"Kalau Tidak Pacaran Terus Nikahnya Bagaimana?" Tanyanya

       "Kalau tidak pacaran, terus nikahnya bagaimana?" adalah pertanyaan yang sering sekali saya dengar dari mahkluk hidup di lingkungan saya. Pertanyaan tersebut diutarakan ke saya setelah mereka tahu jawaban bahwa saya tidak pernah berpacaran dan tidak akan pernah mau berpacaran. Karena mati adalah kehormatan bagi saya daripada saya harus berpacaran. Melihat pertanyaan tersebut, menandakan bahwa menurut mereka pacaran adalah sebuah jalan yang wajib ditempuh makhluk hidup sebelum menuju ke pernikahan, titik. Tidak peduli pacaran itu dosa dan lain sebagainya. Menurut saya, ini adalah pemikiran orang tidak waras yang patut ditenggelamkan dalam samudera kebijaksanaan. 
      Saya rasa, hampir semua makhluk hidup beranggapan bahwa kalau mau menikah harus pacaran dulu. Saat saya dakwah di grup wa misalnya, saya langsung sampaikan ke dalam grup "bagi yang punya pacar, silahkan putuskan pacarnya. Bagi yang tidak punya, jauhi dan jangan sampai mendekati apa yang namanya pacaran. Karena gak ada yang namanya pacaran, gak ada yang namanya komitmen-komitmenan, kalau mau nikah saja". Muncul beberapa komentar kemudian, salah satunya adalah "terus kalau gak pacaran, nikahnya bagaimana?" Jelas ada kesalahan berpikir dalam hal ini, dan perlu saya luruskan. Saya jawab di wa, "kalau kamu beragama Islam, sesungguhnya Islam tidak mengenal apa itu yang dimaksud pacaran. Jadi bila mana kita hendak menikah, hal yang perlu kita lakukan adalah menunggu (kalau perempuan), dan mendatangi keluarga perempuan (kalau kita laki-laki). Hal ini lazim disebut ta'aruf. Sebagai laki-laki, sampaikan maksud dan tujuanmu kepada keluarga perempuan yang kamu suka. Setelah itu biarkan keluarga perempuan menilai kamu dan memutuskan apakah anak perempuannya diperbolehkan menikah denganmu atau tidak. Tentu, keluarga perempuan butuh waktu berpikir dan menanyakan lagi ke anak perempuannya. Mereka perlu menilai kembali, sholat istikharah, dll. Kalau anak perempuan dan keluarga perempuan mengizinkan kamu untuk menikah dengannya, ya sudah terakhir sama-sama menyiapkan rencana pernikahan. Islam sesimpel itu " 
        Khanza, murid kelas 2A pernah bertanya pada saya "Pak Galuh sudah nikah?". Saya jawab "belum". Dia tanya lagi "sudah punya pacar pak?" Saya jawab "pak Galuh tidak pernah pacaran dan tidak mau pacaran". Dia tanya lagi "terus kalau gak pacaran nikahnya bagaimana pak?" Bulan lalu, Bu lek saya juga menanyakan pertanyaan serupa kepada saya. Dan di akhir beliau juga bertanya "Yen arep bojoan piye? (Kalau mau bersuami istri bagaimana?)" Soal mau nikah, pola pikir antara anak kecil kelas 2 dan Bu lek saya sama. Mengapa bisa begitu ya? Karena akal atau rasio menuntun mereka berpikir seperti itu. Dan keduanya melewati alur atau masa berpikir yang sama, sehingga bisa menyimpulkan bahwa kalau mau nikah harus pacaran dulu. Kalau katanya Muhammad Abduh, contoh ini dikenal dengan rasio awwam. 
      Sejak kecil, manusia dituntun menggunakan akalnya untuk berpikir. Mereka memikirkan hal terkecil hingga terbesar. Misalnya seperti: "saya ini siapa?, saya ini datangnya dari mana?, dst". Di dalam rumahnya, ada ayah dan ibu. Akal kita menuntun kita berpikir dan membuat kesimpulan bahwa kita datangnya dari Ayah dan Ibu. Akal mendorong kita berpikir mundur, bahwa sebelum ada keluarga, ayah dan ibu mereka menikah terlebih dahulu. Empiri mempengaruhi anak dalam berpikir dan mengambil kesimpulan. Anak mulai melihat lingkungan sekitarnya. Ada saatnya anak pernah melihat makhluk hidup menggunakan seragam sekolah duduk berduaan, anak mulai melihat anak remaja berbagi kasih di layar ponsel, TV, dst. Di sini anak belum begitu mengerti betul apa arti itu semua. Tapi jangan salah, akal mereka liar dan lambat laun mereka akan mengetahui bahwa itu adalah pacaran. Dari sekian banyak informasi
-informasi atau data-data yang diperolehnya melalui empiri dan diproses ke dalam rasio (akal) maka akan menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah bahwa sebelum nikah, makhluk hidup harus pacaran dulu. 
        Kesimpulan yang diambil oleh sang anak adalah bahwa saat dewasa nanti, dia harus pacaran dulu sebelum ke tahap pernikahan. Ini akan jadi hukum dan patokan untuk mereka, mengingat makhluk hidup di lingkungan sekitarnya semua juga melakukan pacaran sebelum nikah. Kembali lagi, lingkungan tidak mendukung sang anak untuk berpikir mengenai seluk-beluk pacaran itu sendiri. Yang mereka tahu ada dua orang sama-sama cinta, ya disebut pacaran. Kalau begitu kan bisa pacaran dengan pasangan halalnya, konsepnya sama yaitu berbagi kasih, hanya praktiknya yang berbeda. Mereka tahu tetapi tidak tahu. Perkembangan pada anak juga ikut andil dalam membantu anak untuk tahu. Contoh dalam sosiologi, anak akan mengalami masa play stage dan game stage atau masa dimana mereka mulai meniru dan memainkan peran orang-orang di sekitarnya. Main sama temannya, ada yang pura-pura jadi ibu, bapak, dokter, dsb. Bila berperan sebagai ibu, dia akan bersikap layaknya seorang ibu. Bisa dikatakan akting sebagai ibu seperti itu. Kemudian imajinasi mendorong mereka untuk membayangkan suasana berpacaran itu seperti apa. Terlebih lagi, anak bisa melihat perilaku orang berpacaran di lingkungan sekitarnya seperti apa. Akhirnya anak mulai pintar cinta-cintaan. 
       Perlu diketahui dalam memproses sebuah pengetahuan tentang pacaran, lingkungan sama sekali tidak mendukung anak untuk berpikir bahwa pacaran itu adalah perbuatan yang salah. Alhasil, anak tidak begitu mengkhawatirkan bahwa pacaran itu adalah hal yang salah. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan, tetapi tidak tahu apa yang dilakukan itu salah. Benar -benar saja begitu, orang banyak kok yang pacaran, katanya. Karena lingkungan sekitarnya menunjukkan itu. Orang gak ada ini yang berani negur atau ngusir orang pacaran. Selain itu, memang ada di tayangan tv atau hp diperlihatkan bahwa pacaran adalah perilaku yang salah? Tidak ada kan? Disini orangtua tidak begitu memperhatikan daya berpikir otak sang anak mengenai pacaran. Orang tua terlihat menyepelekan "Halah masih belum tahu saja, dia masih kecil". Ketika anak yang masih kecil itu menyentuh ranah pacaran atau dalam sebuah momen anak tanya -tanya atau mengungkit apa itu pacaran, orangtua akan berkata "kamu gak boleh pacaran dulu, masih kecil". Akhirnya, dalam hal ini anak tahu, tetapi tidak tahu. Nah, yang tahu harus memberitahu kan? Siapa? Ya teman-teman sebayanya di sekitarnya. Jangan salah, rasa ingin tahu anak itu tinggi sekali. Maka jika keingintahuan tersebut pada hal negatif, maka orangtua perlu mencegahnya. Karena anak tidak bisa memfilter kembali pengetahuan itu salah atau benar. 
        Namun, orang tua memberitahunya dengan cara yang salah. Yaitu "adek masih kecil, gak boleh pacaran dulu ya. Nanti kalau sudah besar boleh pacaran". Anak pintar membuat kesimpulan, kalau masih kecil belum boleh pacaran, maka kalau besar boleh. Besar itu usia berapa anak tidak tahu. Tetapi anak tahu kalau masih kecil tidak boleh pacaran. Siapa yang memberitahu? Ya orangtuanya. Akhirnya saat anak merasa dirinya sudah besar, kelas 4 SD misalnya, jangan heran kalau dia berani pacaran. Murid saya kelas 4 SD itu sudah banyak yang mulai pacaran dan bermain cinta-cintaan. Kelas 4, anak merasa dirinya sudah besar dan bukan anak kecil lagi loh. Walaupun sebenarnya, kelas 4 itu juga masih kecil. Kelas 3 juga ada murid saya yang pacaran. Orangtua harus hati-hati dalam memberitahu anaknya soal pacaran. Karena pacaran sekarang ini ada di mana-mana. Anak mudah mengetahui itu dan pasti ada tanda tanya dalam dirinya. "kira-kira aku nanti juga seperti itu ya?" Anak senang melihat pemandangan itu. Akhirnya anak menyimpulkan sendiri, bahwa sebelum nikah harus pacaran dulu. Bisa pacaran kalau sudah bekerja dan lain-lain. Baru setelah itu nikah. Gak ada yang ngasih tahu bahwa pacaran itu zina dan maksiat, tidak ada yang ngasih tahu. Dan juga gak ada yang ngasih tahu kalau mau nikah bisa tanpa pacaran. Ngasih tahu iya, tetapi di waktu yang tidak tepat. Sedangkan anak sudah mulai merekam, dan di dalam otaknya tertanam anggapan bahwa sebelum nikah harus pacaran. Kalau gak pacaran terus gimana nikahnya, lah katanya. Sebab aktifitas yang dilakukan oleh orang pacaran tidak jauh berbeda dengan orang nikah bukan? 
       Tantangan saya adalah bagaimana merubah pandangan anak yang tadinya A menjadi B soal pacaran sebelum nikah tersebut. Tetapi susah sekali bagi saya untuk merubah pandangan tersebut. Karena dari anaknya sendiri yang cenderung menggunakan rasio awwam, bukan rasio khawash. Kalau orang yang menggunakan rasio awwam, apa yang dilihat, diketahui, diterima, ya sudah itu tidak dipikirkan lagi. Yang dilihat jambu ya sudah jambu, padahal belum tentu itu jambu. Ada orang pacaran, dapat satu tahun nikah, yaudah ambil kesimpulan kalau mau nikah harus pacaran dulu, simpel dan gak ribet mereka. Beda dengan orang yang menggunakan rasio khawash, mereka akan terus berpikir mencapai hakekat. Berpikir menemukan jawaban, setelah jawaban diterima, dia tidak langsung jadikan kesimpulan, tetapi dipikir matang-matang lagi, benar atau salah tidak seperti itu. Misalnya apa iya kalau mau nikah harus pacaran? Pacaran itu dalam agama dibolehkan tidak? Dan seterusnya. Tetapi lucunya, orang tahu pacaran dalam Islam tidak diperbolehkan, tetapi masih melakukannya. Kenapa bisa demikian? Karena mereka yakin pacaran bisa mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan. Ya nikahnya dengan pacarnya itu tadi menurutnya. Ditambah pengetahuan agama mereka kurang. Jadi menurut mereka kalau gak pacaran sebelum nikah itu ribet sekali. Bingung, gimana nikahnya kalau gak pacaran begitu. 
       Di atas kita telah berbicara rasio dan empiri. Tidak afdhal rasanya kalau kita tidak berbicara hati (intuisi). Dalam buku Akhlak Tasawuf karangan Drs. H. A. Mustofa hal 117-118, disebutkan bahwa di dalam jiwa manusia dirasakan ada suatu kekuatan yang berfungsi untuk memperingatkan, mencegah, dari perbuatan yang buruk. Sebaliknya kekuatan tersebut mendorong terhadap perbuatan yang baik. Ada perasaan tidak senang apabila sedang mengerjakan sesuatu karena tidak tunduk kepada kekuatan. Apabila telah menyelesaikan perbuatan jelek, mulailah kekuatan tersebut memarahinya dan merasa menyesal atas perbuatan itu. Kondisi perasaan yang lain, kekuatan tersebut memerintahkan agar melakukan kewajiban atau kebaikan. Kemudian mendorong untuk melangsungkan perbuatannya. Setelah selesai, dia merasakan lapang dada dan gembira. Gambaran keadaan jiwa ini menunjukkan bahwa di dalam manusia terdapat hati. Ia merupakan kekuatan yang mendahului, mengiringi, dan menyusul pada perbuatan. Apabila kekuatan mendahului suatu perbuatan, akan memberi petunjuk dan menakuti diri dari kemaksiatan. Apabila kekuatan mengiringi perbuatan, akan mendorongnya menyempurnakan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk. Apabila kekuatan menyusul setelah perbuatan, akan merasa gembira dan senang jika melakukan hal yang baik, namun akan merasa sakit dan pedih jika mengerjakan hal yang buruk. Ini adalah kekuatan yang disebut hati dalam diri kita. Bisa jadi makhluk hidup yang menolak ajakan baik saya supaya tidak pacaran, dalam dirinya tidak memiliki kekuatan hati. Entah hatinya lemah, buta, sakit, kotor atau apa saya tidak tahu. 
       Lah iya, kok bisa begitu punya pertanyaan "kalau gak pacaran, nikahnya bagaimana?" Ya saya maklumi, karena mereka masih tidak tahu begitu. Karena mereka tidak diberitahu, akhirnya mereka cari-cari tahu sendiri. Mau tanya ke orangtuanya, barangkali malu seperti itu. Ya mau bagaimana lagi, mereka tidak tahu kalau pacaran itu dosa dan termasuk zina, khususnya anak-anak ya. Anak remaja pun juga banyak yang saya tanya tidak tahu kalau pacaran itu dosa dan zina. Dia hanya ikut -ikut lingkungan sekitar dan kurang memfilter pengetahuan mereka juga. Hanya mereka memberi batasan dalam pacaran, bahwa pacaran itu tidak boleh begini dan begitu. Kalau ada anak remaja pacaran yang begini dan begitu, itu kan terpengaruh oleh video, bisa pornografi, konten-konten anak pacaran di tiktok, atau pun semacamnya. Ya tetapi tetap saya ulangi dalam tulisan ini, mau nikah itu tidak perlu pacaran. Karena jelas pacaran itu dosa sebab dalam praktiknya mendekati zina. Dan zina itu adalah perbuatan yang tercela lagi tidak disukai oleh Allah SWT. Sudah begitu. Kalau sudah tahu dosa, maka jauhi. Kadang kan ada saja anak yang tahu pacaran itu dosa tetapi tetap dilakukan.  Itu saya gak ngerti kenapa bisa seperti itu. Status WA islami, tetapi pacaran terus, ada yang seperti itu. Yang hafidz dan hafidzah, yang sekolah di madrasah atau pondok juga banyak yang pacaran. Saya khawatir ini akan menjadikan landasan berpikir anak untuk menghalalkan pacaran dilakukan. "Halah mereka saja loh mondok pacaran" akhirnya ikut-ikutan kan?
         Saya semakin sadar bahwa anak-anak menanyakan kalau tidak pacaran nikahnya bagaimana disebabkan karena mereka memang tidak tahu. Disamping itu mereka juga ingin tahu. Akhirnya cari tahu seadanya saja. Sesat pula akhirnya pengetahuan yang mereka dapat. Nyari tahu tidak ditemani orang yang bijak soalnya. Dari beberapa uraian di atas, saya mengajak adik-adik dan teman-teman semua untuk tidak berpacaran. Dijawab sama adik-adik "kenapa? Banyak kok yang pacaran". Saya jawab lagi "karena pacaran itu maksiat. Kamu mau ambil jambu di pohon, mau manjat kakimu digigit semut merah di bawah pohon, kamu kesakitan. Kamu pulang ngambil obor, mau bakar semutnya. Saya tanya semut yang kamu bakar, semua yang di pohon atau semut satu yang gigit kamu tadi? Pasti semua semut yang ada di bawah atau di atas pohon kamu bakar bukan? Padahal yang gigit kamu satu semut, kenapa kamu bakar semua? Ya kalau bakar satu semut, besar kemungkinan sampai atas digigit lagi. Sama Allah juga gitu, yang maksiat satu, yang dosa satu, yang zina satu, tetapi begitu turun azab, semuanya kena. Bahkan orang yang gak bersalah pun juga ikut imbasnya dosa kamu" 
       Pertanyaan kalau tidak nikah terus gimana nikahnya, adalah murni ketidakhuan anak dalam berpikir. Lagipula, mereka juga terlalu dini untuk berpikir menjangkau apa itu nikah. Masih jauh sekali untuk dipikirkan. Ada waktu dan masanya anak berpikir sampai ke arah sana. Anak tidak mau memaksa dirinya untuk berpikir tentang nikah. Karena sebagai anak, pemikirannya hanya sebatas senang, sekolah, bermain dan bermain. Pun orangtua tidak pernah menghendaki atau mengajarkan anak untuk berpikir tentang nikah. Untuk apa begitu? Selain belum waktunya, toh tidak pantas karena dia masih anak-anak diajak berpikir soal nikah. Pantas tidak anak TK atau SD kelas 1-2 misalnya, diberi edukasi atau pelajaran tentang cara nikah yang baik? Belum pantas karena pemikiran mereka belum menjangkau ke arah itu. Kalau pun ada yang mengajarkan itu, anak pasti tolah-toleh kebingungan dan asik dengan mainannya. Tapi tidak ada salahnya demi melakukan upaya preventif kepada anak untuk tidak berpacaran. Ya diberi edukasi ringan sehingga mudah diserap anak. Step by step dulu. 
        

       Tadi tidak sengaja saya menemukan gambar di atas di postingan ig. Loh gimana kalau sudah begitu sudah? Ini kan sama saja mengajarkan kepada anak-anak bahwa sebelum nikah mereka harus menjalani pacaran dulu. Saya yakin yang buat postingan tersebut  setan itu. Ayolah berpikir dan bedakan mana pendapat, teori atau pun hukum. Ilmu pengetahuan, kebenarannya relatif. Filsafat kebenarannya relatif juga. Tetapi agama kebenarannya absolut. Di dalam Qur'an kan sudah banyak aturan main dalam berteman dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, dsb. Coba dilihat itu Qur'an surah An Nur ayat 30-32, Al-Isra ayat 32, Al Mu'minun ayat 5-6, dst. Bingung saya, nama akun ig nya ta'aruf, islam kan artinya orang itu. Tapi kok dalam postingannya seperti itu. Jangan dicontoh ya adik-adik dan teman-teman. Setan yang buat itu. 
        Allah tidak akan pernah mempersulit hambanya untuk urusan menikah. Hanya saja orang itu yang membuat kesulitan pada dirinya sendiri. Mau menuju ke jenjang pernikahan masih ribet sekali. Yang harus pacaran dulu lah, putus dulu lah, hijrah, dll apa itu. Gak ada ajaran pacaran dalam Islam itu. Pacaran itu ajaran setan. Mereka-mereka yang pacaran itu jelmaan setan semua. Coba sekali-kali baca kisah seorang bujang berusia 35 tahun bernama Zahid. Ya terlepas dari itu semua, saya katakan sekali lagi, nikah itu tidak melalui pacaran terlebih dahulu.Tidak ada itu yang namanya pacaran. Tidak perlu khawatir kalau tidak pacaran nikahnya bagaimana, itu yang penting. Karena ada jalan yang lebih mudah dan suci untuk menuju ke pernikahan. Pacaran itu yang ribet karena tidak ada jaminan ke jenjang pernikahan, bukan? Saya tegaskan lagi, kalau mau nikah itu tidak perlu pacaran. Tunggu saatnya tiba saja sudah. Kapan? Saat keduanya (laki-laki dan perempuan) siap menikah. 
       Mereka-mereka yang tanya kalau gak pacaran terus nikahnya bagaimana, itu kan hanya cari pembenaran saja supaya boleh pacaran. Dilihat dari kalimat pertanyaannya saja sudah jelas sekali. Pertanyaan intinya kan adalah nikahnya bagaimana. Ya pertama untuk laki-laki, cari wanita yang dikehendaki dulu. Kedua boleh ta'aruf dulu untuk mengenal dia lebih jauh. Atau juga kalau yakin silahkan lamar saja. Kalau lamaran diterima, tinggal siapkan rencana pernikahannya, sudah simpel. Kalau kamu wanita, baiknya menunggu dijemput atau dilamar oleh laki-laki yang hendak melamarmu. Tidak perlu khawatir tidak menikah, karena jodoh sudah diatur kok. Ini godaan wanita ini, terlalu khawatir atau minder kalau belum nikah di usia siap menikah. 
        Pertanyaan kalau gak pacaran terus nikahnya bagaimana itu sama seperti pertanyaan kalau gak pake sendok terus makannya gimana. Ya tinggal makan saja pake tangan bisa. Mereka pikir kalau makan gak pake sendok, gak bisa makan ya. Sama, mereka pikir kalau tidak pacaran, gak bisa nikah gitu? Sempit sekali pemikirannya. Seolah-olah pacaran disini itu wajib sekali dilalui seperti itu. Kalau gak pacaran, nikahnya tidak diterima Allah begitu. Ya nggak seperti itu ya cara berpikirnya. Sebab pacaran ini jelas salah dan tidak diperbolehkan, ngapain masih mau tetap dilakukan. Beda kalau pertanyaanmu seperti; "kalau gak masuk SD nanti daftar SMP nya gimana?"begitu. Sedangkan mau daftar SMP kan yang diminta ijazah SD. Jadi harus daftar SD dulu, sekolah dulu enam tahun setelah lulus itu kamu bisa daftar SMP.  Kalau nikah? Apa yang diminta ijazah pacaran? Ya gak ada itu. Wes jelas pacaran salah kok dilakukan. Sekolah jelas benar itu, maka dilakukan. Terima kasih 

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?