Contoh Konkret Cinta adalah Dengan Menikah: Bukan Justru Beretorika Soal Cinta
Judul tulisan kali ini berangkat dari sebuah keresahan penulis semata. Penulis geram sekali dengan banyaknya unggahan yang mengandung retorika dalam dunia cinta dan asmara. Retorika cinta tersebut meliputi argumen, teori pribadi, kutipan cinta, gombalan cinta, motivasi cinta, syair cinta, dan lain sebagainya. Untuk apa beretorika soal cinta? Apa yakin maknanya diresapi oleh pembaca? Bagi penulis, contoh konkret adanya cinta itu dengan menikahi. Bukan malah beretorika perihal cinta.
Dewasa kini, sering kali kita jumpai retorika cinta di postingan-postingan media sosial. Di Twitter, Instagram, Facebook, WhatsApp, YouTube, dan lain sebagainya. Untuk apa tujuannya coba? Supaya penonton dan pembaca jadi baper? Supaya hatinya klepek-klepek dan meleleh? Akhirnya retorika cinta tersebut menyebar kemana-mana termasuk di status WA. Dan itu yang seringkali saya temui.
Masalah hubungan asmara kerap sekali memakan hati sebagai korbannya. Oleh karenanya, penyembuhan hati tersebut dibutuhkan, salah satunya dengan retorika cinta ini. Ada tujuan edukasinya memang. Dan tak sedikit yang memberikan edukasi soal cinta dengan metode retorika. Mulailah digambarkan cinta itu sedemikian rupa sehingga terlihat dan terdengar indah oleh pembacanya. Menurut saya ini merupakan tindakan yang salah. Salah karena cinta yang dibahas bukan cinta dalam pernikahan melainkan cinta di luar itu. Ribet begitu loh. Bagi saya, contoh konkret adanya cinta yaitu dengan menikahi. Sebagai bukti tanda serius kalau benar-benar cinta.
Jujur saya tidak pernah suka dengan postingan-postingan yang mengandung retorika cinta. Mungkin bagi orang lain itu merupakan sebuah edukasi. Tetapi bagi saya justru terlalu hiperbola perihal cinta. Garisi saja, konkretnya cinta itu menikah bukan malah beretorika. Bangun partisi antar lawan jenis sampai halal. Kalau memang kamu cinta dan mau, nikahi dia, sudah begitu. Kan beres? Tidak kalau sekarang, buat kata-kata konten cinta kemudian ditaruh di status wa. Yang sekiranya orang dapat luluh ketika melihat status wa tersebut.
Gambar di atas merupakan sedikit contoh dari adanya retorika yang dimaksud oleh penulis. Masih banyak retorika yang sangat hiperbola dan lebay sekali yang pernah saya temui. Saya begitu membaca itu rasanya jijik sekali. "Aduh tai kucing ini" dalam hati saya. Tidak bisa saya membaca hal-hal semacam itu. Bagi saya yaitu tadi, contoh konkret cinta adalah dengan menikah, bukan malah beretorika soal cinta. Hampir tidak ada loh filosof yang beretorika soal cinta. Setahu penulis ada seorang pelukis terkenal bernama Pablo Picasso itu saja yang berteori tentang cinta. Selebihnya tidak ada. Pembaca bisa mencarinya sendiri ya.
Banyak sekali postingan-postingan alay tentang cinta yang tidak bisa saya letakkan disini. Bikin tambah jengkel saja mau membaca kutipan-kutipan retorika tai kucing seperti itu. Terlalu repot sekali orang-orang sekarang ini menurut saya. Cinta tak serumit itu sampai digambarkan kemana-mana. Cinta yang begini lah begitu lah. Cinta itu simpel, yakni menikahi orang yang dicintai, sudah begitu saja tidak perlu repot-repot. Lalu pertanyaannya bagaimana jadinya kalau seseorang jatuh cinta tapi masih belum mampu menikah? Barangkali terkendala faktor usia atau pekerjaan belum punya. Jawaban dari saya adalah cinta dalam diam saja seperti kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Atau kalau perlu jauhi orang yang dicintai itu. Jangan sampai mengajak pacaran karena hal itu tidak dibenarkan oleh agama. Nah, baru kalau dirasa mampu menikah, nikahilah orang yang dicintai tersebut.
Cinta itu adalah fitrahnya manusia. Manusia bisa mencintai lawan jenis menurut saya itu wajar karena kita memiliki hati. Dan perlu diingat tempatnya cinta itu adalah hati bukan di otak. Hati sifatnya merasa, bukan berpikir layaknya otak. Apa yang dirasakan oleh hati kemudian direspon oleh otak kita sehingga membuat kita jadi berpikir. Contoh A mencintai B. Hati merasa bahagia tak karuan. Otak disini merespon. Dari hasil respon tadi mulailah disusun sebuah kata-kata menggunakan metode retorika soal cinta. Jadi kata-kata tersebut sumbernya dari hati dan kemudian otak menuangkan ke dalam bentuk ide atau bahasa. Sehingga jadilah retorika cinta seperti itu. Namun, dari serangkaian peristiwa dari adanya panca indera (empiri) mencintai seseorang sampai diproses ke dalam otak (rasio). Tak satu pun menurut penulis yang mampu memproses bahasa hati (intuisi) itu dengan benar. Akhirnya banyak ditemukan kata-kata cinta yang lebay dan tendensi ke hiperbola. Padahal cinta itu simpel yakni dengan menikahi, bukan memacari atau bermain retorika soal cinta.