Menguak Hakekat: Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi Pacaran

       Tulisan ini berangkat dari sebuah keraguan penulis saja. Di usia 22 tahun lalu, sempat secara tidak sadar terlintas, pacaran itu apa ya? Apakah mungkin saya bisa pacaran? Nanti kalau sudah berpacaran, apa yang harus saya lakukan? Dan masih banyak lagi. Tentu, ketidaksadaran tersebut juga didorong oleh pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang di sekitar saya sebelumnya. Dosen saya contohnya, pernah bertanya "sudah punya pacar belum? Sudah waktunya loh punya pacar, masa jomblo saja, pacarmu orang mana?, Saya kasih E ya kalau tidak punya pacar" dan lain sebagainya. Bahkan saya pernah itu dijodoh-jodohkan oleh dosen saya dengan seseorang karena entah mereka kasihan dengan saya atau bagaimana saya tidak tahu.  Tidak dapat dipungkiri memang, di usia segitu pandangan orang lain terhadap saya kesannya mengarah pada apakah saya sudah punya pacar. 
        Dari keraguan-keraguan kecil ini lah membuat saya tertarik untuk mencari tahu tentang hakekat pacaran itu seperti apa. Mengingat pelajaran soal pacaran tidak pernah diajarkan di bangku sekolah maupun di perkuliahan. Selain itu juga, saya sudah dewasa dan masih belum sama sekali mengetahui atau pun merasakan apa itu yang namanya pacaran. Dengan kata lain, faktor usia juga berbicara dalam mendorong penulis untuk mencari tahu hakekat pacaran. Karena selama duduk di bangku sekolah, penulis sama sekali tidak ada keinginan untuk mengetahui apa itu pacaran. Keinginan belajar untuk ingin tahu hakekat pacaran itu muncul saat penulis berada pada semester akhir di bangku perkuliahan. Jadi bisa dimengerti lah sebelumnya bahwa pengetahuan penulis tentang apa itu hakekat pacaran nol besar sekali. Karena itu di tulisan ini, penulis mencoba untuk belajar dan mencari tahu hakekat pacaran dengan menggunakan pendekatan filsafat. Karena bagi penulis, hanya dengan berfilsafatlah penulis bisa menuju kepada sebuah hakekat. 

Epistemologi Pacaran
       Epistemologi adalah usaha untuk mengetahui sumber atau asal usul sebuah pengetahuan. Dalam tulisan ini, pengetahuan yang ingin diketahui adalah pengetahuan tentang apa itu pacaran. Apa sih itu pacar? Apa sih itu pacaran? Bagaimana awal mulanya ada pacar dan pacaran? Pacaran itu makhluk apa sih? Kenapa orang-orang melakukan pacaran? Apa motif di belakangnya? Tujuan pacaran itu apa ya? Manfaat apa yang hendak dicapai dari pacaran tersebut? 
       Apakah anda pernah mendengar daun pacar air? Mungkin daun tersebut banyak di dekat rumah anda, bukan? Di dekat rumah penulis juga banyak ditemukan daun pacar tersebut.  Dan apakah anda pernah mendengar pewarna kuku yang disebut pacar? Ketika penulis masih duduk di bangku SD, penulis pernah membeli pewarna kuku yang disebut pacar tersebut. Harganya murah sekali, berbeda dengan kutek. Penulis kira pembaca juga tahu. Untuk memperjelas penulis sertakan gambar daun pacar air dan pewarna kuku yang disebut pacar dibawah ini:

                     Gambar 1. Daun Pacar
            Gambar 2. Gambar Pacar/Kutek
      Berdasarkan gambar di atas, kita bisa melihat bahwasanya asal muasal kata pacar adalah dari dua benda tersebut. Anda bisa melihatnya sendiri, pada gambar kedua, ada tulisan pacar dengan jelas sekali. Lalu penulis disini bertanya-tanya bagaimana bisa kata yang semula menjadi kata benda suatu pewarna kuku dan daun, menjadi kata kerja/aktifitas. Sebentar, dalam hal ini kita tidak boleh jumping into conclusion dahulu.  Yang penulis ragukan adalah mengapa kata pacar digunakan untuk merepresentasikan kata benda (daun pacar air dan pewarna kuku) dan hubungan cinta kasih di luar nikah? 
        Di Jawa kita juga mengenal kata benda dan kata kerja. Kata benda untuk jadi kata kerja umumnya mendapat imbuhan -an. Misalnya, sarung adalah kata benda. Ketika kata benda tersebut dijadikan kata kerja berarti menjadi sarung-an (suffix -an). Artinya sarung tersebut digunakan oleh penggunanya. Ada contoh lain misalnya topi menjadi topian, sandal menjadi sandalan, klambi (baju) menjadi klambian, Jum'at menjadi Jum'atan (pergi sholat Jum'at di masjid) dan seterusnya. Nah, pacar pun juga demikian. Ketika kita memakainya di kuku, kita bisa menyebutnya bahwa kita sedang pacaran. 
        Lalu pertanyaannya adalah kenapa makna pacar itu berubah drastis maknanya? Pacar diartikan sebagai kekasih. Dan pacaran adalah sebuah aktifitas yang dilakukan oleh sepasang kekasih tersebut. Artinya disini terjadi distorsi (penyelewengan) pada makna pacar yang tidak relevan lagi dengan asal usulnya. Agar pembaca tidak bingung, penulis memberikan referensi tentang asal usul pacar atau pacaran dibawah ini. 
       Dahulu, di masyarakat Melayu khususnya, ada budaya memakaikan pacar air (masyarakat Melayu biasa menyebutnya inai) pada dua orang muda mudi yang ‘ketahuan’ saling tertarik oleh keluarganya. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya. Nah, tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis.
        Nah, jika si gadis menyambut pantun sang pemuda dan keduanya ingin meneruskan hubungan mereka maka orang tua keduanya memberikan pacar air di tangan keduanya. Inai tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah memiliki hubungan. Nah, ini yang sebenarnya sangat bertanggung jawab. Inai yang ada di tangan akan hilang selama tiga bulan dan selama waktu itulah sang pemuda mempersiapkan segala kebutuhan untuk melamar sang gadis. Jika sampai inai di tangan mereka hilang dan belum juga ada lamaran atau konfirmasi lebih lanjut maka si gadis berhak untuk memutuskan hubungan tersebut dan menerima pinangan lelaki lain. Dan jangan bayangkan selama tiga bulan tersebut mereka berpacaran seperti pacarannya anak zaman sekarang. Mereka sangat terjaga sebelum pernikahan terjadi.
        Berarti kata pacar itu sendiri sebenarnya berasal dari daun pacar atau pacar air yang menandakan bahwa pemuda/i tersebut sudah ada ikatan, tinggal nunggu waktu.
Terus sekarang artinya jadi semakin luas diikuti dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi. (http://ayfachry.wordpress.com/2011/04/03/asal-mula-kata-pacar/)
       Ada pun referensi lain yang disampaikan oleh Ust Adi Hidayat LC.MA sebagai berikut: (https://youtu.be/71pR3F5wr_E.) Referensi ini sangat mudah dimengerti menurut penulis. Dan masih banyak referensi lain berbentuk tulisan seperti: (https://www.winnetnews.com/post/asal-usul-kata-pacaran-wajib-tau-nih), (https://www.kompasiana.com/aditiakhadafi/asal-muasal-pacaran_54f5e0aba33311156f8b4584), (https://www.arifsae.com/2017/05/asal-kata-pacaran.html?m=1), dan masih banyak lagi, penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Kendati demikian, maksud dan isi dari berbagai sumber yang ada hampir sama. 
       Nah, dari referensi di atas, kita jadi tahu bahwa asal muasal pacaran tadinya digunakan sebagai makna/tanda simbolik saja. Digunakan sebagai makna simbolik bahwasanya terjadi sebuah ketertarikan antara lawan jenis. Karena itu, baik orang tua dari laki-laki dan perempuan memakaikan daun pacar kepada keduanya sebagai hasil ketertarikan tersebut. Ini adalah sebatas budaya saja. Tentu pacaran disini sangat berbeda ya dengan lamaran.  Yang perlu diketahui adalah pacaran tersebut awalnya sebuah budaya yang sehat dan tidak menentang norma di dalam masyarakat. Karena selama tiga bulan (batas waktu umur pacar) seorang laki-laki dan perempuan yang sama-sama tertarik, menjaga kehormatan dirinya. Artinya mereka tidak pernah jalan berdua, makan berdua, ke kamar mandi berdua, di dalam kamar berdua, apalagi sampai menyentuh fisik. Konsepnya sedikit mirip seperti ta'aruf, tetapi ta'aruf yang diselingi dengan budaya lokal. Dan yang perlu diingat adalah mereka yang berpacaran saat itu dalam kondisi siap ke jenjang pernikahan. Bukan sekedar main-main atau coba-coba saja demi kepuasan pribadi. Dan terakhir, selama tiga bulan (umur pacar), orang tua si perempuan memberikan edukasi pada anak perempuannya bagaimana cara menjadi seorang ibu yang baik, mengatur segala kebutuhan rumah tangga, mengajarkan bagaimana cara memasak yang enak, bagaimana tata krama kepada suami, mengatur uang pemasukan dan pengeluaran, dan masih banyak yang lain. 
       Disini, penulis mencoba untuk berspekulasi kenapa makna pacaran yang awalnya sebatas memakaikan daun pacar air ke lawan jenis yang sama-sama tertarik, menjadi sebuah aktifitas yang menyalahi norma agama dan masyarakat? Menurut pandangan penulis, terjadi penyelewengan dalam budaya ini. Bisa jadi saat itu kebutuhan akan daun pacar langka sekali. Atau bisa jadi daun pacar dijual dengan harga yang mahal saat itu. Sehingga banyak yang memutuskan tidak perlu menggunakan daun pacar karena sifatnya hanya simbolik atau penanda saja. Lagipula manakala kedua belah pihak sama-sama tertarik, kemungkinan besar akan sampai ke pelaminan. Akhirnya, daun pacar yang berfungsi sebagai tanda/simbol tadi lambat laun hilang tergerus zaman. "Tidak perlu menggunakan daun pacar sudah, itu sudah kuno, coba lihat itu, buktinya Dilan anaknya pak Mulyono tidak memakai daun pacar dulu dengan Milea anaknya pak Sukimin,  ya sampai saat ini nikah juga itu mereka berdua" misalnya. Nah akibatnya disini timbullah penyelewengan secara kontinuitas. 
       Penyelewengan itu kembali mengingatkan penulis akan peristiwa Kakbah. Awal mulanya orang datang ke Kakbah dalam rangka berhaji menggunakan ajaran yang benar dari Nabi Ibrahim. Namun seiring perkembangan zaman, banyak terjadi penyelewengan. Orang-orang datang haji sambil menjual dan membawa berhala. Banyak berhala yang diletakkan di sudut-sudut kakbah. Dan ini kan jauh menyimpang dari ajarannya nabi Ibrahim. 
       Contoh penyelewengan lain adalah ditemukannya bom atom oleh Einstein sebagai penemuan luar biasa. Namun sayangnya bom tersebut disalahgunakan di pentas perang dunia. Padahal Enstein menciptakan bom tersebut bukan untuk kepentingan perang dunia. 
       Apalagi? Di Athena, Yunani sana, pernah ada yang namanya kaum sofis yang dikenal sebagai kaum cendikiawan dengan tokohnya yang terkenal bernama Gorgias. Gorgias melahirkan banyak murid yang bijak seperti Hippias, Prodikos, dan Kritias. Awalnya memang, kaum sofis ini dikenal sebagai orang-orang yang bijak di tanah Athena. Ada beberapa sumber bacaan yang mengatakan bahwa arti kata sofis ini berasal dari kata sophia dan sphistes yang berarti seorang cendekiawan dan bijak. Namun mereka menyelewengkan kebijaksanaannya untuk mengelabuhi orang dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka menyebarkan ilmu dengan cara ngibul dan kemudian meminta bayaran yang pada akhirnya lah pemikiran mereka akan pengetahuan ditentang oleh seorang filsuf terkenal bernama Socrates. Lambat laun, arti dari kata sofis yang awalnya cerdik, bijak, menjadi pudar dan menjadi seorang ahli pikir yang menyesatkan. Modal bicara saja di depan publik tetapi apa yang dibicarakan tidak mengandung kebenaran. Meraka memang pandai berbicara, tetapi esensi dari apa yang dibicarakan tidak mengandung sebuah kebenaran. Anda bisa lihat sekarang arti sophis/sofis di kamus bahasa Inggris. Dan terbukti, artinya berubah drastis. 
                      Gambar 3. Arti Shofis
      Nah, hal di atas itu juga berlaku sama dengan kata pacar. Yang awalnya digunakan sebagai tanda simbolik. Yang berarti memiliki makna simbolik juga, bahwa disini terjadi ketertarikan antara lawan jenis sebelum menuju ke jenjang lamaran dan pernikahan. Sekarang berubah drastis menjadi sebuah aktifitas atau hubungan yang sangat amat menyalahi norma masyarakat dan agama. Pertanyaannya kenapa kalau hal itu menyalahi norma tetapi tidak ada masyarakat yang berani menegur? Karena pacar di era sekarang dianggap umum oleh mereka. Karena itu masyarakat tidak merasa perlu untuk menegur atau paling tidak menasehati orang yang sedang berpacaran untuk tidak berpacaran. 
      Penulis beri contoh yang mudah ya, saat bulan Ramadhan misalnya, tak satu pun orang yang berani makan secara terang-terangan di depan umum. Mengapa demikian? Mereka malu lah karena yang lain berpuasa, kok mereka tidak, kan begitu? Di bulan suci Ramadhan, perbandingan antara orang yang berpuasa dan tidak berpuasa kan jauh lebih banyak yang berpuasa. Nah, bisa dikatakan bahwa umumnya di bulan ramadhan, orang-orang berpuasa. Kalau pun ada warung-warung makan yang aktif di pagi hari atau siang hari, mereka pasti membuka dengan cara memberi kain pembatas sampai pinggang sehingga orang lain tidak ada yang lihat mereka sedang tidak berpuasa. Hal itu dilakukannya semata-mata untuk menghargai orang-orang yang berpuasa. Malu kalau orang lain yang berpuasa melihat mereka makan di warung, kan begitu? Coba saja kalau anda berani, makan di depan orang-orang yang sedang berpuasa, saya jamin anda akan ditegur.  Karena itu dianggap tidak menghargai orang yang berpuasa. Andai kata anda makan di depan orang yang tidak berpuasa, ya tidak akan ditegur, santai saja karena disana banyak yang tidak berpuasa dibandingkan yang berpuasa. Bisa ditangkap ya? 
         Saya belum pernah lihat anak muda pacaran di depan umum diusir oleh orang-orang sampai saat ini. Mengapa bisa demikian? Karena pacaran dianggap umum, dan itu membuat orang-orang tidak berani menegur. Coba bayangkan saja, anda sedang berpuasa, dan di sekitar anda banyak yang tidak berpuasa. Anda berani tegur? Mungkin berani iya, tetapi apakah teguran anda diterima oleh mereka, itu yang menjadi pertanyaan. Umumnya orang pasti berpikir "mau mereka berpuasa atau tidak itu urusan mereka, yang dosa mereka, mereka juga tahu mana baik dan buruk". Orang yang tidak berpuasa juga punya jawaban sebelum anda tegur "yang tidak berpuasa loh saya, yang dosa ya saya, ini urusan saya dengan Allah, kenapa kamu sewot, orang tua saya saja tidak peduli saya berpuasa atau tidak, orang tua saya juga membolehkan saya tidak berpuasa, anda itu siapa disini, orang tua saya juga bukan, urus saja diri anda sendiri, masih banyak kok disini yang tidak berpuasa, jangan sok suci anda dulu juga pernah tidak berpuasa" Dan itu yang terjadi saat ini kenapa orang tidak berani menegur orang yang sedang berpacaran di depan umum. 
       Ada pun hal yang tidak kalah menarik adalah terjadinya peleburan budaya yang disebut asimilasi dan akulturasi. Hal ini memungkinkan terjadinya penyelewengan atau perubahan budaya asli setempat. Selain itu, budaya barat juga turut ikut andil dalam proses penyelewengan budaya pacaran ini. Sekarang kita bisa lihat, bahwa gaya pacaran orang barat berbeda sekali dengan norma di lingkungan masyarakat kita. Maka muncullah yang namanya westernisasi dan sekularisme dalam hal ini. Yang mana peristiwa itu secara revolusinya merubah arti dari kata pacaran. Sama halnya dengan kaum Sofis di era Yunani kuno dulu. Awalnya bermakna cerdik, seiring berjalannya waktu artinya berubah menjadi orang-orang yang suka ngibul. 
       Kini, arti pacaran sangat melenceng jauh dengan asal usulnya. Pacaran dalam KBBI diartikan sebagai hubungan suka sama suka antara lawan jenis di luar nikah. Di Jawa, kami menyebut pacaran dengan istilah gendakan, dan di Madura disebut dengan ser-seran. Pacaran, gendakan, dan ser-seran kalau kita artikan, semuanya memiliki arti berbeda secara leksikal, tetapi dalam praktiknya sama. Namun, istilah yang paling populer disini sekarang adalah pacaran, yaitu aktivitas berbagi kasih dengan lawan jenis di luar pernikahan. Berapa lama berbagi kasihnya? Tiga bulan seperti umur pacar pada daun pacar? Ya ada yang satu hari, satu bulan, satu tahun, mungkin. Tidak jelas berapa lama berbagi kasihnya dalam pacaran ini. Mereka menyebutnya dengan istilah komitmen lucunya. 

Ontologi Pacaran
        Ontologi ini merupakan kajian filsafat yang membahas tentang hakekat keberadaan sesuatu. Pacaran itu ada gak? Apakah ada pacaran sama halnya dengan ada kursi? Kalau melihat dari epistemologinya, maka  pacaran itu tidak ada. Karena zaman sekarang, makna pacaran melenceng jauh dari asal usulnya. Seandainya makna pacar sekarang sama dengan asal usulnya, yakni sebagai makna simbolik saja. Maka dengan ini bisa dikatakan bahwa pacaran itu ada. Walaupun dalam prosesnya berbeda misalnya. Kalau dulu memberi pantun, sekarang memberikan rayuan atau menciptakan puisi atau lagu misalnya, tetap bisa dikatakan ada pacaran itu, toh pada akhirnya akan menerima pacar (pewarna kuku) di jari tangannya. Dan hal itu tidak menyimpang dari esensi dan eksistensi sesungguhnya. Apa pun modelnya dan bentuknya, seandainya pacaran tidak jauh dari asal usulnya, maka bisa dikatakan pacaran itu ada. Namun kini pacaran ini ada tetapi adanya tidak ada. Artinya secara visual kita dapat tahu bahwa pacaran itu ada dimana-mana. Kita bisa melihat ada orang pacaran duduk berdua, boncengan, bahkan tinggal satu rumah, dan segala macam. Namun itu tadi, hakekatnya tidak ada karena adanya pacaran tidak ada seperti pada epistemologinya. 
       Dari dulu, kursi diciptakan untuk digunakan manusia duduk. Tidak pernah ada kursi digunakan sebagai joran pancing ikan di laut, tidak ada itu. Apakah anda pernah lihat nelayan memancing ikan di laut menggunakan kursi sebagai jorannya? Tidak pernah kan? Apakah kita berani negur orang yang menggunakan kursi sebagai joran? Tidak ada karena sekarang ceritanya umum orang menggunakan kursi sebagai joran pancing. Karena ceritanya sekarang kursi bukan digunakan untuk tempat duduk lagi. Nah ini adalah sebuah analogi, dan memang itu yang terjadi sekarang dengan pokok persoalan kita yakni pacaran. 
       Contoh ontologi yang sudah umum digunakan dalam kehidupan kita yaitu meja. Dalam ontologi, meja menggunakan realitas tentang meja. Realitasnya adalah terdapat gambaran atau ide yang membuat kita mengenal sekaligus mengetahui sebuah meja. Tidak peduli berapa pun banyak model meja yang ada, tidak peduli berapa pun ukurannya, warnanya, dan fisiknya yang berbeda, benda tersebut tetaplah sebuah meja. Inilah yang menjadi realitas dari ide dan gambaran yang ada di dalam rasio kita.
      Hari ini yang tampak, pacaran diartikan sebagai status hubungan cinta, asmaraloka, dan juga diartikan sebagai aktifitas berbagi kasih dengan lawan jenis yang kita cintai. Jika itu arti yang diterima, maka pacaran itu tidak ada. Pacaran hanya ada nanti setelah menikah dengan pasangannya. Hanya saja ketika menikah muncul kata baru yakni suami dan istri. Bukan pacar lagi. Di dalam pacaran, baik pacar laki-laki maupun perempuan ya tetap disebut pacar. Nah, aktivitas berbagi kasihnya itu seperti jalan berdua, makan berdua, pegangan tangan, dan semacamnya itu yang disebut pacaran. Kalau seperti itu kenapa tidak pacaran dengan pasangan halalnya saja? Kan bisa kalau begitu? Pacaran dengan istri atau suaminya bisa. 
       Hari ini  banyak sekali istilah pacar bermunculan. Contohnya seperti bucin, galau, baper, dll.  Karena itu, orang yang tidak pernah berpacaran susah menangkap realitas tentang pacaran. Hanya orang yang pernah berpacaran lah yang mampu menangkap realitas pacaran. Apalagi sekarang banyak istilah baru tentang pacar lagi seperti doi. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan baru yaitu apakah perbedaan antara doi dan pacar? Ada muncul lagi namanya crush apa itu penulis tidak tahu. Ada juga yang namanya gebetan, penulis juga tidak tahu itu apa. 
      Kedua, dalam pacaran, kita tidak tahu batas-batasannya sebagai sepasang kekasih. Boleh tinggal serumah tidak? Boleh tidur berdua tidak? Boleh berhubungan seks tidak? Boleh melakukan kekerasan terhadap pacar tidak? Sebagai pacar laki-laki, wajib menafkahi pacar perempuannya tidak? Kapan pacaran ini berjalan hingga ke pernikahan? Poinnya adalah hukum tertulis tidak ada di dalam pacaran sehingga batas-batasan berperilaku dalam pacaran tidak ada yang mengontrol kecuali kedua pasangan itu sendiri. 
       Pacaran hari ini diartikan sebagai status atau hubungan asmara. Pacaran dilakukan karena ada unsur cinta sama cinta antar lawan jenis, katanya. Pertanyaannya, kalau memang ada unsur sama cinta, pacaran dengan pasangan (suami atau istri) nanti kan bisa? Kenapa orang mau berpacaran? Hal ini diakibatkan karena banyaknya perbedaan arti dan tujuan dari pacaran yang membuat realitas berpacaran semakin kabur. Orang yang berpacaran belum tentu bisa menjawab apa itu hakekat pacaran. Karena itu mereka tanpa pikir panjang melakukannya. Apalagi mereka yang sudah terbiasa pacaran. Akan lebih mudah dilakukan karena mereka yang pernah berpacaran paham betul rumus di dalamnya. 
       Banyak sekali model pacaran. Mulai dari yang namanya pacaran jarak jauh dan jarak dekat. Ada yang pacaran satu rumah dan ada yang tidak. Ada yang pacaran di bawah usia 12 tahun dan ada yang pacaran di atas 12 tahun. Ada lagi yang namanya pacaran virtual, pacaran tidak ketemuan tetapi lewat chat saja, dan semacamnya. Nah, dari sini realitas pacaran semakin kabur sudah. Sehingga orang hanya dapat menangkap makna pacaran sebagai suatu hubungan cinta sama cinta antar lawan jenis. Pertanyaannya kembali, bukankah kalau begitu kita dapat berpacaran dengan pasangan (istri atau suami) kelak? Bisa kan? Kesimpulannya disini adalah pacaran itu ada nanti setelah nikah. Mengapa demikian? Karena kita dapat menangkap realitas sebuah pernikahan, berbeda dengan hubungan di luar nikah yang lazim disebut sebagai pacaran. Contohnya di dalam pernikahan kita bebas mau berbuat apa seperti mohon maaf bersenggama atau menyentuh fisik. Di dalam pacaran, apa hal tersebut dibolehkan? Dibolehkan atau tidak, penulis tidak tahu karena susah menangkap realitas pacaran itu tadi. Yang pasti, dalam hal ini pengendali hukumnya adalah pasangan itu sendiri. Bagaimana dengan masyarakat? Tentu tidak dibolehkan karena tidak sesuai dengan norma yang ada di dalam masyarakat. Nah, ini ada kaitannya dengan bab etika di dalam masyarakat. Nanti akan  ada yang namanya usage, folkways, custom, mores, dan law di dalam masyarakat. 
       Nah, untuk pacaran ini juga tidak jelas hakekatnya. Misalnya sebutan untuk pacar laki-laki dan pacar perempuan disebut apa. Ya disebut pacar begitu saja, bukan? Kalau di negara barat tidak, pacar laki-laki disebut boyfriend dan pacar perempuan disebut girlfriend. Itu pun aritnya sudah melenceng. Boyfriend kalau diterjemahkan secara gamblang itu kan artinya teman laki-laki dan girlfriend artinya teman perempuan. Anda bisa coba lihat di kamus Oxford atau kamus biasa anda. Ada dua arti disana. Pertama girlfriend diartikan sebagai woman that somebody is having a romantic relationship (perempuan yang memiliki hubungan romantis). Kedua, woman's female friend (teman perempuan milik perempuan). Nah, di Indonesia tidak ada sumber yang mendukung dan berusaha mencoba untuk menghancurkan hakekat pacaran yang asal muasalnya dari daun pacar dan pewarna kuku. Jadi, sumber yang bisa digunakan hanya pada epistemologi di atas itu saja, bukan? 
       Pernah ada pasutri ditanya oleh tetangganya "Habis darimana?" Pasutri tersebut menjawab "Habis jalan-jalan dan cari ikan di Puger". Tetangga saya menjawab "wah pacaran terus sama suaminya ini". Pasutri tersebut menjawab "haha iya mbak pacaran dengan suami". Saya yang mendengar itu kembali bertanya-tanya "pacaran itu apa ya?". Ibu saya pernah menasehati saya "kamu ini masih muda, keluar lah main kemana begitu, jangan kalah sama mama yang sudah sampai dimana-mana sama ayah, walaupun tua seperti ini mama masih suka main dan refreshing di suatu tempat. Iya pacaran terus itu sama ayah". Saya kembali diam dan bertanya "pacaran itu apa ya?". Banyak sekali definisi yang sama dan berbeda ketika sampai di dalam pikiran saya. Kadang saya tertawa, dunia ini lucu sekali. Begitu saya menemukan jawaban, dunia akan mengganti dengan pertanyaan yang lain, sehingga memaksa saya untuk kembali menemukan hakekat pacaran itu. 
      Arti yang paling mudah di terima tentang pacaran di Indonesia adalah cinta sama cinta dan berbalas kasih yang dilakukan di luar pernikahan. Tetapi dalam melihat hutan, kita tidak hanya akan melihat satu pohon, melainkan akan banyak pohon di sana. Hal ini secara tidak langsung menambah rumus baru untuk dipecahkan. 
      Banyak sekali istilah di dalam pacaran yang masih menjadi misteri untuk segera dipecahkan. Contohnya ada istilah yang dikenal nembak, ada istilah putus, mantan, dan lain sebagainya. Menyatakan cinta dikenal dengan nembak, hubungan berakhir dikenal putus, dan saat putus dikenal mantan. Kemudian ada lagi istilah doi, gebetan, dan apalagi saya tidak mengerti.  Dari sini saya semakin percaya bahwa pacaran itu adalah sebuah kebodohan yang nyata. Sayangnya, tulisan ini tidak membahas tentang istilah-istilah tersebut dan hanya fokus pada hakekat pacaran saja.
       Saya kembali bertanya, bagaimana pacaran itu bisa ada? Disini saya mencoba mendekati ada dengan ada. Pacaran itu kan awalnya budaya dan budaya itu buatan manusia. Nah saya jadi bertanya apakah jika saat itu yang dikenakan di jari lawan jenis yang ketahuan tertarik diberi selain daun pacar, apakah namanya bukan pacaran? Misalnya diberi daun pandan, apakah namanya akan berubah menjadi pandanan? 
       Saya jadi semakin ragu tentang keberadaan pacaran ini. Sebaiknya pacaran ini segera dihentikan karena susah sekali ditangkap realitasnya. Belum lagi ada namanya hubungan, hubungan jarak dekat dan jauh, kemudian ada hubungan virtual. Apakah pacaran sama dengan hubungan? Aktifitas dalam pacaran kan berbagi kasih dengan orang yang dicintai, lantas aktifitas yang bagaimana? Kenapa harus dengan pacaran? Kenapa tidak langsung menikah saja? Pacaran kan sederhananya gladi resik saja sebelum melangkah maju ke jenjang pernikahan. Semakin ragu saya, kenapa orang-orang melakukan pacaran? Lantas pacaran itu nama hubungan asmaranya atau nama aktifitas berbagi kasihnya? Kalau memang benar pacaran itu adalah sebuah nama hubungan asmara antara lawan jenis, mengapa diberi nama pacaran? Kan tidak relevan dengan asal usul pacaran sesungguhnya. Saya curiga orang-orang merasa bingung untuk memberi nama status hubungan asmara tersebut. Akhirnya diberi nama pacaran saja. Penulis jadi ragu, kiblat pacaran itu mana sih? Asas-asas dalam pacaran siapa yang merancang? 
       Pacaran tidak bisa lepas dari yang namanya perilaku. Perilaku erat kaitannya dengan akhlak, moral, dan etika. Selama perilaku tersebut baik dan tidak menyalahi norma atau seperangkat aturan yang ada di masyarakat, maka secara praktiknya muncul lah akhlak yang baik, moral baik dan etika baik, begitu pun sebaliknya. Dari dulu norma dan nilai di masyarakat itu kan ada, ada yang tertulis dan tidak tertulis. Sekarang kembali pada pacaran, adanya pacaran sudah melenceng jauh dari asal usulnya. Pacaran kini telah teradopsi budaya barat yang tidak relevan dengan budaya asli kita. 
        Pacaran kini tidak bisa lepas dari perilaku. Perilaku yang seperti apa? Sesuai norma atau melanggar norma? Jalan gandengan, boncengan, duduk berdua itu sudah perilaku. Tinggal milih perilaku terpuji atau tidak. Kan sudah jelas itu jawabannya. Kalau sudah tahu tidak terpuji harusnya pemerintah dari dulu meniadakannya. 
        Pacaran juga tidak jelas gambarannya seperti apa. Asal ada dua orang lawan jenis berdua disebut pacaran sekarang. Padahal mereka tidak pacaran. Boncengan berdua lawan jenis disangka pacaran. Padahal mereka adik kakak sekandung. Tidak semua kan lawan jenis yang bersosialisasi atau kedapatan berdua itu pacaran. Tetapi rasio manusia mendorongnya untuk menyebutnya sebagai pacaran. Yang penting ada lawan jenis berdua itu pacaran namanya. Cie-cie katanya, padahal tidak pacaran. Nah, ini yang saya katakan tadi bahwa manusia susah menangkap realitas pacaran itu. Jadi kesimpulannya hakekat pacaran itu tidak ada ya. Itu hanya kebodohan yang dibuat oleh orang-orang bodoh saja. Tidak menemukan istilah untuk menamai sebuah hubungan cinta sama cinta jadi dinamakan pacaran saja. Sebetulnya kalau mau diberi istilah krecekan juga bisa atau istilah yang lain. Ya karena tidak ada kiblat atau sumber yang mendukung selain pacaran yang mungkin saat itu sudah terjadi penyelewengan, maka diberi nama pacaran saja sudah. 

Aksiologi Pacaran
         Sederhananya aksiologi ini membahas sesuatu dengan melihat segi manfaatnya. Misalnya kursi itu manfaatnya apa sih? Kita tahu manfaat yang paling dirasakan dengan adanya eksistensi kursi ini adalah untuk alas  duduk manusia. Tidak mungkin kursi dijadikan joran pancing ikan di laut. Belum pernah saya melihat itu. Goblok berarti kalau ada orang mancing ikan di laut menggunakan kursi sebagai jorannya. 
         Ada pun pengertian aksiologi menurut para tokoh sebagai berikut:
1. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. 
2. Menurut Salam, aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. 
       Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat ilmu yang memiliki teori nilai untuk mengetahui apa kegunaan ilmu tersebut dan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Ya barangkali definisi ini cukup susah dipahami. Intinya aksiologi membahas manfaat atau kegunaan sesuatu. 
         Sesuatu yang dimaksud itu adalah pacaran. Manfaat apa sih yang ingin dicapai dalam pacaran? Apakah pacaran ada manfaatnya? Kalau memang ada apa manfaatnya? Berbicara tentang manfaat pacaran, menurut saya tidak ada manfaatnya. Justru hanya membuang waktu, tenaga, pikiran, bahkan juga uang. Dan itu bukan manfaat melainkan adalah sebuah kerugian. Ada yang bisa memberitahu saya manfaat pacaran itu apa ya? Kalau ada yang berkata sebagai penyemangat itu kan pembenaran/pembelaan dan bualan belaka saja bagi mereka yang sudah atau sedang menjalani pacaran. 
         Salam mendefinisikan aksiologi sebagai teori tentang nilai. Nilai apa yang dimaksud? Baik saya akan terangkan. Nilai dalam aksiologi dibagi menjadi dua yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat aksiologi yang membahas masalah-masalah moral. Sedangkan estetika adalah bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Etika fokusnya pada perilaku, norma, dan adat istiadat. Sedangkan estetika fokusnya pada unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam suatu hubungan yang utuh menyeluruh. 
        Melihat fokus etika pada paragraf di atas, kita kaitkan dengan pacaran yang ada di Indonesia sekarang. Apakah perilaku pacaran sekarang sudah benar sesuai dengan norma dan adat-istiadat setempat? Oh tentu tidak, karena gaya pacaran di Indonesia telah dimasuki oleh nilai-nilai dari budaya barat. Sehingga dalam praktiknya, nilai-nilai tersebut sangat menyimpang dari norma yang ada di Indonesia. Sekarang coba perhatikan saja gaya pacaran Indonesia yang cenderung meniru gaya pacaran barat. 
        Dari segi perilaku, norma, dan adat istiadat pacaran sekarang sangat jauh menyimpang. Tidak cocok gaya pacaran zaman sekarang diterapkan di Indonesia. Tidak cocok karena menentang norma, nilai, adat dan istiadat yang telah ada sejak dulu di Indonesia. Tetapi pacaran kini telah bertransformasi menjadi pacaran ala barat. Dimana kebebasan dalam lawan jenis tidak mengenal kata batas. Mau seks bebas silahkan saja asal ada kesepakatan dari lawan jenis atau yang melakukan pacaran tersebut. Toh bunyi UU kita berbunyi, mereka yang melakukan seks tidak ada unsur dipaksa juga tidak apa-apa. Diperkosa itu tidak boleh karena sifatnya yang memaksa. Kena hukum pemerkosa itu tadi. Tetapi kalau ada orang pacaran, mau seks bebas dan kedua belah pihak sama-sama setuju mau melakukan seks, dibolehkan sama hukum di negara ini, lucu ya? Tidak kena hukum oleh negara mereka itu. 
       Dilihat dari segi estetikanya pun pacaran tidak mengandung nilai yang estetis. Mengapa demikian? Karena pacaran merusak jati diri cinta. Kalau memang cinta lamarlah dan nikahilah. Jangan dilibatkan dengan status yang tidak indah seperti pacaran. Selain itu pacaran tidak mengenal mahar, tidak mengenal restu dari kedua orang tua, dan lain sebagainya. Saya kembali katakan pacaran hanya merusak esensi dan jati diri cinta itu sendiri. Terlebih dengan adanya pacaran ini cenderung terjadi adanya pelecehan seksual, seks bebas dan pelanggaran asusila yang lain. Itu dinamakan cinta? Bukan, cinta tidak seperti itu. 
        Namun sekarang pacaran dijadikan indah oleh beberapa stasiun TV di Indonesia. Banyak stasiun TV Indonesia yang menayangkan sinetron dan film tidak mendidik. Konsep pacaran dipermak dan diperindah seindah mungkin agar tampak indah begitu ditonton di layar kaca. Secara sadar, ini memberikan impact negatif pada penonton yang notabene masih anak-anak. Karena anak-anak kalau dilihat dari ilmu sosiologi mengalami beberapa masa. Masa golden age, play stage, game stage dan generalized others. Nah, ada salah satu masa dimana anak itu cenderung untuk mencoba dan meniru suatu hal baru yang diperindah di tv tersebut. 
        Anak-anak remaja belum terlalu pandai untuk membina sebuah hubungan asmara yang dikenal pacaran tersebut. Mereka masih fokus mencari jati dirinya. Mereka masih fokus dengan masa depannya. Usianya yang tidak matang dan ingin banyak tahu membuat mereka terjerumus dan mencoba apa itu pacaran tanpa terkontrol. Mereka tidak tahu apa yang ingin dicapai dari pacaran tersebut. Manfaat apa yang ingin diraih, mereka tidak tahu. Kalau tidak percaya tanya saja. Kebanyakan dari mereka pasti akan mengatasnamakan cinta. Mereka pun sebetulnya masih belum mengerti apa itu cinta. Mereka hanya terpengaruh acara tv yang tidak mendidik saja. Lucunya mereka menganggap bahwa pacaran yang mereka lakukan itu keren dan sesuai dengan perkembangan zaman. Zaman dimana banyak orang mancing ikan menggunakan kursi. 
         Pacaran sama sekali tidak ada manfaatnya. Dilihat dari segi apa pun tidak ada manfaatnya. Apakah mereka yang berpacaran boleh memiliki keturunan? Tentu tidak boleh kan. Jadi tidak ada manfaat biologisnya (reproduksi). Dari segi ekonomi, apakah kita boleh menafkahi pacar? Memang ada yang seperti itu? Saya belum pernah dengar. Goblok berarti kalau ada orang yang menafkahi pacarnya. Bukan menafkahi, lebih tepatnya membelanjakan sepertinya ya. Pacarnya dibelikan sesuatu misalnya entah itu baju atau apa saya tidak tahu. Diberikan ke ortunya kenapa uangnya. Lalu apa manfaatnya dari pacaran tersebut sehingga banyak sekali orang melakukannya?
        Dilihat dari segi hukum juga tidak mendatangkan manfaat. Apa mereka yang berpacaran mendapatkan kartu pacaran dari pemerintah? Tidak kan? Lain halnya dengan pernikahan yang mana calon suami dan istri memperoleh kartu nikah dari KUA. Pacaran tidak dapat kartu nikah. Sehingga keberadaannya tidak dilindungi oleh hukum. Orang nikah mau cerai disidang dulu. Orang pacaran mau pisah atau tidak ya tidak dapat melibatkan hukum. Karena hukum pacaran itu mereka yang berpacaran yang buat. Bukan dibuat oleh pemerintah. Sehingga legalitasnya tidak jelas. Karena itu batasan-batasan di dalam pacaran ini diluar tanggung jawab pemerintah. Dilihat dari prosesnya pun, kita juga tahu bahwa pacaran ini diluar tanggung jawab hukum dan pemerintah. 
       Dari segi sosial, mereka yang berpacaran tidak bisa menyebut dirinya sebagai keluarga (kelompok sosial terkecil dalam masyarakat). Karena itu tadi, legalitas pacaran tidak diakui secara hukum di Indonesia. Dari segi pendidikan pun juga tidak mendatangkan manfaat. Mereka yang berpacaran cenderung asik memikirkan pacarnya daripada pelajaran esok hari. Waktu belajar terkuras habis. Waktu berkumpul dan sosialisasi bersama teman juga ikut tersita. Barangkali manfaat yang paling dirasakan adalah manfaat afeksi (kasih sayang). Saling menyayangi sesama pasangan begitu. Saya tidak tahu bentuk konkret afeksinya seperti apa. Apa diajak tidur berdua, atau berhubungan badan atau yang lain saya tidak tahu. Intinya mesra-mesraan seperti itu. Benar, cenderung ke memenuhi nafsu birahi. 
      Pacaran ini kan aplikasi cinta begitu. Cinta diaplikasikan atau diimplementasikan dalam kegiatan berbagi kasih dan sayang sesama pasangan. Orang tidak tahu nama aplikasinya awalnya. Karena itu melihat asal-usulnya bahwa mereka yang berpacaran (ada pacar di jari tangannya) selalu melakukan aktifitas berbagi kasih dan sayang berdua, maka diberi nama pacaran saja sudah karena tidak tahu nama aplikasinya itu tadi. Karena aplikasi, tentu diharapkan adanya manfaat. Saya punya aplikasi YouTube, manfaatnya jelas saya bisa melihat berita atau film di YouTube. Aplikasi wa, jelas manfaatnya. Nah, pacaran ini apa manfaatnya? Kalau hanya berbagi kasih dan sayang kan dengan keluarga atau suami istri nanti bisa. Kenapa harus dengan pacaran begitu? Anda bisa tanya saja dengan orang-orang yang berpacaran. Apakah mereka bahagia? Mereka tidak bahagia loh. Mereka stress, depresi, dan sakit hati saat berpacaran awal-awal. Sehingga ini berpengaruh pada mentalnya. Lucunya mereka yang sudah pernah sakit hati saat pacaran dulu, mereka mengulanginya atau pacaran lagi dengan pacar baru. Kan goblok itu namanya. 
       Bagi penulis yang belum sama sekali berpacaran, penulis membayangkan saat pacaran nanti apa yang harus penulis lakukan? Jujur penulis tidak tahu. Mungkin ini berlaku sama dengan mereka yang belum berpacaran juga. Karena tidak tahu, akhirnya lihat tontonan kurang mendidik di tv. Diketahu bahwa mereka yang berpacaran jalan berdua, makan berdua, atau berbagi kemesraan dan keromantisan. Akhirnya juga ini menjadi bahan tiruan. 
         Dilihat dar segi apa pun, bagi penulis pacaran itu tidak ada manfaatnya. Tetapi banyak orang melakukannya. Apa karena ini budaya trens begitu? Kalau gak pacaran gak keren misalnya. Ketinggalan zaman begitu. Orang melakukan sesuatu itu didasari atas unsur kemanfaatan. Contoh kecil misalnya saya mandi karena ingin badan bersih. Manfaat yang akan didapatkan setelah saya mandi, badan saya jadi bersih. Saya ingin makan supaya saya kenyang. Setelah saya makan, saya akan kenyang.  Lantas orang pacaran itu apa yang diinginkan? Ini yang menjadi pertanyaan dalam diri saya. Kadang saya itu diam-diam berpikir seandainya saya berpacaran, yang akan saya dapatkan apa? Manfaatnya bagi saya itu apa ya? Dapat Kasih sayang? Pret... itu kan hanya pembenaran bagi mereka yang sudah berpacaran. Saya tidak tahu harus bagaimana seandainya saya pacaran? Bagaimana caranya atau metodenya berpacaran di usia segini itu saya tidak tahu. 
       Tetapi saya dengar katanya kalau pacaran kita tidak sendirian, ada teman curhat, ada yang membantu menyelesaikan urusan kita, ada yang perhatian dengan kita manakala kita jatuh sakit. Karena itu orang butuh pacaran. Kita ini menurut Auguste Comte adalah zoon politicon artinya hewan yang bermasyarakat. Kita hidup di dunia ini tidak sendirian. Ada teman, keluarga, tetangga dan lain-lain. Bagaimana mungkin dengan pacaran kita tidak sendirian? Tidak pacaran pun kita tidak sendirian kok. 
        Pacaran sebagai permainan, manfaat yang akan didapatkan ya hanya kesenangan saja. Senang punya pasangan baru, senang bisa umbar kemesraan di media sosial, dan lain-lain. Pacaran seperti ini biasanya tidak berakhir lama. Karena memang tidak didasari oleh cinta yang murni. Setelah manfaat kesenangan tercapai, lama-lama yang menjalani akan bosan dan kemudian putus hubungan. Pacaran lagi, senang, bosan, putus lagi, cari lagi begitu pun seterusnya. Orang yang pacaran model seperti ini biasanya memiliki banyak pacar. 
       Hal konyol yang saya pikir adalah banyak orang tidak tahu manfaat pacaran tetapi banyak dari mereka yang melakukan. Artinya mereka berpacaran tanpa mempedulikan manfaatnya. Lalu pertanyaannya mengapa mereka berpacaran? Nah, dari sini penulis tahu bahwa pacaran itu bukan soal cinta saja tetapi soal BBM (berani, bisa, dan mau). Pengalaman pernah berpacaran sebelumnya juga ikut andil di dalamnya. Ibu saya mengatakan, orang yang berpacaran, sebelumnya juga pernah berpacaran. Jadi, dia berani, bisa dan mau melakukan lagi. Berbeda dengan mereka yang tidak pernah berpacaran, kemudian mau berpacaran. Dia belum bisa dan tidak berpengalaman di dalamnya. Dalam hal ini tentu ada rasa malu dan tidak berani dalam dirinya. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak mau berpacaran. Mau berpacaran bagaimana, dia sendiri tidak tahu saat berpacaran harus apa dan bagaimana. Lebih tepatnya dia tidak paham rumus dalam dunia pacaran itu seperti apa. 
        Mereka yang berpacaran tanpa mempedulikan manfaatnya juga secara tidak sadar akan tidak memperhatikan dampak negatifnya. Akhirnya, banyak ditemukan kasus hamil di luar nikah, janin yang baru lahir dibuang di tempat tak layak, kekerasan dalam pacaran, cacat mental bagi pasangan yang putus dalam pacaran, dan lain sebagainya. Mereka yang berpacaran mengatasnamakan cinta di dalamnya. Padahal sejatinya hakekat cinta dan kasih sayang hanya ada di dalam pernikahan. Karena masa pernikahan jauh berbeda sekali dengan pacaran yang hanya modal cinta saja. 
          Ironisnya, mereka yang telah menjadi korban yang dirugikan dalam pacaran, masih tetap berpacaran kembali. Entah dirugikan dalam hal pemerasan, pelecehan seksual, diselingkuhi, dll. Penulis tidak mengerti apa alasan mereka mau berpacaran kembali setelah menjadi korban. Dari sini penulis mencoba mengambil benang merah bahwasanya mereka yang berpacaran telah siap untuk menjadi korban entah itu korban diselingkuhi atau yang lain. Kalau mereka tidak menyiapkannya sedari awal, kemungkinan mereka akan sangat menyesal dan cenderung tidak akan melakukan pacaran kembali. Ibarat siap memakan makanan yang mengandung sejuta pengawet, bakteri, racun dan virus. Memang ketika sampai di mulut makanan tersebut terasa lezat tetapi setalah diproses di perut, makanan tersebut beracun. Lezatnya hanya sementara dan semu.  Mereka yang berpacaran tentu siap dengan konsekuensi tersebut. Dan mereka mengabaikan manfaatnya. Yang penting modal enak, bahagia, dan enak saja. 
       Manfaat yang paling bisa ditangkap menggunakan panca indera dari pacaran ini adalah manfaat berbagi afeksi. Afeksi tersebut dilakukan dalam bentuk bermesraan entah itu memegang tangan, berciuman, berpelukan, dan lain sebagainya. Yang mana aktivitas berbagi afeksi tersebut dapat membangkitkan nafsu birahi. Tidak hanya itu saja, manfaat berpacaran yang dapat penulis tangkap menggunakan panca indera adalah adanya kebersamaan. Kebersamaan makan berdua, boncengan berdua, menghabiskan malam Minggu berdua,dll. Ada juga kata orang, manfaat pacaran adalah sebagai batu pijakan sebelum melangkah ke pelaminan. Dengan pacaran, jaminan akan ada di tangan kita bahwa nanti kita akan menikah dengan orang yang kita pacari. Kalau tidak dengan cara itu, orang yang kita cinta kemudian tidak kita pacari akan jatuh atau dipacari oleh orang lain dan besar kemungkinan akan menikah dengan orang lain. Bagi penulis ini adalah sebuah pertaruhan ya dimana semuanya ditaruhkan untuk menikahi seseorang yang belum jelas akan menikah dengan kita atau tidak. Penulis masih samar dalam menangkap manfaat pacaran menggunakan rasio. Yang pasti, yang tahu manfaat pacaran adalah mereka yang berpacaran itu sendiri. Goal atau tujuan apa yang hendak dan mau didapatkan, hanya mereka yang berpacaran lah yang tahu. 
       Dari beberapa uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwasanya asa muasal pacaran berasal dari sebuah nama daun. Pacaran yang terjadi di Sumatera (tanah Melayu) ini adalah sebatas budaya yang sehat dan baik saja. Dikatakan budaya sehat dan baik karena dalam pelaksanaannya tidak melanggar norma yang ada di masyarakat. Namun, seiring perkembangannya zaman, pacaran kini berbeda amat jauh dari asal usulnya. Karena itu, pacaran kini tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Yaitu tadi, dalam praktiknya yang terjadi penyelewengan dan tidak sama seperti asal muasalnya adanya pacaran pertama kali. Ada pun manfaat yang bisa dirasakan dari adanya pacaran ini susah ditangkap oleh rasio dan panca indera. Hanya mereka yang melakukan pacaran lah yang tahu betul manfaat apa yang ingin diraih dalam pacaran. Manfaat yang paling bisa dilihat adalah manfaat berbagi kasih sayang dan kebersamaan. Bersama dengan pacarnya susah dan senang. Menyayangi pacarnya dengan sepenuh hati layaknya suami dan istri. Manfaat yang bisa diterima dari masing-masing pacar adalah mendapatkan perhatian, kasih sayang, dll. 
        Dalam tulisan ini, penulis tidak ada maksud untuk mengintimidasi atau bahkan menjustifikasi mereka yang sedang berpacaran, mau berpacaran, atau yang sudah berpacaran. Sama sekali tidak ada niatan untuk itu. Penulis hanya ingin menyadarkan kembali dan membuka mata orang-orang bahwasanya pacaran hari ini melenceng jauh dari asal usulnya. Penulis awalnya takut mau share tulisan ini. Takut kalau nanti ada orang yang tidak setuju atau membenarkan yang namanya pacaran. Kekhawatiran yang lain adalah tulisan ini dicari kesalahannya begitu. Padahal tulisan ini lahir didasari dengan adanya latar belakang yang jelas. Bukan asal nulis saja. Jujur, penulis sebetulnya ingin menikmati tulisan ini sendiri. Tapi penulis sadar akan prinsip penulis dulu, bahwa penulis menulis bukan untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Sehingga orang lain juga penting membaca tulisan ini. 
      Perlu diingat, dalam tulisan ini penulis sama sekali tidak menggunakan pendekatan agama. Karena kalau penulis menggunakan itu, maka runtuhlah semua argumen yang ada. Karena jelas dalam agama, pacaran itu tidak ada dan tidak diperbolehkan. Karena perilaku dalam pacaran yang salah dan tidak sesuai dengan ajaran agama. 
       Tulisan ini dilatarbelakangi oleh serentetan peristiwa yang dialami oleh penulis. Ini adalah takdir penulis untuk mengalami serentetan peristiwa tersebut. Serentetan peristiwa yang dimaksud adalah penulis berpikir untuk mengetahui hakekat pacaran, penulis belajar mengenal apa itu pacaran dengan seseorang di medsos, penulis gagal dalam belajar mengenal apa itu pacaran, penulis mengalami depresi dan neurosis eksperimental, penulis mendapatkan ilmu laduni, dan terakhir penulis berdakwah tentang bahaya dan larangan untuk berpacaran di grup WA. Dari serentetan peristiwa itu, tulisan ini menjadi cikal bakal judul tulisan penulis tentang larangan pacaran berikutnya. Ada pun  latar belakang dan rentetan peristiwa tersebut akan ditulis di judul tulisan yang berbeda. Karena kalau ditulis disini akan menjadi panjang sangat panjang. 
         
       
       
       




        
        
         
          
           
       
       




Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?