Problematika Mendirikan Sebuah Tempat Les: Tarif Menjadi Keluhan Utama Wali Murid
Saya membuka tempat les sejak bulan November lalu. Awalnya saya hanya membuka les untuk kelas 6 saja. Begitu masuk semester dua, saya kemudian membuka les untuk kelas 5. Hal itu saya lakukan karena banyaknya pertanyaan sekaligus permintaan dari warli murid kelas 5 apakah saya membuka les bahasa Inggris di rumah saya. Setelah itu, ada wali murid kelas 2 yang menemui saya agar anaknya dileskan ke saya. Alhasil, sampai sekarang saya hanya memberi les tambahan untuk kelas 6, 5, dan 2. Dari panjangnya perjalanan ini, ada salah satu problematika yang menyita perhatian. Yakni keluhan wali murid perihal tarif les yang saya berikan.
Banyak wali murid yang mengeluh bahwasanya tarif les di tempat saya terlalu mahal. Untuk les privat kelas atas saya membuka tarif 30 ribu/pertemuan sedangkan kelas bawah 20 ribu/pertemuan. Untuk les kelompok saya memasang tarif 15 ribu/pertemuan baik itu kelas atas maupun kelas bawah dengan durasi waktu 1 jam 30 menit. Itu pun kadang saya tambah 15-20 menit jika materi saya masih belum selesai saya ajarkan. Untuk les kelompok ini saya sengaja membuka maksimal lima anak. Lebih dari itu, saya buatkan jadwal lain. Kenapa harus lima anak? Alasannya adalah supaya saya lebih mudah memantau perkembangan anak dalam memahami materi bahasa Inggris yang saya ajarkan.
Awal saya membuka les, saya dihadapi banyak rintangan. Salah satunya adalah menentukan tarif harga. Karena sebelumnya, saat saya masih ngajar les tambahan, saya tidak pernah mematok tarif. Seikhlasnya saja sudah. Saya pernah ngajar les anak di kelurahan Bintoro. Satu bulan saya menerima 50 ribu rupiah selama delapan kali pertemuan. Ya saya sendiri yang pergi kesana. Walaupun kalau dihitung-hitung saya juga rugi bensin. Tapi tetap saya lakukan dengan niat ikhlas. Ini masih belum seberapa, saya pernah membuka taman belajar. Hampir dua tahun taman belajar itu berjalan, saya tidak pernah minta biaya dari anak-anak yang saya ajar. Artinya anak-anak gratis begitu belajar dengan saya. Justru saya yang mengeluarkan biaya untuk keperluan atau menunjang belajar mereka. Dari pengalaman ini, membuat saya sulit sekali untuk menentukan tarif harga les saya. Kalau saya tentukan segini tarifnya, takut kemahalan, kalau segitu takut kemurahan. Hal itu membuat saya sharing dengan guru-guru di sekolah dan teman-teman sekampus saya yang juga memiliki pengalaman mengajar les tambahan.
Saat saya sharing dengan teman saya, saya mendapatkan kebuntuan. Artinya saya tidak menerima solusi dari mereka. Rata-rata dari mereka saat mengajar les tambahan tersebut menerima gaji dengan modal seikhlasnya. Kalau begitu kan tidak bisa diukur dan tidak permanen sifatnya. Khawatirnya nanti akan menimbulkan kecemburuan sosial. Misal saya ngajar anaknya A, saya digaji seikhlasnya dengan jumlah nominal 100 ribu/12 kali pertemuan. Saya ngajar anaknya B dengan gaji sebesar 200 ribu/12 kali pertemuan. Sehingga nantinya disini terjadi tumpang tindih. Padahal saya ngajar materi yang sama dengan jenjang sekolah yang sama juga. Tetapi tarifnya berbeda. Nah, saya curiga ini akan menimbulkan ketidakenakam dalam benak wali murid. Karena itu, saya coba tanya ke rekan-rekan sesama guru di sekolah yang saya ajar.
Awalnya saya tanya ke Bu Sri. Beliau memberi banyak penjelasan dan sharing pengalaman selama beliau membuka tempat les. Dari penjelasan tersebut, saya dapat menarik benang merah bahwasanya untuk tarif per jamnya jangan sampai 10 ribu atau ke bawah. Artinya pasanglah harga 25 ribu ke atas. Itu untuk les kelompok. Kalau les privat normalnya 1 jam 35 ribu. Saya masih belum puas disini. Akhirnya saya coba sharing ke guru muda yaitu Bu Nuris dan Bu Yuli.
Dari Bu Nuris saya tidak memperoleh penjelasan baru sama sekali. Artinya penjelasan itu sudah lama dan saya sudah tahu. Ada penjelasan dari dia yang sudah Bu Sri dan teman-teman sekampus saya jelaskan kepada saya. Tetapi bu Nuris jelaskan kembali kepada saya. Disini jujur saya tidak dapat pengetahuan apa-apa dari dia ya sudah tidak masalah. Tapi saya dengarkan saat dia bicara. Ya pura-pura dengar begitu saja, ngangguk-ngangguk misalnya. Nah, dari Bu Yuli ini lah saya mendapat gambaran tentang les bahasa Inggris yang akan saya buka khususnya perihal tarif. Dia mengatakan bahwa les bahasa Inggris itu mahal sekali. Jadi wajar kalau saya buka tarif 35 ribu ke atas untuk per-orang. Awalnya saya tidak percaya. Akhirnya saya coba searching biaya les bahasa Inggris per pertemuan berapa. Ternyata rata-rata tarifnya adalah 59 ribu per jam. Saya tanya ke Bu Yuli apakah tidak kemahalan biaya seperti itu. Bu Yuli ironisnya menjawab tidak, dengan alasan bahwa les bahasa Inggris itu dimana-mana mahal. Jadi harga segitu sudah wajar bagi dia. Permasalahannya tidak wajar bagi saya. Karena saya buka les bahasa Inggris bukan orientasi ke biaya tersebut. Tetapi lebih ke arah mengajar, mendidik dan membuat anak fun dengan bahasa Inggris. Sejak saat itu, saya merasa cocok dan dapat wawasan sekali saat konsultasi perihal les ini dengan Bu Yuli. Akhirnya saya sering konsultasi dengan dia perihal les ini.
Setelah melalui pertimbangan panjang, saya tentukan bahwa tarif/biaya les bahasa Inggris secara private adalah 30 ribu/pertemuan rupiah untuk kelas atas dan 20 ribu/pertemuan untuk kelas bawah. Untuk les kelompok saya pukul rata 15 ribu per anak selama satu kali pertemuan. Kemudian, saya berlakukan sebuah pelayanan yakni saya bebaskan biaya les untuk awal kali pertemuan. Jadi les di hari pertama dengan saya tidak perlu bayar. Tetapi seiring berjalannya waktu, banyak juga wali murid yang mengeluh masalah tarif les kepada saya. Saya jadi stress dan melamun sendiri "apa saya ini dholim ya?"
Banyak sekali wali murid yang bertanya masalah teknis les bahasa Inggris dengan saya. Namun begitu sampai ke pertanyaan tarif harga, beliau semua mengurungkan niatnya untuk mendaftarkan anaknya les bahasa Inggris kepada saya. Ada beberapa pernyataan yang masih saya ingat seperti "saya kira 15 ribu itu satu kelompok pak. Jadi masing-masing anak bayar 3 ribu per pertemuan les bahasa Inggrisnya. Kalau begitu anak saya tidak jadi les bahasa Inggris dulu nggih pak". Kemudian ada lagi "ya saya sih pingin anak saya bisa bahasa Inggris pak. Tapi saya ini orang gak punya. Tahu besaran tarif les segitu saya tidak ada uang pak. Mohon maaf ya pak anak saya tidak jadi les dulu" dan masih banyak lagi. Ada juga yang tanya panjang lebar bahkan menemui saya di sekolah, ya pada akhirnya anaknya tidak jadi les kepada saya. Seorang tentara, bidan, pegawai negeri telah datang menemui saya. Sudah sepakat itu, tetapi tidak tahu kok di akhir sudah tidak ada kabar lagi. Saya anggap tidak jadi les ke saya begitu saja.
Selain tarif, ada lagi jarak tempuh yang menjadi keluhan. Tetapi, dari sekian banyak problem, problem yang lebih sering muncul adalah di perihal tarif les. Bu Yuli sempat memberi saran kepada saya langsung saja tentukan per bulan berapa besaran tarifnya. Dengan kata lain, saya tidak diminta untuk menerima tarif per pertemuan. Saya tidak mau itu dan menolak tawaran Bu Yuli. Karena hal itu akan menguntungkan diri saya. Saya tidak mau berada di pihak yang paling diuntungkan. Bu Yuli beralasan kalau tarif per pertemuan itu akan terasa sekali beratnya. Coba kalau per bulan misal 8 kali pertemuan langsung saja tentukan nominalnya 200 ribu misalnya enak kata dia. Tetapi saya tidak setuju dengan alasan semisal saya atau murid saya berhalangan les, maka satu bukan dia tetap membayar 200 ribu. Beda halnya jika saya menarik tarif les pe pertemuan. Misalnya pertemuan hari ini dia gak bisa les mungkin karena sakit atau ada kepentingan keluarga, dia tidak perlu bayar.
Wali murid yang mengatakan les bahasa Inggris ke saya itu mahal, sebetulnya dia tidak pernah mendaftarkan anaknya les bahasa Inggris. Kedua, beliau tidak tahu besaran umum tarif les bahasa Inggris selama per pertemuan. Ibunya murid saya pernah mengatakan bahwa tarif yang saya keluarkan itu sudah murah sekali. Beliau ini yang berpengalaman daftarkan anaknya les. Kalau yang tidak berpengalaman wah akan menganggap tarif dari saya kemahalan. Saya tidak mungkin sedholim itu. Ibu-ibu wali murid kan pinginnya yang murah, bagus berkualitas, anaknya cepet pandai begitu. Ibu-ibu brengsek itu tidak berpikir nasib gurunya. Bahwasanya gurunya dulu juga susah payah dan mengorbankan uang, tenaga, waktu demi mencari ilmu. Itu yang mahal menurut pandangan saya. Dan wali murid tidak melihat ke arah sana. Beliau maunya murah saja dan anaknya bisa les bahasa Inggris.
Kalau memang mau dibandingkan, di tempat les saya sudah ada papan tulis besar, ada meja belajar untuk masing-masing anak, dan kipas angin. Berbeda dengan guru les lain, mereka datang ke rumah muridnya. Menggunakan meja di rumah muridnya. Mengajar tanpa papan dan tarif lesnya mahal. Secara fasilitas saya lebih unggul dari dia. Memang benar-benar susah menentukan tarif les ini. Karena tidak semua murid-murid berasal dari keluarga yang berada.
Sebelum menentukan tarif, saya juga curhat ke ibu saya. Sebagai seorang ibu, beliau pasti tahu lah kebutuhan dan apa yang dipikirkan oleh ibu-ibu lain pada umumnya yakni masalah pendidikan. Dan keputusan akhir, ibu saya merestui bahwa saya mematok tarif seperti yang disebutkan di atas. Ibu saya tidak ambil pusing. Kalau memang keberatan bisa cari tempat les yang lain saja, kata beliau. Saya ngajar 1 jam 30 menit, bukan 1 jam. Pembaca bisa lihat di google bahwa tarif itu umumnya dihitung per jam, tetapi saya tidak.
Itu lah sekulimit problematika menentukan tarif les. Saya akui memang tidak mudah menentukannya. Saya sampai stress dan susah makan memikirkannya. Tetapi saya sudah mempertimbangkannya dengan baik-baik. Sudah konsultasi kesana kemari. Dan ternyata banyak yang menyetujui saya menentukan tarif sekian. Masalah ada orang yang keberatan dengan tarif yang saya tentukan, ya sudah biarkan saja.