Apakah Sifat Saya Terlalu Berlebihan?: Menolak Gadis SMA yang Ingin Les Privat Bahasa Inggris

       Pengalaman ini terjadi sekitar tiga bulan lalu, saat dimana saya menolak tawaran wali murid yang hendak mendaftarkan anaknya les privat bahasa Inggris dengan saya. Dari pengalaman tersebut, membuat saya  terngiang-ngiang hingga sekarang. Kadang saya berpikir dan bertanya pada diri sendiri apakah saya ini kejam ya? Apa sikap saya ini sudah keterlaluan ya? Hingga tega menolak tawaran wali murid untuk mendaftarkan anaknya les privat bahasa Inggris kepada saya. Padahal niat sang wali murid tersebut baik. Yakni bertujuan supaya anaknya bisa dalam bahasa Inggris. 
        Awalnya wali murid tersebut menemui saya dan ingin anaknya yang masih kelas 5 SD les privat ke saya. Saya terima tawaran itu. Tidak selang beberapa lama, wali murid tersebut juga ingin anaknya/kakaknya anak kelas 5 tadi yang sudah SMA kelas 2 les bahasa Inggris ke saya. Jujur saya bingung awalnya. Bagaimana mungkin dua siswi yang berbeda jauh usianya digabung jadi satu dalam pembelajaran bahasa Inggris? Selain itu jenjang pendidikannya juga jauh berbeda. Kalau pun beda kelas, masih bisa saya maklumi. Karena dulu saya juga pernah punya pengalaman ngajar les bahasa Inggris siswa kelas 6 dan 1 secara bersamaan. Tetapi untuk kasus yang ini susah sekali begitu. Akhirnya mau tidak mau siswi SMA tadi harus les privat bahasa Inggrisnya. Mau les kelompok dengan saya tetapi saat itu keadaannya saya masih belum membuka les bahasa Inggris untuk jenjang SMA. Saya hanya membuka untuk jenjang SD saja masalahnya. 
      Sang ibu kemudian menawarkan supaya anaknya yang SMA tersebut les privat kepada saya. Jujur terus terang saya menolak itu tanpa pikir panjang. Alasannya pertama dia perempuan yang sudah beranjak dewasa. Kedua, saya belum membuka les kelompok untuk jenjang SMA. Sebagai akibatnya, siswi SMA tersebut harus les privat dengan saya. Les privat itu artinya kan berdua saja. Guru dan murid. Saya dan gadis kelas 2 SMA tersebut. Nah, ini yang membuat saya malu dan takut. Malu dan takut saya tidak bisa menjaga kehormatan saya. Karena kalau les berdua begitu apalagi lawan jenis susah sekali menghindari apa itu yang namanya eye contact, mendengarkan suara satu sama lain, atau dalam keadaan tidak sengaja misalkan menyentuh fisik itu kan riskan sekali. Nah jatuhnya nanti kan  ke syahwat. Dari syahwat ke nafsu kemudian dan seterusnya. Terlebih saya juga tidak bisa menjamin bahwa diri saya bisa menahan pandangan saat les privat dengan gadis SMA tersebut. Mumpung belum terlambat, saya tolak saja tawaran ibu tersebut. Saya hanya menerima anaknya yang masih SD. Itu pun les kelompok akhirnya dia, bukan privat karena kendala biaya.
       Jujur saya tidak tahu paras gadis SMA tersebut seperti apa sebelumnya. Karena memang ibunya menemui saya di perpustakaan seorang diri. Dengan kata lain tidak ditemani dua anaknya tersebut, satu yang SD dan satunya lagi yang SMA. Rasa iba pasti ada dalam diri saya hingga sekarang. Tetapi mohon maaf saya harus katakan saya tidak bisa menerima anak beliau yang SMA tersebut. Takut saya tidak bisa menjaga kehormatan saya. Daripada beresiko itu tadi ya akhirnya saya tolak saja. Terserah ibu tersebut mau berpikir tentang saya seperti apa. Yang paling penting disini saya telah menjalankan syariat agama. Saya tidak mau dengan adanya aktifitas les privat tersebut antara saya dan gadis SMA itu nantinya dapat menimbulkan syahwat. Apalagi mohon maaf sampai ke suatu hal yang tidak diinginkan seperti berpacaran misalnya. Kematian adalah kehormatan bagi saya daripada saya harus pacaran. Itu prinsip hidup saya. Kehormatan dan harga diri saya sebagai laki-laki adalah segala-galanya. Walaupun nantinya saat les misalnya, saya bisa menghindari syahwat atau kontak fisik (cium tangan antara guru dan murid) pun saya tetap akan menolak tawaran ibu tersebut. Hal itu saya lakukan untuk berjaga-jaga saja agar sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Ya benar, saya ingin menjaga kehormatan saya sebagai laki-laki. 
       Saya dengan berat hati mengatakan pada sang ibu bahwa saya tidak bisa menerima anaknya yang SMA tadi untuk les privat bahasa Inggris dengan saya. Bukan saya tidak paham materi bahasa Inggris SMA. Tetapi lebih ke menjaga kehormatan diri saja. Andai kata, anak ibu tersebut adalah laki-laki atau gadis yang masih SD, saya bisa terima dia untuk les privat bahasa Inggris dengan saya. Atau andai saja ada temannya yang perempuan atau laki-laki juga les kelompok bahasa Inggris dengan saya. Saya pasti akan terima. Dengan catatan lesnya itu bukan privat, tetapi kelompok. Dan dalam kelompok tersebut ada yang laki-laki selain saya sebagai gurunya. Kalau privat nanti kan saya dan dia saja dong. Jangan bahaya itu. Karena tidak bisa menghindari interaksi dengan dia saat mengajar kan. 
        Saya tidak tahu keputusan saya ini baik atau jahat. Yang saya tahu saat itu adalah tidak ada keputusan baik atau jahat manakala seseorang itu tengah melindungi sesuatu yang berharga pada dirinya. Sesuatu yang berharga tersebut adalah kehormatan saya. Jelas ini sebuah penghinaan bagi saya ada gadis SMA yang mau les privat bahasa Inggris dengan saya. Tetapi saya maklumi itu dan berkata baik-baik dan sopan sekali kepada sang ibu tersebut. Akhirnya saya menerima anaknya yang masih SD untuk les bahasa Inggris dengan saya. Tetapi dia tidak les privat melainkan les kelompok. Tarif yang jadi persoalan utama disini. Ya saya sampai saat ini belum ngajar les privat perempuan sekalipun dia masih SD. Belum pernah sampai saat ini. 
        Sampai kapanpun saya juga keputusan saya akan tetap untuk menolak gadis-gadis baik SMP maupun SMA yang mau les privat dengan saya. Bahkan jauh sebelum saya ngajar les, saya sudah menanamkan niat untuk tidak ngajar les privat pada jenjang SMP dan SMA. Alasannya jelas yakni untuk berjaga-jaga dan menjaga kehormatan saja. Tetapi tetap ya, ada rasa iba itu pasti karena saya manusia yang juga diberi hati.  Tetapi bagaimana? Itu sudah prinsip saya. Dan itu baik di mata saya. Ya bawa santai saja, mau orang lain berkata saya sombong atau semacamnya. Tetapi sampai saat ini belum ada yang berkata demikian. 
        Hingga sekarang saya hanya menerima anak dari ibu tersebut yang masih kelas 5 SD untuk les bahasa Inggris dengan saya. Tetapi lesnya kelompok. Satu kelompok maksimal terdiri dari lima anak.  Nama anak dari ibu tersebut adalah Maura. Di sekolah saya juga menjadi guru/wali kelasnya. 
       
        

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?