Guru adalah Pekerjaan yang Rawan: Calon Guru Tolong Berhati-hatilah (Part 1)
Kemarin, saya mengetahui bahwa di kelas saya ada dua anak yang berulang tahun. Mengetahui hal itu saya langsung masuk ke kelas dan mengucapkan selamat ultah dan tidak lupa mendoakan keduanya. Tapi disini, sebagai wali kelas saya sadar ternyata apa yang saya lakukan ini datar sekali dan tidak ada kesan. Hanya mengucapkan selamat ultah dan baca doa sudah selesai. Jujur saya ingin ada yang baru dan ada kesan-kesan disini sehingga bisa diingat oleh teman-temannya di kemudian hari. Akhirnya saya membuat rencana dengan teman-teman sekelas. Saya suruh keluar dulu dua anak yang ultah tersebut. Saya suruh istirahat di luar dulu.
Malangnya, ketika kami mau memesan kue tart ternyata tidak bisa dipesan lewat aplikasi. Saya coba tanya-tanya dan cari jalan keluarnya ke anak-anak. Ada murid saya namanya Rania mencoba telpon ibunya. Saya tahu memang ibunya Rania ini jual kue, tapi setahu saya bukan kue tart. Di dalam kelas yang ramai, Rania asik telpon dengan ibunya. Rania saya tanya juga bingung apakah ibunya jual kue tart atau tidak saat dia menelpon ibunya. Rania terus berkata kalau ibunya Tirta jual kue tart. Akhirnya saya coba chat ibunya Tirta dan ternyata benar ibunya Tirta jual kue tart.
Malangnya lagi, saya harus dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama mau pesan sekarang atau besok. Setelah melalui pertimbangan, akhirnya saya memesan kue tartnya besok saja. Supaya acara ultah dua anak tersebut lebih siap lagi dan tentu berkesan. Yang ada di bayangan saya "aduh tipis dompetku ini". Karena saya pesan dua kue tart dan 30 mini tart untuk acara besok. Tetapi khusus yang mini tart ini saya meminta anak-anak untuk urunan tiga ribu rupiah untuk beli mini tartnya. Tetapi di akhir acara ultah tersebut, saya kembalikan lagi uang urunan anak-anak tersebut. Karena saya baru sadar bahwa pendidik tidak diperbolehkan untuk meminta iuran pada anak-anak.
Saya coba tanya ke Ica, untuk tanya sisa uang denda ada berapa. Saya minta untuk dibuat beli bucket begitu. Karena kurang ramai kalau hanya kue tart saja menurut saya. Tadinya saya minta tolong ke Ica dan teman sebangkunya, Lala. Tidak lama setelah itu, saya pergi meninggalkan kelas dan ngajar di kelas lain.Di luar kelas, Lala dan Ica menghampiri saya diikuti dengan Rania. Mereka tanya-tanya kepada saya uangnya mau dibuat beli apa. Mereka meminta untuk buat beli balon. Saya yang tidak setuju, lebih baik dibuat beli bucket saja.
Sore, saya dichat Ica apakah boleh mengambil uang urunan mini tart. Saya bilang boleh sudah. Nah, dari sini saya tahu bahwa Ica dan Lala ternyata tidak membeli bucket tetapi malah membuat bucket. Tampak mereka membuat bucket ditemani oleh Rania dan Qeisya. Saya bingung kok anak-anak buat begitu. Ini kan malah merepoti mereka sendiri. Mereka yang mau beli katanya jauh jaraknya. Jadi mereka memutuskan buat sendiri. Itu pun mereka tidak bilang dulu ke saya. Ya memang susah jadi wali kelas ini.
Sore, saya dichat ibunya Rania. Dari bahasa chatnya sepertinya ibunya marah dengan saya. Karena ibunya mengklaim bahwa saya lah yang menyuruh Rania untuk buat kado. Padahal itu bukan kado tetapi bucket. Capek saya mau menjelaskan, di sisi lain saya juga memang jatuh sakit. Ibunya Rania chat saya karena Rania belum pulang dan tidak ngaji. Kepikiran saya disini dan saya benar-benar merasa bersalah. Tapi jujur, saya tidak ingat kalau saya pernah menyuruh Rania membuat kado. Diadu domba saya ini. Memang benar, Rania ini anaknya kalau di kelas kepoan dan selalu ingin diperhatikan. Sekilas saya lihat dia kurang perhatian dan kasih sayang dari ortunya.
Membaca chat tersebut, saya sudah tahu arahnya kemana. Arahnya adalah memprovokasi saya sebagai gurunya. Sedikit dilema mengapa ibunya Rania menanyakannya terlambat? Mengapa tidak ditanyakan ke saya sebelum mengizinkan Rania pergi membuat bucket bersama teman-temannya? Mengapa tidak tanya sejak awal begitu? Begitu tahu anaknya tidak pulang malah tanya saya. Kan terlambat ini namanya? Atau kalau perlu kenapa tidak tanya anaknya langsung? Atau tanya Ica atau Lala bisa? Dan yang paling bisa adalah kalau anak ada jadwal ngaji kenapa tidak dijemput sama ibunya Rania langsung? Malah dibiarkan begitu saja sampai pulang jam setengah lima. Saya merasa terpojok dan terprovokatif disini. Ada kesan menyalahkan saya disini. Tetapi saya masih bisa terima itu dan mengakui bahwa saya salah. Saya salah karena saya teledor begitu.
Rania pulang diantarkan ibunya Qeisya di rumah Rania. Ibunya Qeisya tidak repot dan tanya-tanya ini ke saya. Tidak komplain atau chat kepada saya, tidak ada. Hanya ibunya Rania saja. Yang saya tidak habis pikir kenapa kalau anak ada jadwal ngaji dibiarkan pergi begitu saja? Dan kenapa tidak tanya saya dulu sebelum mengizinkan Rania pergi dari rumah? Klarifikasi lah dulu apakah saya menyuruh anak-anak membuat kado? Saya hanya meminta Ica dan Lala beli buket awalnya. Tidak tahu saya kalau Rania dan Qeisya ikut-ikutan. Seandainya ibunya Rania tanya awal-awal sebelum mengizinkan Rania pergi, saya kan bisa memberikan klarifikasi. Atau meminta supaya Rania tidak diizinkan untuk pergi. Karena yang bertugas membeli bucket sudah saya tunjuk orangnya. Walaupun pada akhirnya tidak jadi beli bucket. Nah, Rania ini tugasnya adalah membawa lilin dan korek, bukan membeli bucket.
Malam harinya, saya membuat grup yang isinya anak-anak kelas 5A semua. Disana saya menyusun prosedur dan rencana kejutan ultah untuk Tarra dan Nada. Disitu saya juga menyusun prank dan drama untuk mereka. Saya tentu meminta kerja sama dari teman-teman sekelasnya. Karena ini sesuai dengan tujuan awal saya, yakni menciptakan kesan. Saya tidak ingin ultah ini hanya sekedar mengucapkan selamat ultah dan membacakan doa semata. Saya ingin ada sesuatu yang dapat dikenang seperti itu.
Keesokan harinya, semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana. Walaupun ada beberapa kendala. Di antaranya, Tarra ternyata berangkat pagi hari, dan Tarra tahu teman-temannya membawa buket. Awalnya saya takut Tarra curiga. Tetapi saya coba hancurkan kecurigaan itu dengan cara saya. Singkat cerita, semua rangkaian acara ultah telah selesai. Semua anak-anak di kelas juga ikut senang. Diketahui Tarra nangis saat itu.
Kejadian yang tak terduga-duga ternyata muncul. Saya mendapat sebuah bentuk intimidasi dan provokasi dari ibunya Rania di grup wa. Tetapi saya abaikan saja dan saya jadikan ini pelajaran. Saya anggap ini sebagai terjadinya siklus dari adanya prinsip manajemen. Yaitu POACE (Planning, Organizing, Actuating. Controlling, dan Evaluating). Saya jadikan peristiwa ini sebagai bahan evaluasi saja supaya saya lebih berhati-hati lagi ke depan.
Itu adalah status wa dari ibunya Rania. Saya bingung dengan kejadian ini. Kok tega beliau berbicara seperti itu. Bagi saya ya, kebahagiaan anak-anak itu yang utama. Mau murid saya nakal atau apa, saya tetap mengutamakan kebahagiaan mereka. Kasihan kalau belajar terus, tentu otak mereka perlu cooling down. Sekali-kali mengadakan ultah begitu di kelas, mengingat itu adalah ultah pertama kali yang pernah diadakan di kelas. Saya coba kesampingkan jam ngajar dan ego saya demi kebahagiaan murid-murid saya.
Saya sudah siap dengan resiko negatif yang menunggu saya di depan sana. Karena itu, begitu tahu ada bentuk intimidasi atau provokasi dalam bentuk status wa itu saya siap. Saya sudah menyiapkan diri untuk menanggung resiko kebencian dari orang-orang. Hanya saja saya masih kepikiran kok ada ya manusia model seperti ibunya Rania? Emosi kok dilampiaskan di grup wa?
Ini bukan kejadian pertama kali saya tahu beliau suka bermain sarkasme di status wa. Ini kejadian berkali-kali sudah. Tapi saya tetap diam saja, percuma juga diladeni orang seperti itu. Kok ada begitu loh orang yang seperti itu? Kenapa harus menyindir lewat status begitu? Langsung temui orang yang bersangkutan kan beres.
Dilihat dari bahasanya juga tidak baik ibunya Rania itu. Pembaca pasti bisa menilainya sendiri. Masa anak ultah dipojokkan? Belajarlah memahami perasaan orang lain begitu loh. Jangan salahkan anak yang ultah. Bahasa "gara-gara ada yang ultah" secara tidak langsung kan menyudutkan mereka yang ultah? "Tidak penting dan tidak usah diadakan" katanya. Dia siapa begitu loh? Kok enteng sekali bicara seperti itu tanpa berpikir perasaan mereka yang ultah. Kualitas pemikirannya jelek sekali. Saya masih bingung dengan orang itu. Dulu pernah ada kejadian Rania kabur dari rumah, bisa-bisanya ngadu chat saya. Itu kan bukan urusan saya. Tetapi tetap saya bersikap baik kepada beliau. Saya nasehati Rania keesokan harinya.
Dulu pernah, ibunya kirim status wa. Isinya kurang lebih "mosok kerja kelompok sing kerjo Rania tok". Sebelumnya, saya sudah minta Rania untuk membawa pekerjaannya di sekolah dan dikerjakan bersama teman sekelompoknya. Tetapi Rania sengaja tidak membawanya dengan alasan hanya dia yang tahu bagaimana cara mewarnainya dan kalau yang lain ikut mewarnai takut jelek hasilnya. Ya sudah kalau begitu, semua kerja kelompok di kelas selain kelompoknya Rania. Bingung saya, padahal saya minta pekerjaan kelompok di bawa ke sekolah semua. Ranianya sengaja tidak membawa. Takut jelek hasilnya kalau temannya ikut mengerjakan.
Dari status wa di atas, saya memang meminta Ica kalau bisa datang pagi-pagi. Kemudian bucketnya ditaruh di perpustakaan. Saya tidak tahu ternyata Rania juga datang pagi. Siapa yang nyuruh dia datang pagi saya juga tidak tahu. Apalagi lupa dia bawa lilinnya.
Annisa itu Ica. Ica nama panggilannya. Bisa dilihat saya nyuruh Ica saja. Kenapa Rania ikut datang pagi saya tidak tahu. Melihat status ibunya yang seperti itu. Saya hanya bisa diam saja. Anak sama ibu sama-sama ribetnya soalnya. Kalau saya ladeni jadi tambah ribet kan? Karena itu saya memilih diam saja. Ini lah sekelumit peristiwa yang saya alami. Rawan sekali menjadi guru itu. Musti ada saa yang kontra. Semoga pembaca dapat menjadikannya sebagai pelajaran dan menjadi lebih bijak lagi. Hal itu juga berlaku sama kepada penulis.