Tidak Pacaran Tetapi Hakekatnya Pacaran
Tidak pacaran tetapi hakekatnya pacaran merupakan fenomena dimana seseorang tidak sedang berpacaran tetapi selalu menjalankan aktivitas berdua dengan lawan jenisnya. Seseorang tersebut tidak dikatakan pacaran karena sebelumnya memang tidak mengajak lawan jenisnya untuk berpacaran. Artinya, dia tidak menyatakan cinta atau menembak lawan jenisnya untuk mau jadi pacarnya atau tidak. Namun, dalam praktiknya dia sedang berpacaran karena sering atau hampir setiap hari melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu berdua. Misalnya telponan, vc, boncengan, makan malam berdua, nonton bioskop berdua, pergi ke tempat wisata berdua, check in hotel berdua, dan aktivitas berdua yang lain. Aktivitas yang dilakukan berdua tersebut mereka sebut dengan istilah kencan. Dan mereka yang mau diajak kemana-mana berdua tersebut disebut gebetan. Proses kegiatan berdua tersebut dikenal dengan PDKT. Itu tidak pacaran tetapi hakekatnya pacaran.
Pertanyaannya, apakah fenomena ini benar-benar ada? Fenomena ini ada. Anda bisa amati sendiri di sekitar Anda. Contohnya adalah sepupu saya sendiri yang tinggal di Banyuwangi. Dia cerita dan menunjukkan ke saya kalau perempuan yang foto dengannya itu hanya temannya. Mana ada teman perempuan mau diajak foto berdua sedekat itu? Kemudian memberi kue tart lagi. Teman macam apa itu? Begitu main ke Jember juga demikian. Mampir ke rumah teman perempuannya, bawa pisang satu tandan untuk diberikan kepadanya. Orang tua dari si perempuan yang tahu itu hanya senyum saja. Kemudian bannyak sekali perempuan yang diajak kencan oleh dia di Jember sini. Tetapi dia tidak menyebut kalau dia sedang berpacaran. Padahal hakekatnya berkata bahwa dia sedang berpacaran. Mengapa demikian? Karena orang lain menangkap realitas yang ada (dia dengan teman perempuannya) sebagai bentuk representasi dari pacaran. Baiklah, mereka berdua mengatakan bahwa mereka tidak pacaran. Bagaimana dengan orang lain? Orang lain yang melihat laki-laki dan perempuan berduaan tanpa terikat tali pernikahan yang sah pasti mengira mereka sedang pacaran. Bukannya selama ini aktifitas pacaran tidak luput dilakukan secara berdua?
Yang tak habis pikir, teman saya di Pare, Kediri dulu. Dia cerita sendiri ke saya kalau dia bisa menghabiskan uang puluhan juta dalam satu bulan untuk mengencani wanita. Bosan, ganti, bosan, ganti, seperti itu. Saya tidak tanya dia sebelumnya, tetapi dia cerita sendiri ke saya. Memang saya akui, saya selalu lihat dia makan malam, jalan berdua, dan pergi ke tempat wisata berdua dengan gadis kencannya tersebut di status wa-nya. Dan gadis yang dibawa kencan oleh dia sering ganti-ganti. Oleh karena itu, saya kadang komen status wa dia. Saya sebagai orang awam, secara sadar menangkap realitas tersebut sebagai bentuk dari pacaran. Karena aktifitasnya yang kemana-mana berdua itu tadi. Walaupun sebenarnya mereka berdua berkata kalau mereka tidak pacaran. Tetapi tetap, orang lain melihat dan menilainya itu sebagai pacaran.
Di tulisan saya sebelumnya tentang ontologi pacaran, saya katakan bahwa realitas pacaran ini buram sekali. Sehingga saya bisa katakan bahwa ontologi pacaran ini tidak ada. Dengan kata lain adanya ada pacaran ini tidak ada. Mengapa demikian? Karena tidak semua orang yang ketahuan berdua dengan lawan jenis bisa disebut pacaran. Bisa jadi hanya kencan saja. Atau bisa jadi mereka terikat hubungan darah (kakak dan adik). Walaupun dalam praktiknya ada proses yang dapat membangkitkan gairah nafsu, seperti pegangan tangan, foto selfie berdua dengan berdekatan, memberi bunga atau pun kue tart, dsb. Mereka tidak bisa menyebut itu sebagai pacaran. Karena memang sebelumnya yang laki-laki tidak nembak atau mengajak pacaran misalnya. Namun kembali lagi, bilamana kita menggunakan kaca mata sebagai orang lain, kita secara sadar akan menyebut aktivitas berdua antar lawan jenis itu sebagai pacaran. Walaupun sebenarnya mereka tidak mengakui sedang pacaran seperti itu. Jalan berdua ke pantai misalnya, baiklah mereka yang jalan berdua tidak menyebut diri mereka pacaran. Bagaimana dengan orang lain yang melihat kedekatan mereka? Orang lain pasti akan menyebutnya sebagai pacaran. Karena realitas yang diterima atau ditangkap oleh rasio orang lain adalah pacaran. Misalnya yang laki-laki dan perempuan memakai seragam sekolah. Kemudian pergi berduaan ke pantai. Saya tanya orang lain menyebut itu sebagai pacaran atau tidak? Pasti menyebut pacaran. Walaupun mereka yang memakai seragam itu tadi adalah adik kakak misalnya.
Fenomena seperti ini kan sekarang marak terjadi. Tentu ada motif di belakangnya, yakni ingin mengenal pasangan kencannya lebih jauh. Nanti kalau dirasa cocok baru ditembak kemudian diajak pacaran. Saya rasa goal dari adanya kencan atau PDKT seperti itu adalah mengajak pacaran. Namun, bila dirasa tidak cocok ya ditinggal saja pilihannya. Kemudian cari pasangan kencan berikutnya. Tidak cocok, cari lagi begitu seterusnya sampai dapat yang cocok. Saat kencan, mereka tidak menyebutnya sebagai pacaran. Walaupun dalam praktiknya seperti orang pacaran sungguhan. Tentu saya yakin dalam proses PDKT atau kencan tersebut masing-masing pasangan akan menunjukkan sesuatu yang baik dari dirinya. Layaknya seorang penjual sayur di pasar, mana ada penjual sayur bilang kalau sayurnya jelek dan busuk? Pasti penjual sayur tersebut berkata sayur jualannya segar dan bagus. Ya kalau tidak berkata begitu ya tidak laku sayur jualannya. Nah, sama mereka yang dalam proses PDKT itu, sesuatu yang baik dalam dirinya akan ditonjolkan sehingga pasangan kencan tertarik dan mau beli barang dagangannya. Tujuannya supaya laku dirinya. Kan banyak sekarang istilah laku dan tidak laku di dunia asmara. Ya kan mereka jualan juga sama halnya pedagang sayur di atas. Apa yang dijual? Yang dijual adalah kehormatannya atau harga dirinya. Kalau kehormatan sudah jatuh, hidup pun tidak berarti. Nanti tunggu saja, saat pacaran tidak akan berjalan lancar sesuai dengan PDKT itu. Pasti ada salah satu pasangan yang ketahuan sifat buruknya. Saat pdkt sok romantis, saat pacaran hambar saja itu. Masalah dimana-mana, debat, maaf-maafan, debat lagi, baikan kemudian, begitu seterusnya, tahu-tahu pacaran dapat sebulan putus. Sudah tunggu saja dan buktikan kalau tidak percaya.
Yang menjengkelkan fenomena di atas ini khawatirnya disalahgunakan dengan cara mengencani wanita sebanyak-banyaknya. Barangkali, banyak pelaku pacaran yang merasa bosan dengan pacaran sehingga mereka memilih jalan aman saja yakni dengan kencan. Karena kencan sakit hatinya tak sesakit waktu pacaran misalnya atau dosanya lebih sedikit begitu. Sebab di dalam pacaran ada yang namanya sebuah kepemilikan. Saya memiliki dan saya dimiliki seperti itu. Jadi ada lah semacam sistem atau aturan dimana kita patuh pada sistem tersebut. Bagaimana dengan kencan ini? Tentu berbeda dengan pacaran. Mau kencan dengan siapa pun bebas ya kan? Pacar belum punya, istri pun juga tidak punya. Pasangan kencannya mau marah? Punya hak apa dia untuk marah? Orang dia bukan siapa-siapa, kan begitu? Jadi yang dirugikan disini adalah diri kita sendiri terutama kaum hawa.
Penulis hanya bisa menulis dan menuangkan ide-ide saja. Penulis tidak bisa memberikan hidayah. Karena hidayah itu turunnya dari Allah. Semoga diri kita, teman-teman atau saudara-saudara kita dijauhkan dari budaya-budaya yang menyimpang ini. Karena sejatinya tidak ada yang namanya pacaran, tidak ada yang namanya komitmen-komitmenan, kalau mau nikah saja, pacaran nanti sama pasangan halalnya. Jangan ambil jalan aman dengan berkencan sama pasangan bukan mahram. Sama saja kencan itu juga pacaran karena yang dilihat adalah aktifitasnya yang tidak luput berduaan (berkhalwat) dalam bahasa Arabnya. Jauhi kencan-kencan seperti itu. Itu benar tidak pacaran tetapi hakekatnya sedang berpacaran.