Guru adalah Pekerjaan yang Rawan : Sandal Jadi Biang Kerok Munculnya Masalah (PART II)
Peristiwa ini sebetulnya sudah lama penulis alami. Dan penulis juga sudah lama melupakan peristiwa tersebut. Peristiwa dimana penulis melempar sendal dan sendal tersebut tidak sengaja mengenai kepala murid penulis. Tulisan ini ditulis bukan ssebagai pembelaan atau klarifikasi dari penulis, bahwasanya penulis tidak salah misalnya. Tulisan ini ditulis semata-mata sebagai pengingat saja khususnya untuk penulis pribadi. Supaya kedepannya penulis lebih berhati-hati lagi saat mengajar. Semoga para pembaca yang mungkin bekerja sebagai pendidik juga, dapat mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami oleh penulis ini.
Peristiwa ini terjadi setelah hari raya H+ berapa begitu penulis tidak ingat. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kelalaian penulis saat mengajar di dalam kelas. Memang saat itu keadaan kelasnya sangat ramai sekali. Penulis berulang kali meminta anak-anak untuk diam dengan cara mengingatkan, menghampiri, kata-kata, dan sebagainya. Kalau dengan menghampiri, penulis lelah sekali bolak-balik mengingatkan. Bagaimana lagi? Wong namanya anak kecil ya begitu nakalnya sudah. Saat itu kelas yang penulis ajar adalah kelas 2A. Ya masih kecil-kecil anaknya.
Sebelum penulis masuk di kelas 2A, guru kelasnya berkata bahwa anak-anak masih istirahat. Padahal seharusnya sudah masuk dilihat di jadwal penulis. Dengan kata lain terjadi sebuah missunderstanding disini. Ya sudah tidak apa-apa. Setelah 30 menit kalau tidak salah, penulis masuk kelas tersebut. Kalau dikalkulasikan anak-anak itu istirahat selama 45 menit. Padahal seharusnya adalah 15 menit. Ya jadi akar permasalahannya adalah kelas 2 yang lain belum istirahat, diistirahatkan dulu oleh guru kelasnya. Yaitu tadi begitu penulis masuk ke kelas 2A, guru kelasnya memberitahu bahwa anak-anak masih istirahat dan saya diminta untuk masuk jam sekian seperti itu. Bisa dibayangkan anak-anak istirahat selama 45 menit, setelah itu masuk kelas dan pelajaran dimulai. Tentu euforia istirahat masih melekat di dalam diri anak-anak. Sehingga itu tadi, anak-anak ramai sekali di dalam kelas. Bahkan ada dua sampai tiga anak yang masih belum kembali di dalam kelas. Saya minta teman yang lainnya untuk memanggilnya bahwa kelas sudah masuk.
Keadaan kelas yang ramai sekali membuat penulis tidak konsentrasi sekali dalam menjelaskan materi. Berbagai cara sudah penulis coba, tetapi hasilnya nihil. Sebelumnya di kelas yang sama, penulis sudah menghukum anak-anak yang ramai untuk maju ke depan. Ya berdiri di depan kelas begitu. Kalau capek, penulis suruh duduk. Dan itu pun mereka yang dihukum di depan masih ramai. Penulis suruh keluar kelas ya tidak akan mau anak-anak itu. Pernah penulis coba sebelumnya soalnya. Akhirnya, penulis sudah capek mengingat penulis juga belum sarapan sampai sekitar jam 09:15. Dan akhirnya lagi, penulis memilih untuk diam saja selama 30 menit lebih.
Diam penulis sambil berpikir, gimana ya caranya supaya anak-anak ini jadi diam. Kasihan teman yang lain kalau ada salah satu yang ramai. Mungkin kalau dibuat diam susah, setidaknya dibuat anteng terlebih dahulu saja. Dengan kata lain, ramainya anak-anak ini tidak berbuat onar dan jalan-jalan di kelas. Karena di dalam kelas itu ada gurunya. Diamnya penulis duduk di kursi, tidak sengaja menginjak sendal di bawah meja. Penulis kembali terdiam dan teringat seketika saat penulis mengajar di kelas penulis sendiri (5A), dengan penulis sebagai guru kelasnya. Penulis ingat dalam memanage kelas yang ramai, penulis melempar anak-anak dengan benda-benda yang wajar atau tidak begitu keras seperti penghapus dan spidol. Tetapi yang perlu diketahui disini adalah metode melemparnya. Jangan sampai lemparan tersebut ditujukan ke muridnya, jangan sampai seperti itu. Lempar paling tidak di meja atau di tembok belakang kalau muridnya duduk paling belakang. Sehingga disini menimbulkan kesan kaget dan memaksa murid untuk mendengarkan penjelasan gurunya di depan kelas. Cara ini lebih efisien daripada penulis harus teriak-teriak dan menghampiri murid yang kedapatan ramai atau banyak bicara di dalam kelas. Dan terbukti cara ini sebelumnya ampuh untuk menekan anak-anak yang ramai di dalam kelas khususnya kelas 5A, kelas penulis sendiri. Dari sini muncul sugesti yang membuat penulis tertarik untuk menegur anak-anak yang ramai dengan melemparinya sendal. Setidaknya membuat anak itu takut dulu sebelum banyak bicara.
Sebelum melempar sendal ke murid-murid, penulis sampaikan terlebih dahulu bahwa kalau terkena sendal penulis minta maaf. Selanjutnya, penulis kembali katakan kalau yang penulis kenai itu bukan orangnya tetapi benda di terdekatnya. Dalam hal ini, penulis jelas lebih tahu batas dalam menegur anak-anak. Artinya jangan sampai berhubungan dengan kontak fisik seperti menampar, menendang, dam semacamnya. Nah, itu kan kelewat batas namanya. Kalau pun menjewer ya jewer pelan pelan saja. Selain itu, penulis juga sudah katakan ke anak-anak kalau lempar sendal tersebut masih dalam koridor bercanda saja. Artinya penulis sebagai guru sama sekali tidak ada unsur emosi atau marah saat melempar sendal tersebut. Tapi setelah kejadian ini, penulis juga menyesal kenapa harus sendal yang dilemparkan begitu loh. Jujur, memang penulis saat itu cari benda ringan yang layak dilempar itu tidak ada di depan penulis. Di atas meja juga tidak ada. Ya adanya hanya sendal itu saja sudah. Penghapus dan spidol Itu ringan tetapi tidak empuk saat itu penulis mikirnya. Kasihan ini anak masih kelas 2 soalnya. Kalau seandainya terkena badan kan kasihan juga begitu.
Penulis kembali menjelaskan materi di depan setelah bujukan atau permintaan anak-anak. Ya saya ngajar sembari mengingatkan anak-anak kalau ramai lagi penulis lempar sendal. Tetapi yang namanya anak-anak ya, begitu penulis lempar sendal ya ketawa-tawa saja begitu. Aduh ampun sudah saya. Tetapi suasana kelas lebih kondusif lah daripada sebelumnya. Dari sini penulis bisa katakan sendal ini manjur. Ada sekitar tiga anak yang penulis lempar sendal. Dan itu tidak terkena kepalanya. Hanya meja depannya saja yang tekena. Kalau pun memang ada yang terkena bagian tubuhnya, penulis pastikan itu tidak sakit. Karena penulis melempar sendal itu dari bawah ke atas dan lemparannya pelan sekali. Sebab, penulis tahu batas bagaimana melempar sendal yang benar. Dalam pelajaran fisika itu dikenal dengan gaya (F) ya. Kalau gayanya besar, beban ringan, semakin cepat benda yang dilempar. Dan itu pasti sakit bila terkena badan apalagi kepala. Begitu pun sebaliknya. Gaya yang penulis gunakan saat melempar sendal ini adalah dari bawah ke atas sehingga nanti akan menimbulkan sketsa semi oval pada benda yang dilempar dan itu pelan sekali penulis melemparnya. Dan anak-anak takut dengan lemparan itu. Ya kan namanya masih anak-anak.
Kejadian yang tak diduga-duga, ada murid bernama Fikri jalan ke belakang saat saya mengoreksi pekerjaan anak-anak. Saya lempar sendal si Fikri tersebut. Dan saya melempar sendal tersebut dalam keadaan duduk, bukan berdiri seperti sebelumnya. Saya juga melempar sendal menggunakan tangan kiri dengan menyampingkan badan saya ke sebelah kiri. Target saya adalah meja di dekat Fikri dan kawan-kawan itu. Waduh rame mereka di belakang. Sebetulnya saya agak ragu mau melempar Fikri tersebut, takut salah sasaran karena posisinya Fikri sedang berdiri, bukan duduk. Dan dia berdiri di bangku paling belakang lagi. Gatau ngapain dia di belakang itu? Saya lihat dia memang ngajak temannya rame. Posisi saya melempar sendal juga bermasalah. Melempar menggunakan tangan kanan tidak bisa, karena nanti akan kebentur meja. Menyampingkan badan ke kanan tidak bisa karena di sebelah kanan saya pas, banyak anak-anak antri mengumpulkan tugas. Jadi begitu mereka mengumpulkan, langsung saya nilai begitu ceritanya. Saya jelaskan materi mereka ramai terus, ya akhirnya saya sampaikan materi sebentar, lalu saya beri tugas saja. Di depan itu juga ada anak yang mau ambil LKS yang telah saya nilai. Singkat cerita, begitu saya lempar sendal, sendal itu terkena kepalanya Fikri. Pas kena kepala. Pelan memang, tetapi kena kepala. "Aduh masalah ini" dalam batin saya.
Setelah sendal terkena kepala Fikri, penulis langsung memanggilnya ke depan dan meminta maaf sekaligus klarifikasi kepadanya. Penulis berkata kepada Fikri dan semuanya bahwa penulis tidak ada maksud untuk mengenai kepalanya. Anak-anak termasuk Fikri juga tahu bahwa penulis tidak ada maksud seperti itu. Di awal pun, penulis juga sudah berkata kepada murid-murid sebelumnya. Memberi rambu-rambu lah bisa dikatakan seperti itu. Seandainya terkena bagian badan, semua itu adalah tidak ada unsur kesengajaan. Setelah saya katakan ke Fikri baik-baik, saya suruh dia duduk. Di lihat dari raut wajahnya Fikri juga pun saya tahu kalau dia tahu bahwa saya melempar sendal tersebut tanpa unsur kesengajaan. Singkat cerita, pelajaran pun selesai dan anak-anak pulang.
Saat saya mengajar di kelas 2A, pak Hilal menggantikan saya untuk ngajar di kelas 5A. Tanpa pak Hilal bertanya, anak-anak kelas 5A berkata bahwa kalau rame sama penulis dilempar penghapus atau spidol. Sepulang sekolah pak Hilal menceritakan ini ke saya. Bahwa saya di kelas katanya anak-anak melempar penghapus kalau ada anak-anak yang rame. Disitu pak Hilal menambhakan bahwa melempar seperti itu sekarang rawan apalagi di kota. Iya memang kalau dulu sering diketahui bahwa guru lempar spidol bahkan sepatu juga ikut melayang. Tapi sekarang sikonnya berubah dan saya diminta untuk lebih hati-hati lagi oleh pak Hilal. Rawan sekali katanya pak Hilal. Mendengar itu, saya juga ikut menambahkan bahwa saya melempar sendal di kelas 2A dan terkena kepala murid. Katanya pak Hilal lebih baik jangan diulangi. Iya enak kalau orang tuanya kooperatif dan terima, kalau tidak kan jadi masalah. Apalagi kadang bahasa anak itu tidak sama dan diterima berbeda oleh orang tuanya, sehingga riskan menimbulkan kesalahpahaman. Benar juga kata pak Hilal dalam hati saya. Dari sini saya mulai cemas sudah. Tetapi saya juga sudah menyiapkan diri.
Sore, saya mendapat telpon dari Bu Yuli. Tetapi saya tidak tahu karena masih tidur. Tapi pas pulang dari sekolah, saya sudah siap-siap dan nunggu kalau sore nanti itu ada masalah. Saya dikabari oleh Bu Yuli tentang sendal yang terkena kepala Fikri. Saya sudah menebak itu. Ternyata orang tuanya Fikri chat Bu Yuli. Saya tidak tahu kenapa beliau chat Bu Yuli, kenapa tidak chat saya begitu? Bukannya urusannya dengan saya?
Kalau dalam hal ini saya dinilai salah, ayo diselesaikan baik-baik. Saya mikirnya seperti itu. Namun, prinsip saya sebagai pendidik, baik saya benar atau salah di mata guru, murid dan wali murid, saya akan tetap memilih salah. Walaupun sekali pun saya berada di posisi yang benar, saya akan tetap mengaku salah. Disini saya ingin masalah ini diselesaikan dengan cara yang baik. Tidak perlu emosi atau pun semacamnya. Karena itu hanya akan memperkeruh air yang keruh.
Saya tidak mengerti alasan kenapa ibunya Fikri itu tidak chat saya langsung saja. Karena kami berdua ini saling mengenal baik. Mengingat ada kakaknya Fikri yang les bahasa Inggris ke saya, namanya Azzam. Dia kelas 6B. Dari hubungan baik itu lah, saya ingin masalah ini kalau memang dianggap sebagai masalah ya diselesaikan dengan cara yang baik-baik. Saya sama sekali tidak marah. Sama sekali tidak ada dendam pribadi. Untuk apa saya dendam dengan orang yang saya anggap baik? Walaupun mereka jahat pun saya tidak akan dendam.
Saya sudah katakan ke Bu Yuli bahwa nanti malam saya mau ke rumahnya Fikri. Itu pun saya juga tidak tahu rumahnya dimana. Dulu pas les dengan saya, saya memang sempat mengantarkan Azam dan temannya, tetapi jujur saya tidak mengantarkan sampai rumahnya. Setelah antar dia sampai gang, setelah itu pulang saya. Tetapi saya bingung kok saya malah disuruh datang ke rumah beliau? Kenapa tidak beliau sendiri yang datang ke rumah saya kalau memang benar masalah ini ingin diusut? Toh beliau juga tahu persis lokasi rumah saya. Ya Allah saya merasa benar-benar didholomi saat itu. Tetapi saya sabar saja, pasti ada hikmah dibalik semua ini. Namun, belum lama setelah itu, muncul status wa yang mengintimidasi saya. Isinya jelas sarkasme itu ke saya. Batin saya untuk apa? Saya semakin bingung disini, kan saya sudah bilang nanti malam mau kesana. Walaupun saya gak ngerti lokasinya, saya bisa nanti tanya-tanya ke orang sana. Apa maksudnya intimidasi di wa tersebut? Bukankah saya sudah bilang mau kesana? Tetapi status wa intimidasi tersebut dikirim oleh Bu Yuli ke saya. Saya tidak simpan soalnya nomer wa salah satu ortunya Fikri itu.
Jujur, saya kembali bertanya-tanya alasan kenapa beliau post status wa berbau intimidasi terhadap saya. Untuk apa? Toh saya kan akan ke rumah beliau mau menyampaikan klarifikasi. Kecuali saya gak mau menyelesaikan masalah ini. Saya kan ceritanya mau menyelesaikan dengan cara mendatangi rumah beliau. Tatkala status wa itu disebar, saya semakin geram dan mengurungkan niat saya mau ke rumah beliau. Untuk apa? Menyelesaikan masalah dengan emosi hanya mendatangkan nihil. Menyelesaikan masalah itu kan harus dengan kepala dingin. Paling tidak tanya lah saya dulu alasan kenapa saya melempar sendal. Saya beri penjelasan dan klarifikasi terlebih dahulu. Bukan tambah memperkeruh suasana dengan intimidasi saya di status wa.
Ini beliau kirim status jam 16:09, sedangkan saya yang chat Bu Yuli mau ke rumah beliau jam 16:30. Saya telat sepersekian menit. Jadi bisa dikatakan sebelum saya memunculkan niat mau kesana, status wa tersebut sudah ada. Itu dari ayahnya Fikri. Nah, di jam 18: menit sekian saya lupa, muncul status lagi dari ibunya Fikri. Dan saya bisa lihat itu karena saya save nomer beliau. Saya tidak paham kenapa beliau kirim status wa tersebut, manalagi kan ada saya. Jelas itu bukan nyindir lagi, itu nabrak namanya. Saya sudah tahu arahnya kemana ini.
Sayangnya waktu saya screenshot, saya juga lupa tidak ikut ss nama ibunya Fikri karena untuk privasi begitu batin saya. Tetapi secara tidak sadar, waktu dan kapan beliau ngirim status itu juga tidak ada. Saya masih ingat betul status tersebut dikirim sekitar jam 18: menit sekian begitu. Untuk apa gitu loh? Itu yang bikin saya geram. Nanti sampai rumahnya pasti saya akan dipermalukan. Muncul lah semacam kekhawatiran disini sehingga memaksa saya untuk mengurungkan niat mau kesana. Saya pikir beliau tidak serius dalam menangani masalah. Wong gurunya sudah jelas jelas mau ke rumahnya malah ngirim status seperti itu. Saya kan punya otak, otak ini mendorong saya berpikir. Ah ngapain saya menemui orang yang emosi, ya gak akan selesai masalahnya kalau ada salah satu pihak yang emosi. Yang ada saya akan dijadikan bahan tertawaan dan bisa saja saya difoto kemudian dikirim di status wa dengan caption yang miring. "hm macam-macam dengan saya, belum tahu saya siapa" begitu. Dari sini saya enggan sudah mau kesana. Lah ngapain ke sana, wong orangnya saja gak menghargai saya. Chat saya juga tidak ortunya Fikri itu. Atau paling tidak telpon saya lah. Tahu-tahu chat Bu Yuli, tidak ke saya. Padahal Bu Yuli tidak tahu apa-apa.
Saya mengurungkan niat kesana itu sebenarnya sulit dan dilema. Disamping saya juga ingin masalah ini segera selesai, namun saya dibingungkan oleh sikap beliau. Beliau ini mau menyelesaikan masalah atau bagaimana begitu. Kan tidak seperti itu caranya kalau mau menyelesaikan masalah. Tapi setelah melalui pertimbangan akal, saya memilih tidak kesana saja. Karena dari awal saya tidak dihargai oleh beliau. Saya tidak tahu kenapa bisa seperti itu mengingat saya dan orangtuanya Fikri ini punya hubungan baik. Batin saya kalau punya hubungan baik, ya bisa lah masalah ini diselesaikan degan baik-baik kan begitu. Kakaknya Fikri ini kan les bahasa Inggris ke saya. Orangtuanya selalu mengantarkan kakaknya ke rumah saya. Tapi saya tidak tahu dengan adanya status wa tersebut, saya merasa dikecewakan begitu. Bukan begitu caranya ya kan? Saya itu tadinya menyangka bahwa saya oleh Bu Yuli dipertemukan dengan orangtuanya Fikri sepulang sekolah di sekolah begitu. Malah saya disuruh datang di rumah beliau. Ini kan salah sudah caranya. Saya inginnya itu dipertemukan di sekolah. Redakan dulu emosi itu dan besok bertemu saya. Karena dulu ada juga wali murid di kelasnya Bu Yuli yang menemui saya di sekolah. Beliau cerdas, beliau merasa ada masalah dengan saya, beliau temui saya di sekolah dan langsung minta penjelasan dari saya. Waktu itu masalahnya sepele yakni hanya karena chat wa diread saja. Karena chat wali murid tersebut saya read saja, beliau mengklaim bahwa saya ini marah dengan beliau. Padahal kejadian sebenarnya tidak demikian.
Saya terus terang tidak mengerti betul jalan pikiran orang tuanya Fikri. Mungkin beliau telah terbakar api emosi sehingga mengintimidasi saya di status wa. Tetapi saya juga heran, kan saya mau kesana, kenapa ada intimidasi yang kedua lagi di status wa? Ya karena itu tadi saya gak jadi deh ke rumahnya beliau. Wah ini kan artinya beliau mau merendahkan saya. Status wa yang dari ayahnya juga tidak dihapus waktu itu. Seharusnya kan dihapus begitu tahu saya mau kesana. Jelas mau merendahkan saya setan dua itu batin saya. Sudah untung saya mau bela-belain kesana menemui beliau. Salah ini cara mainnya sebetulnya, yang betul kan mereka yang menemui saya begitu. Tetapi sudahlah saya ikuti cara mainnya mereka itu. Akhirnya tidak jadi karena ada status wa yang mengintimidasi tersebut, lebih baik saya gunakan waktu itu untuk ngoreksi dan input nilai saja. Ngapain saya ke rumahnya beliau yang sedang emosi? Kan bunuh diri saya namanya itu. Coba seandainya tidak ada unsur intimidasi di status wa tersebut, saya pasti akan kesana jujur ini. Saya bahkan sudah siap sekali dan sudah menulis apa-apa yang hendak disampaikan sebagai klarifikasi ke ortunya Fikri itu. Ehh ada status intimidasi di wa. Itu kan membuat wali murid lain yang tidak perlu tahu jadi ikut tahu kan? Tidak sedikit wali murid bahkan yang tahu masalah ini gara-gara status wa tersebut. Saya saat itu halah biar sudah, saya sabar saja. Ini masih belum sepatu yang melayang. Hanya karena sendal loh bisa seperti itu. Tidak ada bekas fisik juga. Tidak sakit juga katanya Fikri. Makanya saya nasehati dalam tulisan ini supaya pembaca atau pendidik yang lain lebih berhati-hati lagi dalam mengajar. Rawan soalnya jadi guru ini. Ada wali murid yang kooperatif dan ada yang tidak, seperti wali murid dari ananda Fikri ini.
Keesokan harinya, saya menyiapkan rencana untuk menemui Bu Yuli secara langsung sekaligus klarifikasi. Kemudian saya ingin meminta supaya saya dipertemukan sama ortunya Fikri itu di sekolah saja. Saya juga akan cerita panjang lebar alasan kenapa saya tidak jadi ke rumah ortunya Fikri kepada Bu Yuli. Ini saya masih mau menyiapkan plan yang tepat untuk menyampaikan klarifikasi. Karena kemarin emosi orang tuanya Fikri kan memuncak. Saya beri tenggang waktu sehari lah supaya emosinya menurun begitu. Saya juga sudah sampaikan ke pak kepsek. Pak kepsek menjadikan peristiwa ini sebagai kecelakaan saja dan pelajaran untuk saya. Pak kepsek berkata "saya percaya dengan pak Galuh, dan saya akan bela sampean". Di akhir beliau juga memberi saran supaya saya langsung mengalah dan minta maaf saja supaya masalahnya cepat selesai.
Saya memang tidak sabar ingin bertemu dan menyampaikan klarifikasi ke ortunya Fikri. Namun pak kepsek memberitahu saya bahwa saya diminta untuk langsung mengalah dan minta maaf saja biar aman. Ya saya turuti kemauan beliau begitu. Sehingga saya tidak klarifikasi panjang lebar mengingat saya juga punya jam ngajar. Belum terlaksana plan yang telah siapkan, pak kepsek lebih dulu menemui saya di kelas saat itu. Ya artinya plan saya gagal. Beliau menanyakan alasan dan kebenaran soal saya melempar sendal ke murid. Saya jawab benar, saya yang melempar sendal dan tidak sengaja terkena kepala murid. Dari sini, beliau berkata kepada saya lebih baik saya langsung minta maaf saja supaya masalahnya cepat selesai dan aman.
Tidak lama setelah itu, pak kepsek memanggil saya ke ruangannya karena orang tuanya Fikri sudah datang. Nah, ini yang saya mau. Di tengah perjalanan, saya oleh pak kepsek diminta langsung minta maaf saja biar aman. Walaupun sebenarnya saya perlu sampaikan klarifikasi. Begitu saya masuk ruangan kepsek, saya tidak melihat manusia disana. Saya melihat dua setan duduk di depan meja kepsek. Mereka tampak emosi betul. Saya tidak mengerti bagaimana caranya menyelesaikan masalah jika salah satu pihak ada yang emosi. Yang terlihat emosi justru ibunya bukan ayahnya. Tak lupa saya salaman ke dua setan tersebut. Kemudian saya duduk dengan tenang disana.
Saya tidak tahu alurnya bagaimana, tetapi pertemuan saya dengan kedua orangtua Fikri dibuka oleh kepsek. Disitu kedua orang tuanya Fikri menyampaikan tidak terimanya atas perbuatan yang saya lakukan terhadap anaknya. Saya hanya bisa berkata "nggih" dan "nggih" saja. Saya disana tenang, tidak merasa beban, tetapi tetap saya merasa bersalah.
Ada yang lucu dari pernyataan kedua orang tuanya Fikri tersebut. Ibunya berkata bahwa dirinya yang gak terima bukan suaminya. Tetapi katanya kemarin yang di wa-nya Bu Yuli, ayahnya yang gak terima, kok terbalik begitu maksud saya. Kontradiktif sekali begitu. Ayahnya Fikri di kantor itu tidak banyak bicara, justru yang perempuan ini yang banyak sekali bicara. Bahkan hal kecil yang sebaiknya tidak perlu disampaikan, disampaikan juga oleh setan satu ini. Dari sini saya tahu bahwa setan ini ternyata bodoh sekali. Untuk apa saya meladeni orang bodoh seperti itu? Saya diam saja dan santai begitu. Nggih, nggih, dan nggih seperti itu.
Ada pun yang disampaikan oleh ibunya Fikri antara lain: Fikri ini metode pelajarannya kinestetik, Fikri tercintanya itu jalan ke belakang mau tanya LKS yang robek itu punya siapa, jangan pernah bandingkan Fikri dengan Azzam kakanya, setan itu tidak suka katanya. Lah kenapa bisa tidak suka? Orang saya bandingkan dengan anaknya sendiri bukan anak orang lain loh. Toh itu sebenarnya lebih ke bahan bercanda saja saya bilang pas google meet "Fikri ini beda dengan kakaknya ya" itu bercanda saja. Saya tidak menunjukkan perbedaannya secara spesifik seperti "Fikri ini beda dengan kakaknya ya, kakaknya itu pinter, pendiam di kelas, kalau Fikri tidak" saya tidak berkata seperti itu. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan tertentu dalam bidang akademik, fisik, non akademik, dan sebagainya. Itu disampaikan oleh setan ini di kantor kepsek. Artinya disini ada dendam pribadi lah. Saya gak tahu padahal beliau dengan saya itu kenal baik. Apa baik di luar busuk di dalam saya tidak tahu. Ya intinya beliau lebih membela kesalahan anaknya saja.
Saya kira lebih ke dendam pribadi sih. Dendam itu dipendam begitu lama. Saya google meet itu sudah lama sekali. Sekarang kan ceritanya sudah PTM (pertemuan tatap muka) bukan belajar di rumah lagi. Adalagi kejadian lainnya, waktu beliau menanyakan Bu Yuli ke saya. Saya yang ada di depan kelas 2A berkata Bu Yuli tidak ada. Di kelas 2A hanya ada pak Nurdin, guru agama. Saya jujur sama sekali tidak melihat Bu Yuli, karena waktu itu saya lihat guru yang ada di depan. Kan ceritanya saya mau masuk menggantikan jam pelajaran pak Nurdin. Terjadilah telponan antara Bu Yuli dan Ibunya Fikri ini. Dan ternyata diketahui Bu Yuli ada di dalam kelas. Jujur saya tidak tahu itu. Kemudian ibunya Fikri seperti ngerundel atau ngomong melampiaskan kekesalannya pelan pelan seperti ditutupi begitu. Orang saya tidak tahu kalau Bu Yuli di dalam kelas mau bagaimana lagi.
Imam Syafi'i berkata "jika orang bodoh mengajak debat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, kamu akan susah sendiri. Jika kamu berteman dengannya, maka dia akan selalu menyakitkan hati". Supartono JW juga berkata "jangan habiskan energi debat dengan orang bodoh. Sebab hasilnya hanya gagal paham. Diamlah, itu sikap intelektual". Mark Twain berkata "jangan berdebat dengan orang-orang bodoh. Karena mereka akan menyeret anda ke tingkat mereka. Kemudian mengalahkan anda dengan pengalaman." Dari beberapa kutipan di atas, saya memilih diam untuk saat itu. Diam mendengarkan segala tuduhan yang disampaikan dua setan itu terhadap saya. Masalahnya kan hanya di sendal dan terkena kepala. Coba seandainya yang saya lempar kapas dan terkena kepala, tidak mungkin akan seperti ini kasusnya. Ya akhirnya saya mendengarkan beliau semua ini.
Ayahnya Fikri menyampaikan "masa anak kelas 2 SD dilempar sendal?" Terus mau dilempar batu begitu? Terus ada tambahan intimidasi saya di grup supaya apa saya tidak tahu. Kenal banyak advokat atau apa begitu, intinya menantang saya supaya kasus ini diselesaikan di jalur hukum. Sendal menuju jalur pengadilan ini ceritanya batin saya. Ibunya ini menyampaikan ketidakterimaannya terhadap saya dan berkata bahwa tidak respect terhadap saya. Saya mau respect atau tidak terserah sana. Saya jadi guru bukan ingin mendapatkan respect dari orang lain. Dan pada akhirnya beliau memilih membela anaknya. Anak salah dibela bagaimana itu? Fikri itu di kelas saya selalu kena hukum soalnya. Kenapa baru cerita saat kepalanya tekena lemparan sendal oleh saya? Dulu-dulu kok gak cerita ke orang tuanya. "ma saya dihukum berdiri di depan kelas sama pak Galuh" misalnya. Tidak ada ini. Bahkan guru kelasnya sendiri berkata bahwa si Fikri ini nakal sekali dan beda. Nakalnya itu nakal yang membuat temannya juga ikut ramai. Kadang berkelahi dengan teman sekelas. Anak seperti ini bisa dibela oleh ortunya? Dilempar sendal untung itu, daripada saya lempar sepatu kan?
Saat les, saya sering bilang ke Azzam kalau adeknya ini sering kena hukum di kelas saya. Tapi Fikrinya diam tidak bilang ini ke orang tuanya. Jujur ya, selain Fikri ada lagi anaknya wali murid yang tekena sendal badannya, sekitar 3 anak mungkin. Tetapi yang saya lempar sendal ini murid yang laki-laki saja. Kalau yang perempuan, saya tidak melemparnya dengan sendal, kan guru itu ada batasnya, kasihan kalau yang perempuan dilempar sendal. Kenapa wali murid yang lain gak ada laporan ke saya? Ada kok yang terkena badannya, tapi tidak keras dan bukan mengenai kepala. Ternyata hanya Fikri saja yang mengadu. Saya dapat pastikan ada kesalahpahaman disini. Kan antara apa yang disampaikan anak, diterima salah oleh orangtuanya. Oleh karena itu perlunya klarifikasi dari saya yang bersangkutan. Tapi caranya tidak baik ya sudah. Biar saja saya ngalah saja, mereka benar saja sudah. Wali murid yang lain loh terima. Kok ada wali murid satu ini tidak terima hanya karena anaknya dilempar sendal. Berdarah juga tidak kepalanya itu. Tidak sakit katanya Fikri. Saya juga lempar sendal itu tidak dalam kondisi marah.
Benar kata Mark Twain itu, saya diserang dengan pengalaman mengajarnya ibunya Fikri. Beliau berkata "saya seumur-umur tidak pernah nyubit anak saya, saya ngajar di LBB di SMAN 2 Jember tidak seperti ini caranya menenangkan murid" apalagi saya sudah lupa begitu. Padahal saya gak perlu tahu itu. Saya cuma bisa diam dan langsung minta maaf saja. Setelah minta maaf saya salaman lagi dan kembali mengajar di kelas. Tidak menyampaikan klarifikasi sama sekali saya. Saya menjalankan instruksi dari pak kepsek itu. Saya bahkan sekarang sampai lupa dengan klarifikasi dulu itu. Sudah saya lupakan soalnya masalah ini. Dan saya jadikan ini sebagai pelajaran supaya saya lebih baik lagi ke depan. Saya tidak menjadikan masalah ini sebagai hal negatif kok. Saya sudah sampaikan kepada ortunya Fikri itu. Jangan sampai hanya karena masalah ini hubungan silaturahmi baik kita renggang. Karena beliau berdua ini baik di mata saya. Saya tidak menyangka kalau penyelesaian masalah sederhana ini seperti ini, sampai melibatkan kepsek segala begitu.
Setelah saya meninggalkan ruangan kepsek, raut wajah orang tuanya Fikri masih sama emosi begitu. Ya saya diam saja toh saya di ruangan itu minta maaf berkali-kali. Keesokan harinya saya bertemu Fikri, ya saya masih nyapa sama dia. Saya sayang dengan dia. Demi Allah, saya itu selalu dekat dan bercanda di luar kelas dengan murid saya termasuk Fikri ini. Tapi karena kejadian itu, Fikri jadi takut dengan saya. Disapa oleh saya malah kabur anaknya. Bukan hanya Fikri, Azzam juga jauh dan takut dengan saya. Saya sabar saja, siapa tahu di balik semua ini ada hikmahnya. Di dalam hati saya, rasa sayang saya kepada Fikri dan Azzam masih sama. Jangan hanya karena masalah ini, saya jadi benci dengan mereka berdua, oh jangan. Mereka tidak salah dan tidak tahu apa-apa, saya yang salah.
Jujur saya senyum saja setelah keluar dari ruangan kepsek. Saya tidak marah sama sekali. Tidak ada rasa dendam kepada kedua orangtuanya Fikri ini. Saya jadikan ini sebagai pembelajaran berarti untuk saya. Supaya saya lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Saya juga bersyukur dengan adanya kejadian ini saya jadi lebih berhati-hati lagi dan harapannya bisa lebih baik lagi. Dengan kata lain, ini adalah sebuah peringatan untuk saya supaya saya jadi lebih baik dan lebih baik.
Dapat sebulan pas rapat guru, kepsek juga ikut menyampaikan masalah saya ini kepada guru-guru. Supaya guru-guru yang lain juga ikut hati -hati. Nah, dari sini banyak guru yang tertarik mendengar cerita saya ini. Bagaimana ceritanya kok saya bisa lempar sendal ke Fikri. Banyak guru yang membela saya ternyata. Walaupun sebenarnya, saya merasa bersalah. Saya dianggap benar karena apa yang saya lakukan itu demi sesuatu yang baik. Ya masalahnya kan yang saya lempar sendal itu tadi, coba kapas kan tidak akan jadi masalah itu. Bu Sri mengatakan bahwa anaknya salah dalam menyampaikan ke orangtuanya. Kadang bisa saja beda loh tangkapan anak dengan orang tua. Anaknya biasa saja dan ortunya terlalu serius, seperti ortunya Fikri ini contohnya.
Sekian terima kasih