chat. Chat itu kan bahasa tulisan, dia tidak punya tekanan dan intonasi. Ada wali murid yang bilang ke guru kelas bahwa chat saya terlihat kasar. Kalau fi chat itu kan, ok lah chat terlihat kasar tapi aslinya kan tidak, begitu sebalikny. Saya coba koreksi diri, kasar darimananya chat saya itu. Justru saya yang merasa sakit hati dengan chat-chat wali murid di awal-awal. Rasanya seperti saya itu jadi pesuruhnya. Tapi yang saya alami adalah chat di grup WhatsApp riskan terjadi kesalahpahaman. Apalagi, saya sebagai guru, terus dicari kata-kata dalam chat saya yang dirasa tidak baik. Artinya wali murid ada yang mengoreksi saya. Jujur demi Allah , saya chat itu di dalam grup dengan kata-kata yang baik dan sopan. Itu pun masih salah di mata wali murid. Jadi ini pembelajaran untuk saya. Untuk lebih hati-hati dalam bertutur kata di dalam chat WhatsApp. 
       Saya juga sempat dipanggil oleh Bu kepala sekolah terkait masalah pemberian batas pengumpulan tugas. Saya terima masukan beliau, dan saya jadikan cambuk untuk saya. Saya cuma bisa berpikir "kok bisa ya?" Jelas disini saya bingung. Salah saya apa. Saya sudah nurut ke wali murid kelas 1 saat itu. Banyak yang minta batas pengumpulan tugas sampai jam lima sore. Saya tambah batas pengumpulan tugas sampai jam 20 malam. 
       Saya bingung serba bingung, ada wali murid yang tiba-tiba menjadi kambing hitam di dalam grup. Karena chatnya tidak dibalas oleh saya. Saya dicari-cari kesalahannya di dalam grup. Hanya persoalan kata "haha" saya disebut guru tidak teladan. Akhirnya saya mengalah saja sudah. Mereka beliau-beliau semua merasa dirinya paling benar ya sudah, besok-besok juga akan sadar sendiri siapa yang benar dan salah. Bingung, kesal, stres, kalau ada masalah kecil dibesarkan. Yang bermasalah hanya orang satu. Yang lain ikut-ikutan terprovokasi. Saya sebagai gurunya bingung disini. Lah anaknya sudah mengumpulkan tugas, kenapa ikut memprovokasi saya? Masalahnya apa begitu loh? Pembaca bingung kan? Sama saya juga bingung. 
      Menurut saya kalau ada kesalahpahaman silahkan japri saja, jangan dilampiaskan di grup. Saya sudah bilang dari awal. Bahkan sudah saya tanda, tetapi tetap wali murid tidak merespon saya. Artinya kebenaran yang saya sampaikan, tidak diakui kebenarannya oleh beliau begitu. Saya sebagai guru terus terang merasa sakit hati direndahkan begitu di dalam grup, dengan banyak wali murid yang lain. Anaknya sakit flu saja masalah jadi besar. Bagaimana dengan anak wali murid kelas 4 kemarin yang selesai dikhitan? Dia tetap mengumpulkan tugas kok walaupun tidak tepat waktu. 
       Saya juga bingung karena saya pegang 14 kelas, sekaligus menjabat sebagai pembantu TU di sekolah. Untuk fokus terus di layar kaca itu susah sekali. Bingung karena saya tidak tahu anaknya yang mana. Tapi saya tetap memaksa diri ini untuk tegar menerima masukan dari guru-guru yang lain. Kalau dari guru-guru yang lain yang saya dapatkan adalah masukan dan saran. Kalau dengan wali murid saya tidak dapat apa-apa. Dapat apa? Wali muridnya sendiri merasa dirinya paling benar. Justru yang saya dapat adalah sebuah kesalahpahaman, sebuah tindakan merendahkan saya lewat chat. Itu yang saya dapatkan. Saya dibilang tidak punya attitude. Tahu dari mana? Kan saya ngajarnya lewat chat saja. Serba bingung saya. Semenjak photo profile di wa saya ganti, saya dapat masalah seperti ini. 
       Ya apa pun itu tidak apa lah, saya terima sebagai pelajaran agar lebih baik ke depan. Karena jujur saya belum paham betul kultur SD. Karena saya bukan lulusan PGSD. Saya dicetak untuk ngajar SMP atau SMA di kampus saya. Tapi kondisi memaksa saya untuk menunda lanjut S2 sambil mengabdi dan mencari pengalaman dulu di SD. Terlebih, Saya juga ingin belajar banyak hal tentang kultur di SD. 
         



Mengaku salah saat merasa di posisi yang benar itu susah sekali. Dan saya telah berhasil melakukannya. Bahkan berkali-kali. 

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?