Didholimi oleh Sekolah Sendiri: Menjadi Finalis Olimpiade Bahasa Inggris Tingkat Nasional Tetapi Tidak Direstui Oleh Kepala Sekolah

       Tadi malam sekitar pukul 21:00 WIB, saya tidak sengaja memecahkan gelas yang berada di atas sebuah kayu yang panjangnya mencapai satu meter lebih. Kayu panjang tersebut diletakkan di atas meja belajar saya. Fungsinya untuk menaruh buku bacaan, sisir, pigura, gunting kuku, dan lain-lain. Nah, saya niatnya mau mengambil headset di atas kayu tersebut. Headset sudah terambil, saya tidak sengaja menjatuhkan sisir di bawah lantai. Sisirnya jatuh ke sudut dekat meja. Begitu saya ambil sisir itu, kepala saya terbentur kayu panjang tadi. Alhasil, gelas yang saya letakkan di atas kayu panjang tersebut jatuh di lantai dan pecah. Terpaksa saya harus membersihkan pecahan kaca dari gelas tersebut. 
        Di tengah-tengah membersihkan gelas yang pecah tadi, saya juga membereskan buku-buku saya yang berserakan di bawah lantai tepat di bawah meja. Karena kalau tidak, khawatirnya butiran pecahan gelas tersebut terselempit di buku-buku saya, kan bahaya nanti. Singkat cerita, saya cari kresek transparan yang biasa digunakan untuk meletakkan kertas-kertas begitu. Kresek itu saya gunakan untuk menaruh pecahan gelas tadi. Di dalam kresek tersebut, banyak sekali kertas-kertas makalah saya yang dulu. Begitu saya lihat, saya mendapati sebuah undangan para finalis olimpiade bahasa Inggris se-Indonesia. Olimpiade tersebut diadakan di Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2013 silam. Ketika melihat undangan tersebut,  sontak membuat saya teringat pengalaman pahit saya di masa lalu. Pengalaman pahit yang sudah lama terlupakan, kini teringat kembali. 
       Bulan Agustus 2013, saya mengikuti sebuah olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional yang diadakan di Universitas Brawijaya. Namun, untuk babak penyisihannya, olimpiade tersebut dilaksanakan di sekolah masing-masing.  Nah untuk babak final diadakan langsung di Universitas Brawijaya. Dulu saya sempat heran, karena saya menduga lembar soal olimpiade dikerjakan di sekolah, namun ternyata disuruh dikerjakan di tempat tinggal masing-masing. Teman saya banyak yang tidak setuju kalau dikerjakan di rumah. Mereka bertanya kenapa tidak dikerjakan di sekolah saja. Guru saya menjawab bahwa aturan dari pihak penyelenggara memang disuruh dikerjakan di rumah. Karena kalau dikerjakan di sekolah, hal itu akan menganggu jam efektif pembelajaran, mengingat yang mengikuti olimpiade hanya beberapa orang saja. Kalau semua siswa di sekolah ikut olimpiade enak begitu. Selain itu, jumlah soalnya berjumlah 150 soal. Tentu hal ini akan memakan waktu lama. 
        Lembar soal olimpiade dibagikan pada hari Sabtu dan dikumpulkan pada hari Senin. Bu Ana, guru bahasa Inggris kami yang membagikan lembar soal tersebut, Saat itu kondisinya mapel lain sedang berlangsung di kelas kami. Selain membagikan soal, beliau juga memberitahu aturan mengerjakan soal. Salah satunya adalah kami diperbolehkan untuk melihat kamus selama mengerjakan soal tersebut. Selain itu, beliau juga menyampaikan bahwa dalam olimpiade tersebut berlaku pengurangan nilai, menjawab benar dapat nilai empat, dan salah nilai berkurang satu.  Setelah membagikan soal olimpiade, Bu Ana lalu meninggalkan kelas kami dan membagikan soal-soal olimpiade di kelas yang lain. 
        Setelah menerima lembar soal tersebut, saya mengajak Kiki, Bety, dan Abil untuk bekerja sama mengerjakan olimpiade dengan saya. Rencananya saya akan mengerjakan olimpiade bersama mereka sepulang sekolah. Saya mengajak mereka alasannya ada dua. Pertama, mereka adalah anak yang pandai dalam mapel bahasa Inggris. Kedua, tempat duduk mereka tidak jauh dari saya. Abil duduk di depan saya. Bety dan Kiki duduk di sebelah bangku saya, hanya saja beda baris, saya baris satu sedangkan mereka di baris ke dua.
        Sayangnya, mereka bertiga tidak mau diajak bekerja sama dengan saya ya sudah. Kalau alasan Abil masih bisa diterima karena dia ada kegiatan Diniyah di pondoknya. Kiki tidak mau bekerja sama dengan saya karena dia mau mengerjakan sendiri. Nah, Bety tidak mau bekerja sama dengan saya karena Kiki tidak mau bekerja sama dengan saya. Saya mendengar itu kecewa betul saat itu. Kan enak kalau kerja sama, tugas berat jadi ringan. Kalau seandainya kami semua lolos enak, ada temannya saat di Malang nanti. Saya memaklumi kenapa mereka tidak mau diajak kerja sama oleh saya mengingat sekolah baru masuk dua bulan. Jadi mereka belum kenal dan tahu kemampuan saya. Selain itu, saya orangnya pasif di kelas. Mungkin yang ada di benak mereka, kalau saya mengajak mereka kerja sama itu semata-mata hanya untuk menguntungkan diri saya dan merugikan mereka. Saya bisa terima dan memaklumi itu. Dulu saya berpikir, memang sebetulnya enak dikerjakan sendiri saja, tidak makan hati dan pikiran.
         Saat jam istirahat, saya melihat dan membaca soal olimpiade itu sejenak. Saya perhatikan soalnya, ternyata semuanya bertipe reading text dan bacaannya panjang sekali. Begitu tahu soal olimpiade tersebut susah sekali, saya taruh lagi soalnya di dalam tas saya. Dari beberapa anak yang ikut olimpiade, saya perhatikan hanya Kiki dan Bety yang mengerjakan soal olimpiade pas jam istirahat. Saya hampiri mereka berdua dan bertanya apakah mereka bisa mengerjakannya. Karena bagi saya pribadi, soal tersebut susah sekali. Begitu saya tanya dan mendekati Kiki, lembar jawabannya dia tutup menggunakan buku tulis. Dalam benak saya "kok sampai segitunya, padahal saya tidak ada niat mau nyontek". Bety pun juga demikian, dia menutup lembar jawabannya menggunakan buku tulis. Bety berkata "hayo gak boleh nyontek ya" dengan tertawa. Kalau Kiki sinis sekali saya perhatikan saat itu. Serasa kalau saya nyontek jawaban dia, besok kiamat begitu. Kok ada anak pintar begitu dalam benak saya. Nah, dari sini saya semangat untuk mengerjakan soal olimpiade juga. 
         Begitu pulang sekolah, saya tidak langsung mengerjakan soal olimpiade melainkan mandi sungai dan bermain sepak bola bersama teman-teman saya. Sekitar pukul 19:30, saya mengerjakan soal olimpiade tersebut. Saya mengerjakan dari jam setengah delapan hingga jam setengah sepuluh, hanya berhasil mengerjakan delapan belas soal. Saya tidak berbohong, memang itu faktanya. Setelah berhasil mengerjakan delapan belas soal, saya tinggal tidur karena badan saya capek setelah main sepak bola sore tadi. Selain itu, saya juga ngantuk sekali. Kerjakan besok saja dalam benak saya. 
         Setelah sholat subuh saya coba mengerjakan, ternyata berhasil menyelesaikan dua atau tiga soal begitu, saya lupa mohon maaf. Lanjut, pukul 08:00 saya mengerjakan kembali. Saya mengerjakan soal tersebut sampai jam sebelas. Saat itu kalau saya tidak salah, saya berhasil mengerjakan sekitar empat puluh soal. Saya mengerjakannya dengan penuh hati-hati dan teliti, mengingat saya masih punya banyak waktu. Dari empat puluh soal tersebut, saya harus bisa menjamin bahwa jawaban salah dari soal tersebut tidak boleh lebih dari tiga. Kalau bisa harus benar semua. Sore pada pukul 16:00 saya berhasil mengerjakan lebih dari enam puluh soal, kira-kira 65 soal yang berhasil saya kerjakan. Ba'da Maghrib saya lanjut mengerjakan soal kembali. 
       Kali ini saya mengerjakan soal olimpiade berpacu dengan waktu. Saya harus bisa selesai sebelum jam sebelas malam. Jadi saya memasang target, dalam waktu satu jam, saya harus bisa mengerjakan dua puluh soal lebih. Sayangnya target itu meleset jauh. Soal olimpiade ini didesain khusus untuk memperlambat kami dalam mengerjakan soal. Sehingga banyak waktu terkuras dalam mengerjakan satu soal saja. Soal olimpiade ini berbeda dari yang saya duga. Dia tidak sama seperti soal-soal di Mts saya dulu, seperti soal ulangan harian, semester, akhir dan ujian nasional. Selain itu, jawaban pada masing-masing poin (A-E) hampir benar semua. Susah begitu menentukan satu jawaban paling benar di antara beberapa  jawaban yang hampir benar dalam soal olimpiade tersebut. Jawaban A masuk akal sekali benar, tetapi B sepertinya benar, C juga benar, begitu pun seterusnya. Jadi susah sekali menemukan jawaban yang paling benar. Tetapi Alhamdulillah, pada pukul sebelas malam, saya berhasil mengerjakan sekitar 90 soal lebih, mohon maaf saya lupa. 
        Pada malam itu, saya mengerjakannya menggunakan strategi yang diajarkan oleh guru saya saat di Mts dulu. Bu Titik, guru bahasa Indonesia, nama guru tersebut. Beliau mengajarkan pada kami, kalau ada soal bacaan yang panjang, jangan baca bacaannya dulu, tetapi baca soalnya terlebih dahulu baru kemudian baca teksnya. Hal itu dilakukan agar supaya tidak membuang waktu. Kalau kita baca teksnya terlebih dahulu, kemudian membaca soalnya, begitu tahu soalnya apa, kita kembali akan membaca teks bacaan tersebut, bukan?Itu membuang waktu sekali bukan? kata beliau. Selain itu beliau juga menjelaskan, kalau ada dua atau tiga jawaban yang hampir benar, lingkari saja dulu tiga jawaban tersebut, setelah itu tentukan mana yang paling benar. Dan itu yang saya terapkan saat mengerjakan soal tersebut pada malam itu. Pada malam sebelumnya, saya tidak menerapkannya, karena belum ingat. 
        Sebetulnya, pada malam itu saya sudah membaca dan mengerjakan semua soal. Hanya saja, saya belum menentukan jawaban mana yang paling benar. Pekerjaan saya hanya tinggal memindahkan jawaban di lembar soal ke lembar jawaban. Nah, saya saat itu tidak langsung mengisi di lembar jawaban terlebih dahulu, melainkan jawabannya saya isi di lembar soal. Itu saya lakukan karena saya saja masih belum begitu yakin akan jawaban saya. Pada pukul sekitar tiga dini hari, saya kembali mengerjakan dan mengoreksi hasil pekerjaan saya. Saya kembali koreksi dari soal nomer lima puluh ke atas. Begitu sampai soal seratus ke atas, saya bingung sudah. Jawaban di lembar soal saya ada dua dan tiga yang saya lingkari. Menentukan mana yang paling benar itu susah sekali. Alhasil, begitu pukul lima pagi, pekerjaan atau lembar jawaban olimpiade saya masih belum dirampungkan. Kemungkinan hanya 120 soal yang terisi. Itu pun saya masih ragu dengan jawabannya. 
        Sampai di sekolah, saya koreksi lagi jawaban saya sebelum memindahkannya ke lembar jawaban. Saya masih bingung mau menentukan jawaban mana yang paling benar sebelum memindahkannya ke lembar jawaban. Di lembar soal itu, saya sudah mengerjakan sampai 150 soal. Namun yang terisi di lembar jawaban hanya 120 soal kalau saya tidak salah. Ya karena bingung itu tadi, akhirnya saya mau tidak mau harus mengoreksi dan mengerjakan kembali di sekolah. Saat itu saya datang ke sekolah pagi sekali, sekitar jam 05:30. 
        Tidak lama kemudian, Abil datang dengan tergesa-gesa sembari menanyakan apakah saya sudah menyelesaikan soal olimpiade atau belum. Saya jawab belum saat itu. Dia mau nyontek ke saya katanya. Dan ternyata Abil belum mengerjakan soal olimpiade sama sekali. Saya mendengar itu kaget, karena Abil kan pandai berbahasa Inggris, mana mungkin bisa belum mengerjakan sama sekali, kan lucu itu. Dia belum selesai mengerjakan karena di pondok banyak kegiatan katanya. Ya sudah saya memaklumi itu. Namun saat itu, Abil hanya mau menyontek lima puluh jawaban saya. Mungkin dia berpikir gak enak sama saya kalau semua jawaban saya dicontek oleh dia. Saya sih tidak masalah kalau semua jawaban saya dicontek saat itu. Tapi Abil sendiri bilang kalau dia hanya mau lima puluh jawaban saja ya sudah. Selebihnya, dia kerjakan sendiri. Dan lucu, dia mengerjakan sisanya tanpa melihat soalnya. Bisa dikatakan dia mengerjakannya asal silang jawaban saja begitu. 
       Setelah Abil menyelesaikan soalnya semua, saya sendiri masih sibuk  mengerjakan lembar soal olimpiade. Pokoknya sakti sekali Abil saat itu hehe. Bisa menyelesaikan 150 soal dalam kurun waktu tidak lebih dari 30 menit. Tidak lama kemudian, teman-teman saya yang lain masuk ke dalam kelas. Kiki yang melihat saya belum selesai bertanya "kamu masih belum?" Saya jawab belum. Sudah tahu belum, masih tanya saja setan itu. Memang saya perhatikan, satu-satunya orang yang belum selesai adalah saya sendiri. Singkat cerita, setelah jam istirahat pertama, lembar jawaban olimpiade dikumpulkan. Alhamdulillah, saya berhasil mengerjakan 150 soal, walaupun sebetulnya saya tidak yakin apakah jawaban saya benar semua atau tidak. Saat itu yang mengumpulkan di meja Bu Ana adalah Abil, saya masih ingat betul. 
       Satu Minggu kemudian, saya dikejutkan oleh dua orang teman saya, Nabila dan Ega. Mereka berdua berkata kalau saya nomer satu se-sekolahan. Nomer satu apa sendiri saya juga tidak tahu. Mereka meminta saya untuk lihat mading saat itu. Namun saya menolak, karena madingnya jauh sekali dari kelas saya. Selain itu, saya masih nervous mengingat saya masih terbilang siswa baru begitu, masuk baru dua bulan di sekolah. Tapi saya dengar, kalau yang mereka berdua maksud adalah saya nomer satu olimpiade bahasa Inggris. Dari sini saya juga tahu, bahwa olimpiade itu tidak hanya diikuti oleh kelas X saja, melainkan juga diikuti oleh kelas XI dan XII. 
       Pada jam pelajaran pertama, Bu Ana berdiri di depan pintu kelas saya. Beliau tampak gembira sekali sembari mengusap air matanya menggunakan tisu. Beliau izin kepada guru yang mengajar di dalam kelas saya untuk meminta saya keluar. Setelah saya keluar, Bu Ana menyampaikan bahwa saya menjadi finalis dan lolos olimpiade bahasa Inggris. Beliau banyak cerita kepada saya saat itu. Namun saya hanya ingat beberapa bagian saja. Beliau tanya apakah saya mengerjakan sendiri. Saya jawab bahwa saya benar-benar mengerjakan sendiri, karena di rumah saya tidak ada yang pandai dalam mapel bahasa Inggris, mau tidak mau saya harus mengerjakan sendiri. Bu Ana bilang "kamu kok diam saja nak, bangga nak, kamu lolos loh" seingat saya begitu. Saya akui memang saat itu wajah saya datar sekali, mendengar berita lolos olimpiade tidak membuat saya lantas kegirangan. Ya bisa dikatakan sama halnya tidak mendengar berita apa-apa begitu. "Galuh selamat ya kamu lolos", yang ada dalam benak saya "oh iya" begitu.  Kemudian Bu Ana memeluk saya sambil berkata selamat ya nak. Bu Ana sangat senang sekali sambil meneteskan air mata saat itu. Saya cuma bisa diam saja. Dalam benak saya "saya lolos ya?" Teman-teman saya di dalam kelas hanya bisa melongo melihat saya saat itu, termasuk Kiki teman saya yang ilmunya setingkat dewa. 
        Pada jam istirahat, Bu Yuan datang ke kelas saya. Beliau memberikan selamat kepada saya karena lolos olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional. Tidak hanya itu, beliau juga memberikan undangan langsung dari Universitas Brawijaya kepada saya. Di dalam undangan tersebut berisi waktu kapan final diadakan. Kemudian berisi delapan puluh finalis yang berhasil lolos pada tahap penyisihan. Saya perhatikan dalam undangan itu, satu-satunya siswa dari Jember yang menjadi finalis hanya saya seorang saja. Bu Yuan juga bilang kepada saya bahwa saya adalah siswa pertama dari sekolah saya yang lolos olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional di Universitas Brawijaya. Jadi, sebelumnya pernah dilaksanakan olimpiade serupa, namun tak satu pun siswa dari sekolah kami yang berhasil lolos sampai ke tahap final. Saya adalah siswa pertama sepanjang sejarah yang lolos dan mewakili sekolah saya di olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional di Universitas Brawijaya. Bukankah itu suatu kebanggaan tersendiri untuk sekolah kami? Tidak heran kalau Bu Ana menangis saat memeluk saya. Saya rasa beliau masih tidak percaya kalau ada siswa dari sekolah saya (MAN 2 Jember) yang lolos olimpiade tersebut. 
         Dari undangan tersebut, saya jadi tahu bahwa ada dua olimpiade yang diadakan, bahasa Inggris dan MTK. Di sekolah kami, tak satu pun siswanya yang lolos final olimpiade MTK. Untuk bahasa Inggris, saya satu-satunya yang lolos sampai ke final dan mewakili nama sekolah. Suatu kebanggan dan prestasi yang cukup luar biasa bagi saya. Bukan hanya mewakili nama sekolah, tapi saya juga mewakili nama kabupaten saya. Se-kabupaten Jember, siswa yang lolos sampai ke tahap final adalah saya seorang. Saking bangganya, Bu Ana terus datang ke kelas saya sembari bertanya bagaimana persiapan saya ke tahap final nanti. Saya bilang saya masih belum ada persiapan matang. Beliau juga menjelaskan bahwa di Universitas Brawijaya nanti akan ditemani oleh beliau. Beliau tinggal di Mess atau apa begitu, sedangkan saya tinggal di hotel. Dari sini, saya menanamkan tekad untuk tidak menyerah dan akan membawa nama baik sekolah. Pulang ke rumah, saya belajar sungguh-sungguh dan membuka kembali kamus butut saya. Kamus yang bertuliskan 5000 miliar begitu atau kamus yang kelengkapannya masih samar-samar. 
       Mengetahui saya lolos ke partai final olimpiade, tak banyak teman yang memberi ucapan selamat kepada saya. Seingat saya hanya ada tiga, mereka adalah Nabila, Ega, dan Bety, sudah gak ada lagi. Sebetulnya saya juga tidak mengharapkan pemberian selamat dari teman-teman saya. Namun, ucapan selamat itu adalah bentuk rasa care kita terhadap teman kita. Bisa dikatakan bahwa teman kelas yang care terhadap saya hampir tidak ada. Kendati demikian, saya masih care terhadap mereka. Saya tetap berpikir positif, mungkin mereka sungkan memberi selamat pada saya begitu.
        Setiba di rumah, saya mengabari orang tua saya kalau saya lolos ke final olimpiade bahasa Inggris. Saya juga memberitahu beliau bahwa saya akan pergi ke Universitas Brawijaya dalam dua Minggu ke depan. Mendengar itu orang tua saya tidak terlihat bangga atau senang sekali. Barangkali beliau berdua kaget atau apa saya juga tidak tahu. Ya seperti tidak ada berita apa-apa, begitu beliau mendengar berita saya lolos final olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional di Universitas Brawijaya. Selain itu, tidak ada ucapan selamat dari beliau. Sehingga selebrasi keberhasilan itu tidak tampak di dalam rumah kami. Pokoknya beliau tahu dan dengar saya lolos final gitu saja. Tidak tanya mendetail seperti di Malang nanti kamu ditemani siapa, tidur dimana, dan semacamnya. 
        Bagi saya itu temuan yang lucu sekali haha. Saya juga tidak kesal dengan keluarga saya. Saya pun tadinya juga tidak mengharapkan ingin diberi ucapan selamat, sama sekali tidak mengharapkan. Yang penting saya sudah mengabari beliau berdua cukup. Ya memang dari dulu di keluarga saya tidak ada tradisi pemberian ucapan selamat sih, saya akui itu.  Tidak seperti Aldi, teman saya, dia ranking dua, dibelikan Play Station oleh orang tuanya sebagai bentuk ucapan selamat. Dia ranking satu, diajak jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, beli baju, sepatu, dan lain-lain. Kalau saya tidak pernah mendapatkan itu, bisa dikatakan saya berbeda dari teman saya yang lain. Ya lagipula saya tidak mengharapkan itu, saya mengerti betul kondisi keuangan keluarga saya. 
       Hari demi hari, guru-guru di sekolah saya mengetahui berita lolosnya saya ke final olimpiade bahasa Inggris di Universitas Brawijaya, termasuk wali kelas saya, Bu Riska. Awalnya saya terkejut, setiap kali ada pelajaran di kelas kami, guru kami bertanya "Galuh itu anaknya yang mana ya?", "Kamu bisa bahasa Inggris nak?", "selamat ya nak karena lolos olimpiade sampai ke partai final", dan sebagainya. Saya yang mendengar itu, terus terang malu sekali. "Ayo ngajar saja sudah pak/buk" dalam benak saya. Mendengar pujian-pujian itu tidak lantas membuat saya senang, yang ada saya terkena beban mental. Bu Riska mengucapkan selamat atas keberhasilan saya dan berkata "kok ada ya anak laki-laki pandai bahasa Inggris?" Saya masih ingat itu. Bingung saya, seolah-olah, kalau saya bisa bahasa Inggris, saya anak emas begitu, padahal tidak, biasa saja lah. 
        Tidak hanya guru saya yang mengajar di kelas X saja yang tahu berita lolosnya saya ke partai final olimpiade bahasa Inggris, melainkan kakak kelas saya juga tahu. Pernah ada empat kakak kelas saya, datang ke kelas menemui saya. Mereka adalah mas Haris, siswa kelas XI IPS 1, dan tiga lainnya perempuan, saya tidak ingat namanya. Selain mengucapkan selamat, mereka juga bertanya pengalaman saya selama mengerjakan soal olimpiade pada tahap penyisihan. Selain itu juga, mereka bertanya bagaimana persiapan saya menghadapi final nanti. Mereka juga sering main ke kelas saya, tukar pikiran perihal bahasa Inggris. Bahkan, mas Haris dan kakak kelas lainnya meminjamkan saya contoh-contoh soal olimpiade bahasa Inggris dan kamus bahasa Inggris yang lengkap. Mereka berempat senantiasa sabar mengajari saya. Yang pada akhirnya saya tahu bahwa mereka berempat adalah siswa-siswi yang pandai dalam mapel bahasa Inggris. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka berempat. Mas Haris itu kemudian jadi guru bahasa Inggris saya di luar kelas. Dia pandai sekali dalam mapel bahasa Inggris. Tetapi saya dengar dari dia, bahwa dia gagal masuk ke partai final olimpiade bahasa Inggris di Universitas Brawijaya. Sangat disayangkan sekali dalam benak saya. Menurut saya, mas Haris pantas sekali masuk final. 
       Bu Yuan itu juga sering datang ke kelas saya. Beliau menanyakan perihal kesiapan saya di final nanti. Tidak hanya itu, beliau juga memberikan contoh-contoh soal bahasa Inggris untuk saya. Bu Ana juga sering datang ke kelas saya. Tatkala beliau selesai mengajar di kelas X yang lain, beliau menyempatkan diri untuk datang ke kelas saya. Beliau tanya-tanya sekaligus memberikan nasehat kepada saya mengenai persiapan final nanti. Beliau memberi nasehat agar saya menjaga kesehatan saya karena itu yang paling penting. Jangan sampai pas hari H saya sakit. Sudah, selebihnya saya tidak ingat lagi. 
       Pada suatu hari, Bu Yuan datang ke kelas saya dan meminta saya untuk menemui beliau di ruang TU (ruangan beliau) sepulang sekolah nanti. Sepulang sekolah, saya menghadap beliau di ruang TU. Di dalam ruangan beliau, saya mendapat kabar buruk. Beliau memberitahu saya bahwa saya gagal berangkat ke Malang untuk final olimpiade lantaran kepala sekolah tidak memberikan saya surat rekomendasi atau surat izin seingat saya. Ada tanda tanya besar dalam benak saya "Why?". Bu Yuan berusaha menenangkan dan memberikan penjelasan alasan-alasan kenapa kepsek tidak mengizinkan saya untuk pergi ke Malang. Beliau berkata "saya sudah sampaikan ke Pak Mustafa (kepsek kami) dengan baik-baik agar kamu berangkat Minggu depan. Tapi beliau bla-bla......" Saya lupa di part ini. Perhatian saya teralihkan dengan tanda tanya "why" itu tadi. Tiba-tiba Pak Affan (istri Bu Yuan) meminta saya untuk keluar ruangan dengan tidak sopan. Rasanya saya seperti ayam yang diusir oleh tetangga. Benar ini, saya mendapat perlakuan kurang baik dari pak Affan. "Halah sudah-sudah suruh keluar saja anak ini, sudah jam pulang ini". Padahal Bu Yuan belum menyuruh saya keluar saat itu. Emangnya kalau jam pulang kenapa begitu, toh enak gak ganggu jam pelajaran. Bu Yuan tidak lupa memberikan nasehat kepada saya tetap semangat dan jangan berkecil hati. Beliau juga meminta maaf karena gagal membujuk kepala sekolah supaya saya jadi berangkat ke Malang. 
       Keluar dari ruang TU, saya pergi ke parkiran sepeda. Di tengah jalan ketemu Titin, tetangga saya. Ditanya sama dia "kok baru pulang Reza?" Saya jawab "iya gak apa-apa, saya suka pulang akhir-akhir" begitu. Jalan menuju tempat parkiran bersama Titin yang juga kakak kelas saya, saya curhat di tengah jalan tentang gagalnya saya ikut final olimpiade di Malang. Saya jelaskan kepada dia alasan mengapa saya gagal.  Dia berkata bahwa memang dari dulu kepala sekolah itu pelit. Saya belum mengetahui itu karena saya masih siswa baru di sekolah. Namun setelah sekian lama, saya baru tahu bahwa kepsek saya itu memang pelit. Bukan hanya saya yang berpikiran demikian, tetapi guru-guru yang lain juga, termasuk mahasiswa PPL dari UNEJ dan IAIN Jember. 
       Di tengah perjalanan saya hanya bisa berpikir "kok bisa ya? Why? Please give me the answer!" Kalau dipikir-pikir saya ini kan berusaha membawa nama baik almamater sekolah. Kenapa saya tidak diizinkan pergi ke Malang? Saya tidak liburan disana. Saya ikut final olimpiade bahasa Inggris. Why? Kenapa baru sekarang diberi berita demikian? Kenapa gak awal-awal begitu saya lolos final? Kenapa sekolah mengadakan olimpiade tingkat nasional kalau akhirnya saya tidak diizinkan? Kendati demikian, saya tidak sedih, saya tidak sakit hati. Namun entah kenapa, ketika mencari jawaban "why" itu tadi, air mata saya seketika keluar sendiri. Saya cuma ingat perjuangan saya. Saya ikut olimpiade itu bayarnya paling terakhir sendiri karena belum ada uang. Saya nabung sendiri. Sering pergi ke rumah kakek untuk meminta sebuah pekerjaan supaya saya dikasih upah. Nah uangnya bisa ditabung untuk ikut olimpiade. 
       Sampai di rumah, saya tidak cerita ke orang tua saya dulu. Tetapi saya ceritakan hal ini pada malam harinya. Malam hari ketika hendak tidur, saya cerita ke ibu saya bahwasanya saya tidak jadi berangkat ke Malang karena tidak mendapat surat izin atau rekomendasi dari kepala sekolah. Saya juga menambahkan kata guru saya "sing legowo Le (yang sabar nak)". Saya tidak tahu apa yang ada di benak ibu saya. Saya sudah tidak ingat beliau dulu bicara apa. Setahu saya ibu saya hanya diam. Beliau sama sekali gak marah saat itu. Namun malam harinya saya terbangun mau buang air kecil. Saya dengar percakapan ibu dan ayah saya di dalam kamar. Beliau cerita bahwa saya gagal ke Malang karena tidak mendapat izin dari kepsek. Ibu saya yang cerita itu ke ayah saya sambil nangis. Saya masih ingat betul momen itu. 
        Saya akui saya tidak sakit hati setelah saya dinyatakan gagal ke Malang. Walaupun saya sedih tapi saya gak sakit hati. Amat disayangkan saja begitu, sekolah tidak memberikan saya kesempatan untuk hadir ke Malang. Padahal di Malang saya gak rekreasi. Saya niat mau membanggakan sekolah itu saja. Apalagi setalah mendengar guru saya, bahwasanya saya adalah satu-satunya siswa yang berhasil lolos final olimpiade. Saya jadi tambah semangat. Saking semangatnya, saya sudah lupa dengan keadaan diri saya sendiri. Yang saya ingat adalah bagaimana cara membanggakan sekolah dan sekolah. Gak kasihan dengan diri saya sendiri, justru saya kasihan dengan sekolah saya saat itu. Siapa sangka akhirnya saya tahu bahwa saya yang berniat membanggakan sekolah harus rela mengubur impian itu. 
       Namun, mendengar ibu saya nangis itu, saya jadi ikut nangis. Bukannya cengeng, tapi saya kasihan sama beliau. Saya mempunyai tekad bahwa siapa saja yang menyakiti hati ibu saya, akan berurusan dengan saya. Dan saya pastikan mereka akan menyesal karena berurusan dengan saya. Saya tidak mau orang lain membuat ibu saya nangis. Saya tidak akan pernah membuat beliau menangis. Sampai disini, rasa marah dan kekesalan saya terhadap sekolah semakin meningkat. Ibu saya gak nangis, saya biasa saja saat itu. Begitu tahu ibu saya menangis, rasa kekesalan, benci, enek, terhadap sekolah jelas ada. Ngapain ngadakan olimpiade kalau pada akhirnya saya gak diizinkan? Saya benar-benar sakit hati saat itu. Pedih sekali rasanya. Kalau membunuh gak dihukum dunia akhirat, saya bunuh kepala sekolah saya saat itu. 
        Keesokan harinya saya pergi ke sekolah dengan perasaan yang tidak karuan. Rasa kesal, benci, muak, menyelimuti saya. Disapa teman, saya diam saja. Biasanya sampe sekolah, paginya saya rajin sholat Dhuha, bolong sholat Dhuha saya. Masuk kelas biasanya baca buku, tidur saya. Kendati demikian, saya tidak pernah menunjukkan rasa kesal saya terhadap guru saya. Guru saya ngajar, saya dengarkan beliau. Dikasih tugas, saya kerjakan dengan senang hati. Senyum palsu muncul dari raut wajah saya. Ya gara-garanya saya ingat ibu saya dibuat nangis oleh sekolah itu. Begini lah rasanya didholimi oleh sekolah. Maka dari sini lahirlah sosok penulis yang berbeda. 
       Bu Ana menemui saya saat jam pelajaran berlangsung. Beliau minta maaf kepada saya karena beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau bilang kepada saya supaya tetap sabar jangan putus asa. Dalam hati saya berkata "kembalikan dulu air mata ibu saya, baru saya bisa sabar dan tidak putus asa Bu". Teman-teman di dalam kelas melihat saya ngobrol dengan Bu Ana. Yang pada akhirnya mereka tahu bahwa saya gagal lolos final ke Malang. Begitu tahu itu, mereka sama sekali tidak memberikan motivasi kepada saya kecuali Ines. Kiki terlihat senang sekali saya gagal lolos final saat itu. Mana ada orang pintar begitu. Hanya ines yang memberikan perhatian kepada saya. Saya lupa sudah dia ngomong apa. Seingat saya dia tanya dengan rasa ingin tahu alasan kenapa saya gak diberi izin pergi ke Malang begitu. 
       Bu Yuan juga datang ke kelas saya. Kembali mencoba ngobrol sama saya. Karena kemarin kan disuruh cepat-cepat pulang oleh Pak Affan suaminya, yang juga ngajar di sekolah kami. Beliau berkata "sudah wes gak apa-apa, nanti kalau ada olimpiade di Jember saya kabari ya nak, gak akan ada lagi wes olimpiade di luar kota". Sejak saat itu, olimpiade tingkat nasional tidak diadakan lagi di sekolah kami. Lucu sekali menurut saya. Dan sejak saat itu saya agak gak niat lagi belajar bahasa Inggris. Jujur males sekali saya saat itu. Pikiran saya gak karuan gara-gara ingat ibu saya nangis itu. Andai ibu saya gak nangis, mungkin saya masih bisa terima. 
       Bukan hanya gak niat belajar bahasa Inggris, saya juga gak peduli lagi dengan teman sekitar saya. Saya juga gak peduli dengan sekolah, guru, dan ranking kelas (prestasi). Dari sini saya mulai berfilsafat. Sekolah itu apa ya? Kepala sekolah itu apa? Guru itu apa? Siswa itu apa? Kenapa siswa belajar di sekolah kalau bisa belajar di rumah? Ranking itu apa? Prestasi itu apa? Hidup itu apa? Mati itu apa? Tapi saya sendiri gak sadar kalau saat itu saya ssdang berfilsafat. Karena saya belum mengenal istilah filsafat saat itu. Saya kenalnya begitu pas masuk bangku perkuliahan saja. 
       Dan begitu ada lomba-lomba bahasa Inggris di sekolah, saya gak pernah ikut. Biasanya yang mengadakan guru-guru PPL dari UNEJ. Males saya mau ikut lomba bahasa Inggris lagi. Karena ingat ibu saya dibuat nangis itu. Mahal air mata ibu saya itu. Sekolah gak akan sanggup membayarnya. Dan gak akan pernah sanggup. Pernah saya  dipilih ikut lomba bahasa Inggris oleh kelas saya. Gak datang di tempat lomba saya, buat apa? Gak bangga saya menang lomba tingkat sekolah. Bu Ana nyari saya dan bertanya, kenapa saya gak ikut lomba bahasa Inggris. Saya jawab "sudah ada Kiki yang mewakili kelas Bu" gitu saja. Ditanya lagi oleh beliau "terus masalahnya apa?" Saya jawab ngawur saja "katanya setiap kelas mengeluarkan satu delegasi Bu". Males saat itu saya ditanya-tanya begitu. Kalau pun ikut lomba, belum tentu saya menang. Gak bisa saya, masih teringat ibu saya dibuat nangis itu. Jelas psikis saya terkena disini jelas sekali. Dengar mapel bahasa Inggris saja saya takut dan langsung down saat itu jujur. 
       Kemudian ada lagi tryout Bahasa Inggris, Bu Yuan memanggil saya agar saya mengikutinya. Batin saya ngapain ikut tryout bahasa Inggris, gak penting buat saya. Terlebih tryout diadakan sepulang sekolah, sore hari jam 14:30. Main sepak bola kan enak begitu. Kendati demikian, saya hargai beliau sebagai guru dan akhirnya saya ikut tryout bahasa Inggris. Dari kelas X hanya saya saja yang mengikutinya. Rata-rata semuanya kelas XI, ada mas Haris juga saya lihat yang pandai dalam bahasa Inggris. Malu saya saat itu ditanya-tanya oleh kakak kelas. Kaya saya orang penting saja. Begitu mengikuti tryout, dari 30 lebih peserta, saya ada di urutan ke 14. Jadi setelah tryout selesai, 5 menit kemudian hasilnya diumumkan di mading begitu. Gak niat saya ngerjakan tryout itu. Bayangan saya mau main sepak bola itu saja. Mana lagi saya lapar begitu. Bu Yuan tanya kok saya bisa di urutan ke 14, apa susah soalnya begitu. Saya jawab saja "iya susah sekali soalnya Bu". Tujuannya agar saya cepat pulang saja. 
         Di kelas saya pernah ditegur Bu Ana, karena saya saat pelajaran bahasa Inggris tidak aktif atau memberikan kontribusi. Saya ingat sekali itu. Bu Ana bilang "Galuh kok gak pernah jawab sekarang? Jadi semakin pasif saya perhatikan". Mendengar itu diam saja saya saat itu. Yang penting saya sudah mengikuti pelajaran beliau. Saya sopan dan takdim dengan beliau, beres begitu. Tugas juga selalu mengerjakan. Disini saya benar-benar mengalami penurunan dalam pelajaran bahasa Inggris. Mau angkat tangan rasanya gak enak, karena terbiasa pasif itu tadi. Sampai kelas XII, saya selalu pasif dalam mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Dari kelas X hingga XII, Bu Ana yang mengajar saya. Jujur rasa bosan sebetulnya ada. Tapi mau gimana lagi ya kan? 
       Walaupun demikian, dengan psikis saya yang terkena tadi. Saya masih berusaha menguatkan diri untuk ceria mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Kadang sudah menguatkan diri, air mata juga jatuh. Dulu saya merasa dibodohi oleh sekolah. Saya suka dengan pelajaran bahasa Inggris, tapi untuk menyukai pelajaran tersebut dan tidak mengingat peristiwa masa lalu itu susah sekali. Terutama peristiwa ibu saya nangis itu. Ibarat makan ketela, saya suka dengan ketela, tapi dulu saya pernah beli ketela yang mengandung boraks, jadi takut saya mau makan ketela lagi. Tapi dalam hati saya, saya masih suka dan ingin makan ketela. Begitu ingat ketela yang ada boraks tadi, saya jadi pikir dua kali untuk makan ketela. Takut kan? Nah akibatnya psikis terkena disini. 
        Jelas rasa kecewa itu ada, saya rasa itu manusiawi lah. Tapi ketika kita jatuh, kita dihadapkan oleh dua pilihan, bangkit atau tidak? Saat itu saya merasa tidak bangkit. Nah, ini jangan ditiru, tidak baik. Semua peristiwa yang kita alami pasti mengandung pelajaran. Saya ingat kata-kata dari Jiraiya sensei, salah satu tokoh anime Naruto. Beliau berkata "seseorang yang telah disakiti, akan belajar untuk membenci, dan ketika orang tersebut menyakiti, dia masih dalam proses menuju dewasa" kira-kira seperti itu. 
       Keputusan untuk tidak bangkit itu adalah salah besar. Susah sekali untuk bangkit. Masuk jam pelajaran bahasa Inggris, sudah tidak seantusias biasanya. Di kelas diam saja saya. Disuruh maju ya maju, disuruh tanya ya tanya, seperti remot begitu. Namun saya tidak pernah menampakkan rasa kekesalan dan kekecewaan saya terhadap guru saya, gak baik itu. Biarlah beliau-beliau sendiri yang belajar untuk merasakan. Beliau pasti tahu apa yang saya rasakan. 
       Untuk bangkit dan mencintai bahasa Inggris susah sekali ya. Awal pertama dikecewakan, saya jadi enggan untuk belajar bahasa Inggris. Saya belajar bahasa Inggris hanya di sekolah saja, biasanya saya suka belajar bareng dengan guru-guru PPL dari UNEJ. Entah saya tidak tahu, kalau mereka yang menjelaskan saya senang sekali dan mudah ditangkap otak saya. Tetapi tidak ketika diajar oleh guru saya. Saya tidak suka dengan cara mengajarnya yang monoton. Walaupun begitu, saya harus tetap menghargai dan menghormati guru saya. Semisal ada yang kurang pas dengan cara mengajarnya, saya terima dengan suka hati. 
      Ketika saya duduk dibangku kelas XI. Saya juga hampir tidak pernah berpartisipasi dalam mengikuti lomba bahasa Inggris. Kalaupun saya ikut, pasti karena terpaksa baik oleh guru maupun oleh kelas. Karena setiap kelas kan wajib menyetorkan delegasinya. Gak suka saya ikut lomba bahasa Inggris. Tingkat sekolah lombanya, dan yang mengadakan anak-anak PPL dari UNEJ. Tantangannya apa? Menang melawan siswa dari sekolah sendiri tidak membuat saya bangga. Akhirnya apa? Saya ikut lomba sekedar menggugurkan kewajiban saja. Yang penting ikut saja walaupun saat itu reputasi saya sedikit jelek ya dalam bidang bahasa Inggris. Bu Ana pun keheranan karena saya ikut lomba tidak lolos 10 besar. Demi Allah tidak bisa saya ikut-ikutan lomba seperti itu. Tidak cocok juga dengan soal-soalnya. 
        Namun, saya berpikir, manfaat saya bisa bahasa Inggris, terus tidak dimanfaatkan untuk apa? Kan sayang sekali, bukan? Akhirnya saya putar otak saya kembali dan mengajari teman-teman saya bahasa Inggris dibantu dengan Tholib sahabat saya. Mohon maaf kalau boleh cerita, saya ini kelas XI IPS 4 dan menyandang gelar kelas ternakal, terbodoh, dan ternegatif lah. Kami menyandang gelar itu karena kakak kelas kami. Sebetulnya kelas kami tidak begitu nakal, hanya saja kami memberontak karena kami merasa dianaktirikan di sekolah sendiri. 
        Ada satu contoh, ketika ada barang kehilangan, kelas kami yang digeledah duluan. Kelas IPA tidak digeledah. Kelas kami juga sudah tercap jelek oleh guru-guru yang lain. Saya ingin merubah image itu. Saya ingin merubah bahwa tidak selamanya kelas IPS itu jelek, bodoh, nakal, dan semacamnya. Akhirnya dari sini saya berpikir bagaimana kalau saya sebarkan saja ilmu bahasa Inggris saya ke teman-teman saya. Saya dibantu oleh Tholib saat itu. Tholib adalah anak yang pandai dalam bahasa Inggris. Dari sini juga lah saya berpikir bahwa saya enaknya jadi guru bahasa Inggris saja. 
       Pernah kelas kami kedatangan mahasiswi UNEJ yang hendak melakukan sebuah penelitian di kelas kami. Kami terkejut, karena mustahil kelas kami jadi objek penelitian. Kok bisa ya? Ada apa gerangan? Kelas IPA kan pandai-pandai saat itu. Kenapa kelas kami yang dipilih begitu loh. Usut punya usut, ternyata alasannya adalah rata-rata nilai bahasa Inggris di kelas XI IPS 4 yang tertinggi dari semua kelas (8 kelas). Rata-rata bahasa Inggris di kelas kami adalah 74 dan kedua adalah kelas XI IPA 1 dengan 71. Jadi ceritanya yang jadi objek penelitian saat itu adalah kelas XI IPS 4 dan XI IPA 1. Apakah kami bangga? Gak bangga kami, kecewa karena akan minim jam kosong. Tetapi saya tidak menganggap bahwa prestasi ini adalah hasil kerja keras saya dengan Tholib. Bisa saja kebetulan kan begitu. 
        Saya tunggu kabar dari Bu Yuan. Mana katanya kalau ada lomba olimpiade bahasa Inggris saya akan dikabari. Ternyata tidak pernah dikabari. Saya tidak tahu juga. Bahkan keinginan untuk ikut sendiri olimpiade bahasa Inggris pun juga tidak ada dalam benak saya. Ya tidak tahu, karena pengalaman pahit itu alasannya. 
       Ketika duduk di bangku kelas XII. Anak-anak PPL dari UNEJ mengadakan lomba pidato bahasa Inggris. Saat itu saya semester 5. Harusnya saat itu saya tidak diperkenankan untuk ikut karena harus fokus UN. Tapi bagaimana ya? Delegasi dari kelas XII IPS 4 adalah saya. Sempat terpikirkan tidak mau ikut saya. Teman-teman saya juga tidak peduli mau saya ikut atau tidak. Tapi dalam hal ini saya ikut karena ingin mengucapkan selamat tinggal kepada sekolah saya. Aduh nangis saya kalau ingat ini. 
        Singkat cerita, saya mengikuti lomba pidato bahasa Inggris. Saya tidak tahu kalau ada babak finalnya. Karena berdasarkan pengalaman saya waktu saya mengintip anak-anak ikut pidato bahasa Inggris, tidak ada tahap final. Saya juga kan dulu tidak pegang hp sehingga saya telat informasi. Saya juga tidak percaya bahwa saya masuk final akhirnya. 
       Saat babak penyisihan diambil enam finalis. Salah satunya adalah saya. Babak penyisihan, tiga juri yang lain memandang saya kaget dan merasa kecewa kalau saya lihat dari raut wajah-wajah beliau. Saya saat itu berada di urutan pertama. Begitu final, saya tidak hafal teksnya. Bahkan saya sempat mau kabur saja. Tapi karena tidak punya kesempatan, akhirnya saya maju ke depan dengan membawa teks. Padahal tidak boleh maju bawa teks. Tetapi anehnya saya meraih juara ketiga waktu itu. Mungkin terbantu dengan nilai saya saat babak penyisihan tadi. Ya saya mendapatkan juara ketiga lomba pidato bahasa Inggris pada tahun 2015 saat itu. Tidak percaya saya kalau saya akan menjadi juara ketiga. Padahal keenam finalis tersebut bagus-bagus semua saya perhatikan. 
        

Keesokan harinya, ketika mata pelajaran bahasa Inggris, Bu Ana memanggil saya untuk duduk ke depan. Beliau bertanya "kenapa dari dulu gak ikut lomba bahasa Inggris? Bagus loh accent kamu, model cara pidatomu itu bagus sekali, sayang loh nak". Bu Ana sambil sedih saya lihat waktu itu. Saya juga merasa bersalah pada diri saya. Saya sadar bahwa jalan yang saya ambil itu salah. Saya kasihan saat itu dengan Bu Ana. Tapi waktu itu saya tidak bicara apa-apa. Karena kalau saya bicara saya takut nangis di depan beliau. Selain itu, di belakang saya ada banyak teman-teman saya yang lain. Malu saya kali nangis.  Beliau hampir nangis saya perhatikan waktu itu, sehingga secara tidak sengaja membuat saya ingin menangis juga. 
         Saya masih ingat betul ketika saya dipanggil ke depan saat upacara bendera berlangsung. Ya saat itu ceritanya pembagian piala lomba pidato bahasa Inggris. Saya merasa sakit hati waktu itu. Sakit hati dengan apa yang saya perbuat. Saya tidak seharusnya melakukan itu kepada sekolah saya. Ya tapi mau bagaimana lagi? Saya akan jadikan semua ini pelajaran untuk saya pribadi. Ya selain itu, saya juga ingin nangis rasanya. Saya merasa mampu membawa nama baik sekolah tapi saya sengaja menyembunyikan kemampuan bahasa Inggris saya. Sebetulnya itu kan tidak baik untuk dilakukan. 
        Ya inilah sekelumit pengalaman saya. Semoga pembaca dapat mengambil manfaatnya. 

       
        
       
        
       
       
         
       

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?