Konsultasi Masalah Jam Mengajar: Membingungkan dan Dibingungkan
Mengawali PTM di tengah wabah covid, benar-benar menyibukkan saya sekali. Salah satu kesibukan yang dimaksud ialah dalam menentukan jam mengajar. Untuk itu, guru kelas maupun mapel harus negosiasi dan berkonsultasi terkait dengan masalah jam mengajar. Dari sekian banyak guru, hanya ada satu guru yang menurut saya ribet sekali begitu. Hal itu sedikit menimbulkan gelak tawa dan kesal.
Tidak ada yang salah dari beliau di mata saya. Beliau aktif bertanya dan berkonsultasi kepada saya. Saya sudah katakan bahwa saya mengikuti arahan beliau saja. Berulang kali saya mengatakan itu. Tetapi beliau justru meminta pendapat saya. Manakala saya memberi pendapat, beliau salah paham terus dengan saya. Terlebih, diksi yang digunakan beliau dalam berbahasa salah menurut saya. Kalau bukan saya, mungkin orang yang diajak bicara akan emosi.
Semua mapel termasuk bahasa Inggris sudah ditentukan jadwalnya semenjak awal saya mengajar. Namun jadwal tersebut adalah jadwal daring. Nah, sekarang adalah PTM. Jadi guru hanya menyesuaikan saja dengan jadwal daring yang ada. Misalkan saat daring dimulai jam 07:00, saat PTM bisa dimulai jam 07:00 atau bahkan lebih. Tergantung negosiasi dari guru kelasnya. Adapun regulasi atau mekanisme pembelajaran PTM ialah siswa hanya diperbolehkan masuk 50% dengan jumlah 2 jam 30 menit per hari di Minggu pertama. Di Minggu kedua setelah pukul 09:30, sesi satu pulang. Kemudian pukul 10:00, sesi 2 masuk dan pulang pukul 12:30. Jadi kesimpulannya satu sesi 2 jam 30 menit.
Manakala saya negosiasi soal jam, saya selalu meminta agar saya diberi waktu mengajar 30 menit saja per sesi. Karena bagi saya 30 menit itu sudah lama. Selain itu, saya dalam sehari bisa pegang dua sampai tiga kelas. Ketika dikalkulasikan maka sangat fair bagi saya mendapatkan jatah mengajar 30 menit selama satu hari. Jumlah itu belum dikalkulasikan dengan jatah mengajar di kelas lain. Kendati demikian, ada saja guru kelas yang meminta agar saya mengajar di kelas selama 1 jam untuk satu sesi. Awalnya saya keberatan. Namun akhirnya saya terima.
Konsultasi masalah jam mengajar sudah beres dengan kelas yang lain. Menurut saya itu bisa kondisional lah. Karena seperti yang biasanya, teori atau perhitungan kadang berbanding terbalik dengan apa yang ada di lapangan. Pernah, saya diminta mengajar di kelas 1A secara mendadak. Padahal jam ngajar saya jam 10:30-11:00. Guru kelas 1A meminta saya untuk ngajar dari jam 09:50-10:30. Setelah itu beliau meminta agar anak-anak dipulangkan saja dengan dalih beliau sudah lelah dan tidak enak badan. Jadi yang seharusnya anak-anak pulang pukul 11:00, dipulangkan pukul 10:30. Nah belum lagi kalau pukul 07:00, pasti guru mulai mengajar paling cepat pukul 07:10. 10 menit tersebut digunakan untuk berdoa, menyanyikan lagu kebangsaan, nasional, daerah, dan absen. Nah Itu tadi yang saya maksud dengan kondisional. Jadi guru tidak perlu yang namanya sok teoritis, sok ngepinter, sok kuasa, dan lain-lain. Saya paham dengan apa yang ada di lapangan. Kultur sekolah saya, saya juga paham. Jadi tidak perlu lah ribet-ribet negosiasi masalah waktu ngajar dengan saya. Anda minta A saya ikut, minta B saya juga ikut. Anda maunya salak, saya berikan salak, mau nanas, saya beri nanas. Kalau guru yang ini kan tidak, beliau minta nanas yang bentuk dan rasanya salak. Jadi susah begitu. Cari di pasar mana pun juga gak bakal nemu.
Saat saya di perpustakaan, sebut saja guru A menemui saya untuk membahas masalah jam mengajar. Tetapi feedback yang saya terima dari beliau adalah "apa gak ini ya? Lah iya, terus piye penake, piye-piye?". Kan saya jadi bingung kalau begitu. Kesannya saya terlihat bodoh disini. Saya sudah pasrah dengan beliau. Mau diberi waktu mengajar kapan saja saya mau. Sudah saya katakan berkali-kali. Beliau minta A, ok saya sesuaikan dengan jadwal saja, sudah selesai. Saya tidak mau repot-repot dan panjang-panjang.
Kalau hanya diajak berunding masalah mengajar itu mudah bagi beliau sebetulnya. Cukup susah bagi saya karena saya harus mencocokkan dengan jadwal ngajar saya di kelas lain. Khawatirnya beliau meminta saya mengajar pukul 07:00, dan di waktu yang bersamaan saya juga mengajar di kelas lain begitu. Nah itu yang bahaya. Tetapi ini tidak, saya sampaikan ke beliau saya ngajarnya jam segini dan sekian. Ditanggapi oleh beliau dan kemudian dilempar lagi ke saya. Saya kembali menjelaskan bahwasanya saya manut dengan beliau sudah. Berkali-kali saya sudah bilang begitu. Lah beliau lempar balik ke saya. Begitu saya berpendapat, balasan beliau selalu jelek kepada saya. Lah saya harus bagaimana? Cuma guru ini saja yang susah. Guru yang lain di sekolah saya tidak ada masalah. Bingung saya jadinya. Padahal ini, guru mapel yang lain bukan hanya saya. Ada yang lain. Pertanyaan kenapa tidak konsultasi dengan mereka sampai mereka pada bingung semua dengan beliau? Kok saya yang jadi korban gitu loh.
Pada Minggu pertama, saya melaksanakan google meet di kelas beliau. 50% siswa beliau belajar di rumah dan 50% lainnya olahraga di sekolah. Sesuai dengan hasil konsultasi bahwa siswa yang mengikuti kegiatan olahraga di sekolah tidak diperkenankan untuk mengikuti google meet bahasa Inggris dengan saya. Siswa yang berolahraga selesai pukul 08:30. Setelah olahraga itu pulang sudah. Sebetulnya kalau gurunya cerdas, bisalah saya diminta untuk google meet tetapi untuk waktunya agak mundur sebagai jeda anak-anak istirahat setelah olahraga. Katakanlah google meet dimulai pukul 09:15, selesai 09:45, bisa itu. Tetapi apa? Gurunya menolak itu. Beliau bilang yang olahraga tidak perlu google meet biar sama dengan kelas 5 yang lain. Alasannya capek, masa siswa olahraga langsung google meet, sambung beliau. Lah, sekarang saya tanya, sebelum ada pandemi ini biasanya bagaimana? Setelah olahraga, ganti baju, istirahat 15 menitan, pelajaran lain dimulai kan? Lucu sekali kok baru sekarang bilang capek. Dulu-dulu bagaimana?
Baik, saya coba menggunakan pemikiran orang lain. Barangkali maksud beliau yang capek orangtuanya. Bisa jadi karena orang tuanya jemput anaknya setelah itu menyiapkan google meet. Atau bisa jadi jarak rumah anaknya jauh dari sekolah. Sekarang saya balik tanya, capeknya google meet apa? Tinggal duduk saja di depan layar hp. Tetapi kan masih perlu dampingan orang tua? Kelas 5 anaknya, masa masih mau diajari bagaimana ikut google meet yang benar? Toh saya juga gak goblok. Saya pasti beri kelonggaran bagi anak-anak yang selesai olahraga itu kok. Contohnya telat google meet saya perbolehkan. Tidak memakai seragam sekolah juga saya bolehkan. Artinya disini saya menyediakan dengan keadaan anak-anak.
Begitu saya melaksanakan google meet bahasa Inggris di kelas beliau, hanya ada lima anak yang ikut google meet dengan saya bayangkan. Sedih saya saat itu. 10 teman yang lain dimana? Harusnya 15 anak itu ikut google meet dengan saya. Nah, sedangkan di saat yang bersamaan anak-anak yang olahraga itu mengumpulkan tugas ke saya. Saya berkata "ayo tugasnya dikumpulkan disini, jangan buru-buru". Anak-anak jawab "iya pak habis ini biar bisa langsung ikut google meet". Bukan anak-anak saja, wali murid pun juga mengatakan hal yang sama pada saya bahwasanya anak-anaknya mau ikut google meet. Nah, disini saya tegaskan bahwa anak-anak yang sudah olahraga tidak perlu ikut google meet seperti kata guru kelasnya. Akhirnya yaitu tadi, hanya ada lima siswa yang ikut google meet dengan saya sampai akhir. Saya mulai google meet pukul 08:45 dan selesai pukul 09:45. Jadi satu jam ya. Pukul 10:30 nanti saya ngajar di kelas 1A.
Keesokan harinya, guru A ini menemui saya lagi. Dan kembali saya dibingungkan oleh beliau. Yang harusnya saya tenang jadi tidak tenang karena beban. Ada pun yang dikonsultasikan beliau ialah bahwa Minggu depan siswa masuk 100% tetapi dibagi menjadi dua sesi. Kemudian beliau menanyakan apakah siswa yang olahraga juga mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Selain itu, beliau juga bertanya panjang lebar sekali. Dan tak lupa ada nada atau intontasi yang kesannya merendahkan saya. Itu yang saya tidak suka. Terlihat betul ribetnya. Singkat cerita, dari konsultasi ini didapat kesimpulan bahwa saya mengajar 30 menit di masing-masing sesi. Ya tetapi tetap, untuk sampai ke kesimpulan harus melalui alur yang ribet sekali. Dibingungkan dulu oleh gurunya.
Keesokan harinya, setelah saya mengajar di kelas 4B, beliau menanyakan lagi. Katanya, kelas 5 yang lain setelah olahraga siswanya dipulangkan. Katakanlah yang olahraga itu sesi 1 dan yang tidak olahraga sesi 2. Jadi sesi 1 tidak perlu mendapat pelajaran bahasa Inggris. Bagaimana dengan sesi 2? Sesi 2 tetap mendapatkan bahasa Inggris dengan maksimal waktu pelajaran 30 menit. Saya bingung disini setelah beliau mengatakan sesi 2 berangkat ke sekolah jam 08:30. Sedangkan saya mengajar dari pukul 09:00-09:30 awalnya seperti itu. Dan itu di hari Jumat. Pertanyaannya, 08:30-09:00 mau diisi pelajaran apa? Gurunya memberi solusi selama 30 menit itu guru tersebut diam di kelas menjaga sesi 2. Jadi dengan kata lain, 30 menit itu kosong tidak ada pelajaran. Sedangkan siswa tetap berada di kelas. Sebetulnya tidak enak juga kalau sesi 2 diminta datang jam 09:00. Jam 09:30 setelah itu pulang sudah. Kan berarti 30 menit duduk di dalam kepas. Konsultasi antara kami jelas disini masih buntu, artinya belum ada kesepakatan yang jelas. Beliau berkata, mau dengar dulu pendapat guru olahraga.
Keesokan harinya berubah lagi. Setelah diskusi dengan guru olahraga, beliau mengusulkan kepada saya agar 100% siswa (gabungan sesi 1 dan 2) mengikuti pelajaran bahasa Inggris mulai dari pukul 09:00-10:00. Sesi 1 habis olahraga gabung dengan sesi 2. Bisa dibayangkan suasana kelas nanti bagaimana. Tentu bau keringat anak-anak yang olahraga itu tadi. Dan itu dijadikan satu. Ini kan sudah menyalahi prokes. Tadinya saya minta waktu 30 menit mengajar. Guru kelasya juga setuju. Tetapi malam harinya berubah lagi. Beliau wa saya bahwa bahasa Inggris diminta satu jam oleh kepala sekolah. Bingung saya, berubah-ubah terus. Pembaca perlu tahu, ini masih belum final decision. Nanti saya dibingungkan lagi oleh guru satu ini. Tetapi saya menyukapinya dengan sabar saja. Nah, dari pembahasa ini, saya dapat tahu bahwa saya mengajar 100% siswa dari sesi 1 dan 2 dalam kurun waktu satu jam. Selesai mengajar itu saya tidak istirahat, tetapi langsung ngajar di kelas 1A. Bukan manusia saya, lebih ke mesin begitu.
Hari Rabu, saat ada vaksin masal di sekolah, saya kembali dan kembali dibingungkan oleh beliau. Beliau bertanya kepada saya apakah siswa yang sudah olahraga dipulangkan saja. Saya respon iya sudah Bu. Beliau respon kembali, tetapi siswa yang sudah olahraga tersebut tidak mendapatkan pelajaran bahasa Inggris. Mereka dapatnya Minggu depan. Beliau minta supaya saya cukup memberi tugas saja atau bagaimana saya lupa sudah. Intinya saya ikut apa kata beliau sudah mengingat beliau senior saya dan tentu lebih tua dari pada saya. Tetapi beliau meminta pendapat saya. Ketika saya memberi pendapat ada nada ejekan atau kontroversial yang dilayangkan oleh beliau seolah-olah saya ini bodoh. Itu yang saya tidak suka.
Saya memberi pendapat saja, supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial, alangkah baiknya saya menggunakan metode blanded seperti guru Agama kelas atas. Beliau tidak tahu apa itu metode blanded. Metode blanded itu sederhananya adalah saya mengajar sesi 2 di sekolah dan sesi 1 lewat google meet. Supaya kedua sesi tersebut sama-sama mendapatkan pelajaran bahasa Inggris. Apa jawabannya guru kelas tersebut? Beliau tidak setuju dengan alasan anak-anak pasti capek. Baru pulang sekolah masa langsung google meet. Beliau memutus pembicaraan saya padahal saya belum selesai bicara.
Saya mengusulkan supaya pagi sesi 2 juga ikut masuk tetapi berada di dalam kelas awalnya. Beliau tidak setuju waktu itu. Beliau minta sesi 2 masuk jam 09:00. Nah saya asli bingung disini, mau debat dan bentak beliau juga percuma ya kan? Akhirnya saya banyak-banyak beristighfar saja. Saya usulkan supaya anak-anak yang olahraga itu google meet dengan saya jam 09:45. Jam 09:00-09:30 saya kan ngajar sesi 2 yang tidak ikut olahraga. Tetapi beliau menolak itu dengan alasan anak-anak pasti capek, orang tuanya juga capek. Baru pulang langsung google meet. Apanya yang langsung google meet katanya guru itu. Sesi 1 kan pulangnya jam 08:30. Itu ada waktu banyak untuk istirahat. Saya lakukan itu supaya tidak ada kecemburuan sosial. Itu saja tujuan saya. Guru kelasnya merasa dirinya paling benar ya sudah. Saya percaya besok-besok juga sadar sendiri bahwa keputusannya salah. Beliau berkata yang olahraga biar sudah tidak perlu diberi pelajaran bahasa Inggris, mereka pasti capek, kasihan katanya. Minggu depannya saja diajar bahasa Inggris. Saya loh mau nangis rasanya melihat keputusan beliau itu. Tidak cerdas sama sekali keputusannya. Jujur saya sanggup menggunakan metode blanded itu. Atau bisa dibalik, sesi 2 pagi google meet dengan saya. Sesi 1 yang olahraga itu, setelah olahraga belajar bahasa Inggris di kelas, saya sanggup walaupun sebetulnya capek karena saya juga ada waktu mengajar dua sesi di kelas 1A.
Ya tetapi apa ya, ada guru lain juga bersama kami. Ikut mendengar juga lah. Tetapi apa yang saya dapatkan disitu? Tidak ada selain direndahkan. Beliau bingung, kemudian meminta pendapat saya. Setelah saya memberikan pendapat, malah dicampakkan begitu saja. Ya sabar saja saya. Padahal saya sangat sanggup mengajar dua sesi tersebut dengan rincian masing-masing sesi 30 menit. Kalau satu jam tidak bisa karena waktunya mepet mengingat hari Jumat ya. Selain itu saya juga berbagi waktu di kelas 1A. Beliaunya tidak setuju dan justru bilang bahwa sesi 1 tidak perlu menerima pelajaran bahasa Inggris. Beri tugas saja atau bagaimana menurut beliau saya lupa. Sepertinya beliau tidak bilang beri tugas saja.
Nah, ironisnya H-1 beliau mengganti lagi dan menghancurkan keputusan yang beliau buat sendiri sedari awal. Hari Jumat, sesi 1 setelah olahraga pukul 08:30, jam 08:45 saya mengajar sesi 1 sampai jam 09:30 bayangkan. Mana yang katanya anak-anak capek habis olahraga langsung diberi bahasa Inggris? Anak-anak hanya diberi waktu istirahat 15 menit di kelas oleh beliau. Setalah itu saya diminta ngajar siswa yang sudah olahraga itu tadi. Ini jelas kontradiktif dengan pendapat beliau di awal. Tidak konsisten pendapat beliau. Alhasil, tidak konsen saya mengajar karena bau badan mereka semua. Dua kipas angin dihidupkan semua oleh mereka. Baunya Masya Allah. Saya minta matikan satu saja kipas anginnya. Tetapi disini saya senyum saja. Saya tidak menunjukkan wajah kesal atau pun enek begitu, tidak.
Saya amat menyesal dan kecewa dengan keputusan beliau yang menurut saya di luar dugaan saya. Kontradiktif betul dengan pendapatnya di awal. Mendatangi saya seperti orang penting. Semua guru yang lain tidak begitu loh. Hanya guru satu ini yang ribet. Sudah ribet, keputusan akhirnya kontroversial sekali. Itu yang sesi 2 enak. Tidak olahraga dan tidak menerima pelajaran bahasa Inggris. Sesi 1 kasihan, setelah capek olahraga, kemudian menerima pelajaran bahasa Inggris. Saya benar-benar dibingungkan disini. Nyesal saya bisa terlibat ini.
Ya apa pun itu, saya tetap menyikapinya dengan kepala dingin. Walaupun kecewa saya. Pembaca tidak mengalami. Saya yang mengalami benar-benar sakit hati iya. Tetapi sudah saya lupakan itu. Saya juga tetap menghormati beliau. Mungkin beliau stress atau banyak pikiran sehingga beliau bingung dalam memutuskan keputusan terkait dengan masalah jam ngajar ini. Yaitu tadi, karena terlalu terlihat penting dan perfeksionis, langkah yang diambilnya salah dan tidak sesuai dengan ucapannya diawal.