Bertemu Alien di Warung: Terjebak Dalam Sebuah Percakapan Kosong
Pagi tadi, saya berangkat ke sekolah tanpa membawa bekal. Itu dikarenakan ibu saya tidak bisa menyiapkannya lantaran akan mengantarkan kakek saya kontrol ke dokter. Ibu saya menyarankan supaya saya beli di kantin sekolah. Sebagai orang yang berposisi sebagai guru, jujur saya malu jika harus beli makan di sekolah. Kalau ditanya kenapa, saya juga tidak tahu. Satu alasan yang bisa diterima akal saya adalah belum pernah sama sekali beli makan di sekolah. Karena selama mengajar di sekolah, saya selalu membawa bekal dari rumah.
Sebetulnya kurang pas kalau saya sebut kantin sekolah ya, lebih tepatnya orang yang jualan nasi itu istrinya petugas di sekolah kami. Rumahnya berada persis di dalam area sekolah. Hanya saja letaknya di belakang sendiri/ sembunyi. Saya saja baru tahu kalau beliau ternyata jualan nasi, jujur. Karena tidak tahu tadi, saya pernah membeli makan di sebuah warung yang bisa dikatakan makanannya enak dan tempatnya bersih begitu. Lokasinya berada di depan sekolah persis. Sewaktu di rumah, ketika ditawari untuk beli nasi di kantin atau Bu Nyoto (nama panggilan orang yang jual nasi tersebut), saya sudah mendapat gambaran mau beli di warung depan sekolah tersebut.
Setelah jam istirahat, tepat pukul 09:30, saya masih berada di kelas 5B. Setelah itu ke kelas 5A untuk memulangkan anak-anak. Kemudian di kelas 5B kembali. Kira-kira sekitar pukul 09:40, saya memiliki waktu senggang sebelum ingat bahwa saya ada jam ngajar di kelas rendah pada pukul 09:30. Setelah saya hubungi guru kelasnya ternyata saya diminta ngajar jam 10:30. Mendengar itu saya tenang dan kemudian menuju kantin sekolah. Karena memang lapar sekali saya saat itu.
Sesampainya di sana, saya bertemu dengan dua anak kelas 6A. Afgan dan siapa begitu lupa saya. Mereka tengah membeli es. Selang beberapa saat, saya mendengar dari Afgan bahwa nasinya sudah habis terjual. Afgan awalnya tanya pada saya, saya kemari mau beli apa begitu. Saya jawab "pak Galuh mau cari nasi". Saya masih nunggu Bu Nyoto keluar dari dalam rumah. Kok lama ya batin saya. Kemudian ada lagi murid perempuan namanya Calya, Cherril, sama satunya lagi lupa saya. Mereka tanya-tanya sudah saya kemari mau apa. Karena di mata mereka guru mampir ke rumah Bu Nyoto itu merupakan sebuah pemandangan langka. Mungkin begitu, karena tampak betul dari wajah mereka keheranan sekali saat melihat saya berada di kantin sekolah, mereka menyebutnya kantin sekolah. Bagi saya sih bukan kantin sekolah, tetapi rumah Bu Nyoto gitu saja. Karena tidak tampak seperti kantin sama sekali. Bu Nyoto menjadikan tempat tinggalnya menjadi kantin sekolah sebagai peluang usaha saja di tengah pandemi ini. Tidak lama setelah itu, saya pergi meninggalkan kantin sekolah dan menuju ke warung depan sekolah. Masih jadi misteri bagi saya, kalau ditanya perempuan walaupun mereka itu murid saya sendiri, ada rasa malu dalam diri saya dan ingin cepat-cepat mengakhiri sebuah percakapan.
Begitu saya sampai di depan sekolah, didapati bahwa warung depan sekolah ternyata tutup. Batin saya "kok nutup ya?" Saya lihat di sepanjang jalan ternyata ada warung kecil di sebelah selatan yang buka. Warung tersebut adalah warung yang pernah saya datangi sebelumnya dan didapati bahwa penjualnya tidak jujur. Sempat mengurungkan niat, tetapi karena perut lapar ya sudah tanpa pikir panjang saya coba mendatangi warung tersebut kembali. Ya nyabrang jalan dulu saya.
Sesampainya di warung tersebut, tak seorang pun pembeli selain saya. "Pesan nasi satu makan sini pak" kata saya. Saya tunggu kok lama sekali ya. Saya tidak tahu jam berapa sudah saat itu karena saya sengaja tidak membawa hp. Untuk apa coba bawa hp ke warung? Setelah saya tanya ke penjualnya, ternyata nasinya masih belum masak. Karena itu, menunggulah saya sekitar beberapa menit. Panas lagi di dalam warung itu ya.
Beberapa saat kemudian, ada bapak-bapak muda lah, sebut saja alien. Alien ini pesan kopi di warung. Saya tanya sekarang jam berapa sambil menggunakan bahasa Jawa kromo. Mengetahui saya tanya begitu? Alien itu tanya saya kerja dimana. Saya diam, yang menjawab adalah penjual di warung tersebut. Pertanyaan dari alien itu memprovokasi sekali. Pertama tanya magang ya? Sudah S2? Begitu alien itu mendapat jawaban dari penjual warung. Alien kembali bertanya tempat tinggal saya, berapa lama saya ngajar. Saya jawab dari bulan September. Dapat empat bulan kata alien itu. Harusnya kan saya ngajar lebih dari empat bulan, terhitung hingga Maret. Ada beberapa pertanyaan yang menjerumuskan dan cenderung memprovokasi saya. Saya tidak tahu apa maunya alien itu. Saya tetap diam dan sabar. Mungkin dia heran ada guru makan di warung kecil begitu. Ada kesan dia menunjukkan bahwa dia lebih pandai dari saya. Amat tampak sekali dari segi bahasa yang digunakan dan gaya bicaranya.
Sampai ke pertanyaan "kok telat makannya?" Saya jawab saya masih ngurusi anak-anak yang dapat PIP. Selain itu saya masih kebingungan cari nasi di kantin sekolah. Tetapi saya tidak berkata demikian karena khawatir menyinggung perasaan penjual warung. Kesannya saya datang kesana lantaran kantin sekolah nasinya sudah habis.
Alien itu tanya PIP itu apa sih? Saya malas mau menjawab karena saya lapar sekali. Tapi karena saya gak enak dan merasa kasihan akhirnya saya jawab. Wah tampak jelas alien ini bertanya tidak didasari rasa ingin tahu tetapi lebih mengetes saya saja. Saya benar-benar merasa direndahkan di dalam obrolan itu. Dia bertanya saya jawab, tapi dia bantah dan ciptakan dalih sendiri. Alangkah lebih baik, sebelum bertanya kumpulkan dulu informasi yang ingin ditanya dengan melihat informasi di google atau media cetak. Saya mau berkata kepada alien itu untuk searching sendiri apa yang dimaksud dengan PIP. Tetapi ya sudahlah karena rasa kasihan itu tadi, saya jawab pertanyaan alien itu.
Saya terangkan PIP itu apa, sasarannya siapa, berapa persen anak yang dapat di kelas saya, dll. Begitu sampai ke persyaratan bahwa untuk menerima PIP kita harus menyertakan bukti tidak mampu seperti surat keterangan tidak mampu dari RT/RW. Alien gak terima dengan itu dan membantah tidak perlu kesana. Saya tegaskan beberapa kali itu hanya salah satu persyaratan dari banyaknya persyaratan. Tapi dia tidak mau menerima itu. Dia berkata gaji dia di bawah UMR tetapi anaknya tidak kunjung dapat PIP hingga SMK. Saya terangkan dengan pelan-pelan seorang siswa tidak berhak menerima PIP jikalau dia berada di keluarga mampu atau gaji ortu perbulannya melebihi syarat nominal yang sudah ditentukan. Tapi si alien satu ini muter-muter saja sampai membuat orang emosi. Bahkan penjual di warung juga ikut emosi. Tapi beliau tidak bisa menengahi. Ya bingung saja saya, karena si alien tidak niat bertanya tetapi cenderung ingin adu ilmu dan bantahan saja. Kan repot kalau sudah begitu?
Saya diapa-apakan tetap akan menjelaskan pelan-pelan PIP itu apa. Tetapi alien tidak tahu cara berbicara yang baik, diskusi sehat bagaimana dia tidak tahu. Gaya bahasanya itu memprovokasi sekali. Benar, kesannya menjatuhkan saya saja. Dia tidak suka dengan saya sedari awal saya lihat dari bola matanya. Bertanya itu kan ada caranya yang baik dan enak didengar. Jadi penjawab enak begitu. Saya itu jujur emosi sekali. Alien itu memperlakukan saya seperti orang bodoh saja. Sampai nasi di piring itu tidak sempat saya makan. Saya bingung dengan pertanyaan alien itu. Saya ulangi berkali-kali dan pelan-pelan tetapi dia tidak terima. Dia bawa hp. Googling sendiri tentang PIP kan bisa. Tapi saya tidak enak, karena itu saya jelaskan pelan-pelan. Pelan sekali waktu itu. Astaghfirullah sudah pelan itu. Pertanyaan dia sudah saya jawab, ditanyakan lagi ke saya. Saya jadi berpikir kembali alien ini waras tidak ya? Nah, penjual nasi sempat bermain kode mata dengan saya yang mana saya sedikit paham arti itu. Artinya adalah "alien ini memang begitu dari dulu orangnya, sudah maklumi dan sabar saja, memang agak stress dia kalau diajak bicara"
Karena saya kesal dan geram, saat dia tanya lagi, saya jawab tidak tahu saja. Karena jam 10:00 saya harus ngajar di kelas. Nasi belum dimakan karena ada alien tanya ini. Tetapi tanyanya tidak benar. Dia sengaja menjebak saya saja. Dia bertanya demikian karena dia menganggap saya tidak layak menjadi guru. Ada jelas rasa tidak senang dari raut wajahnya terhadap saya. Padahal saya tidak berbuat salah apa-apa. Dia pun juga tidak kenal saya. Batin saya kok ada orang seperti ini ya. Sakit hati saya waktu itu. Sudah saya terangkan berkali-kali masih tanya saja. Kualitas pertanyaannya jelek sekali pokoknya. Orang masih menjelaskan, dia potong dengan intonasi tidak setuju dengan jawaban saya. Padahal saya jawab sesuai sumber yang ada. Dan bahasa yang saya gunakan tidak tinggi begitu. Baru pertama kali saya bertemu dengan orang seperti itu. Saya datang ke warung mau cari makan bukan cari masalah. Itu yang selalu saya ingat. Nah, daripada panjang, saya makan saja nasinya. Begitu alien tanya, ya saya jawab saja tidak tahu.
Dia mengaku anaknya tidak pernah menerima PIP. Artinya dia pernah mendengar PIP sebelumnya. Tetapi kenapa dia tidak tahu PIP itu apa. Ayo gimana itu? Terkesan dia jebak pertanyaan ke saya kan? Membuat saya kesal dengan sanggahan tidak jelas dari dia. Sudah saya jawab masih saja ngeyel. Tidak bagus juga bahasanya dan terkesan merendahkan lawan bicaranya. Saya sudah jawab apa yang dia utarakan. Tetapi cara atau teknik penggunaan bahasa yang dia gunakan masih jauh dari kata baik. Belum selesai saya bicara, dia ganti pertanyaan ke B. Padahal pertanyaan A masih belum terjawab. Saya coba jawab pertanyaan A tetapi alien bertanya B. Saya jawab B, dia tanya C. Setelah saya jawab C, dia kembali tanya A. Kesal saya jujur ini.
Setelah makan di warung itu, saya coba menenangkan hati saya. Saya beristighfar berkali-kali. Sambil mengatakan pada diri saya "sabar sabar ya sabar bismillah sabar". Setelah saya bayar ke penjual, saya pamit ke penjual dan si alien tersebut. Ya walaupun alien itu sikapnya menyebalkan tetapi saya hargai dia layaknya manusia. Saya tetap hormati dia layaknya orang tua. Tidak etis bagi saya, karena alien tersebut membuat saya kesal lantas membuat sikap saya jadi buruk terhadap dia, oh bukan saya kalau seperti itu. Saya berprinsip biarlah orang berbuat buruk terhadap saya, asal tidak membuat saya kembali bersikap buruk sama halnya dia. Artinya ada sikap balas dendam disini. Karena kamu bersikap buruk terhadap saya, saya harus bersikap buruk juga terhadapmu. Oh jangan seperti itu tidak baik itu. Jangan karena keburukan seseorang, kamu mengubah identitasmu yang baik jadi buruk terhadap orang lain. Saya tidak suka seperti itu. A tidak pernah nyapa kepada saya misalnya, keesokannya saya balas tidak sapa dia juga. Ya jangan lah begitu.
Sampai di kelas, saya curhat kepada murid-murid saya. Sampai tidak terasa waktu telah berjalan setengah jam. Ada banyak murid saya yang ikut emosi setalah mendengar cerita saya. Saya pun juga emosi tapi lama-lama kalau saya resapi dan mengingat kembali ternyata lucu sekali hidup ini. Saya ingat kutipan dari Nasruddin Hodja "hidup ini lucu, ngapain kamu stress? Tertawalah". Saya tertawa sambil sedikit emosi saat menceritakan pengalaman ini kepada anak didik saya. Ya karena bapak yang saya sebut sebagai alien ini tidak mengerti-mengerti bahasa saya. Karena itu tidak salah bagi saya merepresentasikannya dalam tulisan ini sebagai alien. Alien itu kan gak ngerti bahasa manusia? Kalau direpresentasikan sebagai binantang kan nanti kesannya terlalu keterlaluan. Jadi saya sebut sebagai alien saja.
Di sekolah pun, begitu saya bertemu rekan-rekan sesama guru, saya menceritakan pengalaman ini. Dan tidak sedikit dari mereka yang tertawa. Karena saya juga akting sama halnya dengan alien itu. Dari cara bicaranya, saya tiru juga. Sehingga rekan saya menangkap itu sebagai bahan tertawaan. Cara bicaranya itu loh yang seolah-olah sok pandai yang membuat saya tertawa. Tetapi pilihan katanya ngarang semua. Ya karena itu saya berpikir alien ini waras atau tidak. Akhirnya saya tahu dari penjual di warung lewat kode mata tadi bahwa alien tersebut ternyata memang tidak waras ya sudah. Saya tidak akan meladeninya lagi di lain waktu karena baru tahu kalau dia tidak waras. Awalnya saya kan tidak tahu. Maka pengalaman ini saya jadikan pelajaran.
Sesampainya saya di rumah, saya kembali curhat dengan ibu saya. Ibu saya hanya berkata "ya sabar saja sudah, itu ujian kamu. Siapa tahu setelah ujian itu Allah melapangkan rezekimu dan mengangkat derajatmu". Benar juga kata ibu saya. Jadi kita harus menilainya dengan pemikiran yang positif saja. Rasa kesal ada, emosi itu pasti ada dalam diri saya setelah merasa direndahkan oleh alien itu. Tapi setelah mendengar nasehat dari ibu saya, saya jadi berpikir semua peristiwa yang menimpa kita it kembali pada cara kita mengambil sikap. Kalau kita menganggapnya sebagai hal biasa atau positif, maka saya rasa perasaan kesal, emosi, stress atau semacamnya tidak akan pernah muncul dari dalam diri kita.
Pengalaman ini ditulis sebelum bulan Ramadhan. Tepatnya pada bulan Maret lalu.