Jangan Semena-Mena dalam Meminta Bantuan Orang Lain
Beberapa hari yang lalu, guru PJOK mengeluh tentang banyaknya lembar PTS PJOK yang belum dikoreksi. Keesokan dan keesokan harinya lagi, beliau masih saja mengeluh. Hingga capek sendiri saya mendengarnya. Tak disangka-sangka, beliau kemudian meminta tolong saya untuk memberikan nilai pada lembaran PTS PJOK tersebut. Memberikan nilai saja karena lembar PTS tersebut sudah dikoreksi bersama dengan anak-anak. Saya menolak dengan halus, mohon maaf soal PTS Bahasa Inggris saya juga banyak yang belum selesai dikoreksi masalahnya. Beliau pun tahu itu. Namun ketika saya mengatakan itu, muncul rasa tidak enak dalam diri saya. Saya juga tidak tahu rasa tidak enakan itu datangnya dari mana dan kenapa bisa begitu. Susah sekali dijelaskan.
Ketika beliau mengeluh lagi, gak saya dengarkan keluhannya. Iya untuk apa begitu mendengarkan keluhan orang lain, sedangkan diri kita sendiri juga banyak pekerjaan. Saya saja banyak koreksian tidak pernah mengeluh. Ya caranya dicicil pelan-pelan kalau ada jam kosong seperti itu. Capek jelas iya. Saya pernah ngoreksi soal ujian, begitu bangkit dari tempat duduk serasa seperti mau jatuh, pernah saya. Kepala tiba-tiba pening begitu. Setelah kejadian itu, setiap saya mengoreksi ujian, saya selalu letakkan sebotol air di meja saya.
Lembar soal PTS PJOK itu memang hampir tidak pernah dibagikan ke muridnya. Hal itu terjadi setiap ada ujian, entah itu PTS atau PAS di sekolah kami. Di perpustakaan saya lihat banyak sekali soal-soal PTS dan PAS PJOK, dan banyak juga yang belum dikoreksi. Saya tahu itu karena perpustakaan adalah ruangan saya. Sampai sekarang masih ada itu soal-soalnya. Untuk yang tahun ajaran 2021-2022 sudah dijual di loakan. Soal-soal tersebut tidak dibagikan dan dibiarkan begitu saja di dalam perpustakaan. Kadang saya kalau istirahat, soal-soal PJOK tersebut saya tumpuk jadi satu dan saya jadikan bantal. Ya kalau pun ada yang dibagikan, tidak semuanya dibagikan. Dan jujur, saya tidak melihat dan tahu pasti bahwa soal-soalnya PJOK tersebut pernah dibagikan kepada murid-murid kami.
Pagi, saya mengoreksi soal-soal PTS Bahasa Inggris milik saya. Sengaja saya rampungkan dengan cepat mengingat besok lusa, anak-anak akan libur awal puasa. Tak lama setelah itu guru PJOK datang dan bertanya "Gimana dik? Sudah selesai?" Awalnya saya mengira pertanyaan tersebut ditujukan pada koreksian saya. Dengan kata lain, saya mengira beliau menanyakan apakah koreksian soal PTS bahasa Inggris saya sudah selesai atau belum. Ya saya jawab saja "belum masih pak". Ternyata saya sadar bahwa pertanyaan tersebut ditujukan pada koreksian soal PJOK milik beliau, bukan soal PTS bahasa Inggris saya. Ya mohon maaf saya tidak bisa menjawab mengingat saya tidak tahu kalau beliau meminta tolong saya untuk membantu mengoreksikan soal PTS PJOK. Kapan juga beliau minta tolong? Saya tidak dengar ini. Kalau pun beliau meminta tolong, saya juga tidak bisa membantu. Sebab koreksian saya juga masih banyak. Ada jelas di atas meja saya tumpukan soal PTS bahasa Inggris yang belum rampung. Beliau pun juga tahu itu. Nah, pikir saya kalau beliau tahu ya sudah jangan minta tolong saya, koreksi sendiri saja begitu.
Mendengar beliau yang terus mengeluh setiap hari membuat saya jengkel juga. Apalagi mengeluhnya ke saya begitu. Kenapa tidak mengeluh ke guru lain saja begitu. Ini kan jelas beliau memberikan lokusi, dengan harapan perlokusi dari saya, yaitu saya mau membantu beliau. Dengan kata lain, beliau meminta tolong kepada saya secara halus. Tidak langsung to the point meminta tolongnya. Saya yang mau menolong juga tidak bisa, ya bagaimana koreksian saya banyak juga. Saya gak ngerti harus bagaimana. Akhirnya saya katakan "koreksian saya juga masih banyak ini pak". Beliau berkata " loh tidak dik, ini soal PJOK sudah dikoreksi sama anak-anak, sampean tinggal memberi nilai saja". Dalam benak saya "lah iya enak itu sudah, tinggal ngasih nilai saja. Lah saya? Banyak yang masih belum dikoreksi, apalagi diberi nilai, ya belum lah". Yang bikin saya tambah jengkel adalah sudah tahu soal PTS tersebut tinggal diberi nilai saja, kenapa masih minta bantuan saya? Beliau sendiri yang memberi nilai kan bisa begitu. Iya kalau di sekolah saya tidak ada pekerjaan, tidak perlu diminta tolong, saya akan bantu beliau. Seharusnya beliau tahu lah keadaan saya. Namun sebagai guru yang lebih muda, rasa hormat ke yang lebih tua itu ada dalam diri saya. Akhirnya saya menerima permintaan tolong beliau. Toh ini untuk kepentingan umum juga dalam batin saya. Soal PTS tersebut nantinya kan akan dibagikan ke murid-murid seperti itu, bukan diambil beliau sepenuhnya begitu. "Iya sudah pak taruh situ saja pak. Nanti kalau ada waktu, saya kasih nilai pak" kata saya. Saya mau bantu beliau dengan perkiraan efisiensi waktu begitu. Kalau disuruh mengoreksikan ya jelas tidak mau saya. Bukan karena jahat, tetapi masalahnya koreksian saya juga banyak begitu. Saya pegang 14 kelas di sekolah tempat saya ngajar. Satu kelas isinya ada yang 28 dan 29. 28 dikali 14, pembaca bisa hitung sendiri dan bayangkan berapa banyak koreksian yang harus saya koreksi. Kalau saya pegang satu kelas ya sedikit koreksian saya. Ya begitu, sudah tahu saya pegang kelas banyak, masih ada saja orang yang memanfaatkan saya. Tidak punya hati sekali begitu. Seharusnya saya yang dibantu untuk mengoreksi begitu, bukan justru saya yang membantu.
Memang tidak semua pekerjaan itu bisa kita lakukan sendiri. Ada kalanya kita membutuhkan bantuan orang lain dalam meringankan pekerjaan kita. Sebagai makhluk sosial, beliau meminta tolong kepada saya itu tidak salah. Tetapi dalam meminta tolong, kita perlu tahu dulu keadaan seseorang yang kita mintai tolong. Dia banyak pekerjaan tidak. Perasaan dan pikiran harus sejalan di sini. Jangan sampai mementingkan sendiri dan asal main minta tolong saja. Dipikir dulu, benar tidak meminta tolong kepada seseorang yang sama sibuknya. Dirasakan dulu, pantas tidak meminta tolong kepada seseorang yang pekerjaannya juga belum selesai. Contoh nih, anda dan tetangga anda sedang mengecat rumah. Masih banyak tuh bagian tembok yang belum dirampungkan oleh anda. Begitu pun juga tetangga anda. Tanpa diduga-duga, anda kehabisan cat. Melihat tetangga yang juga sedang mengecat rumah, anda meminta cat pada tetangga anda. Tak hanya meminta catnya, anda juga meminta tolong tetangga anda untuk membantu mengecat rumah anda. Saya tanya, kira-kira tetangga anda mau tidak membantu anda? Bicara realistis saja, tetangga anda pasti tidak mau. Cat temboknya sudah diminta, masih minta tolong orang lain untuk mengecat rumah anda. Itu keterlaluan sekali namanya. Sama seperti guru PJOK dalam tulisan ini.
Keesokan harinya, beliau bertanya kepada saya "Gimana dik, sudah selesai?" Saya jawab "belum pak, saya masih mengoreksi PTS Bahasa Inggris. Saat ditanya seperti itu, memang saya tengah mengoreksi lembaran PTS Bahasa Inggris. Saya tanya ke beliau "dimana pak soal PJOK yang mau diberi nilai?" sembari saya hampiri beliau. Ya lucu juga sih, beliau yang membutuhkan pertolongan saya, tetapi lembar soal PTS PJOK nya belum diberikan ke saya. Gimana saya mau bantu? Saya kan tidak mungkin asal mengambil lembaran soal PJOK di atas meja beliau, kecuali kalau sebelumnya beliau meminta saya "kamu ambil saja soalnya di atas meja saya". Nah, baru saya ambil. Tetapi beliau sama sekali tidak bilang seperti itu ke saya. Jadi saya harus bagaimana? Gak etis dong kalau kita asal main ambil saja. Kemudian beliau menunjukkan dan memberikan lembaran soal PJOK yang harus saya beri nilai. Ternyata saya tahu lembaran soal tersebut ada di rak, bukan di atas meja beliau. Begitu soal itu diberikan ke saya, saya kaget kok banyak sekali ya. Ada empat tumpukan soal yang diberikan ke saya. Wah gak bener ini batin saya.
Saya diberikan empat tumpukan soal. Itu artinya saya harus memberi nilai empat kelas. Ya ada sekitar seratus lembar yang harus saya beri nilai. Wah ini maksudnya beliau mau menindas saya seperti itu. Jangan empat lah, kasihan diri saya. Koreksian saya juga masih banyak, ditambah punya beliau juga. Tadinya saya tidak ada masalah kalau hanya memberi nilai, tetapi kok banyak begitu. Seandainya hanya dua bendel saya gak keberatan. Kalaupun saya tidak ada pekerjaan, mau 10 bendel juga saya pasti bantu kok. Ya saya ikhlas saja sudah, mungkin ini ujian saya begitu. Akhirnya saya terima tumpukan soal tersebut dan saya letakkan di atas meja saya.
Saya itu senang bantu orang bahkan pernah sampai lupa dengan keadaan diri saya sendiri. Hingga pernah saya suatu hari ditegur oleh guru senior "walaupun kamu baru kerja di sini, jangan mau disuruh-suruh begitu. Biarkan saja itu tanggung jawab gurunya masing-masing". Tetapi saya masih bisa anggap bantuan saya terhadap orang lain itu wajar selama saya tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Ada guru lagi berkata "sampean jangan pikirkan punya saya dulu. Sampean pikirin punya sampean dulu saja pak. Salah kalau sampean mendahulukan saya". Saat itu beliau hendak meminta tolong ke saya untuk meminjamkan baju adat Madura di tetangga saya. Mengingat tetangga saya banyak sekali yang memiliki baju adat Madura begitu. Kalau beli sendiri itu mahal kata beliau. Jadi enak pinjam saja, toh hanya dipakai satu kali saja.
Sebelum-sebelumnya, saya juga sering dimintai tolong oleh guru PJOK tersebut. Dan saya sama sekali tidak mengeluh. Soal PTS PJOK kemarin saya yang mengetikkan dari nomer 1 sampai 25. Beliau mengajak saya ke kolam renang Botani menemani siswa-siswi kelas 1 dan 2, saya pun juga mau. Saya diminta tolong ke GOR menjadi official coach anak-anak yang tanding futsal, saya juga pernah dan mau. Di lapangan TEBEG, saya disuruh beliau menjadi pendamping tim sepak bola sekolah kami, mau saya. Disuruh bawakan bola oleh beliau pas ada kegiatan persami, saya juga pernah. Disuruh menemani anak-anak dan anak beliau di sekolah sampai mau Maghrib, pernah saya. Anaknya beliau itu les bahasa Inggris di sekolah bersama saya. Dan masih banyak yang lain. Gak kehitung soalnya berapa kali saya sudah bantu beliau. Dan saya sama sekali tidak mengeluh karena itu masih dalam batas normal saya sebagai manusia. Ya kita tahu lah manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Dia pasti memerlukan pertolongan orang lain dalam menggerakkan kehidupannya. Saya membantu beliau itu sebagai bentuk hormat saja kepada beliau. Dan saya mau membantu karena itu semua untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi. Hanya permintaan tolong memberi nilai ini yang di luar batas saya. Jujur mengeluh saya untuk yang satu ini, sebab saya tahu beliau sanggup memberi nilai sendiri tapi justru meminta bantuan saya, yang mana saat itu saya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan beliau sendiri tahu kalau saya banyak pekerjaan. Semena-mena sekali begitu meminta tolongnya kepada saya. Mungkin karena saya sering bantu, beliau jadi semena-mena terhadap saya.
Dua hari tumpukan soal tersebut tidak dikerjakan oleh saya. Ya ada di atas meja saya begitu. Keesokan harinya saya lihat, tumpukan soal itu sudah tidak ada di meja saya. Ternyata tumpukan itu ada di rak beliau. Saya tidak tahu, mungkin beliau yang ambil. Siapa lagi terus yang ngambil? Masa iya jalangkung? Kecewa atau marah barangkali beliau terhadap saya. Dua hari belum selesai, akhirnya diambil tumpukan soal tersebut. Satu hari full saya tidak berbicara dengan beliau. Tapi tetap saya salim setiap bertemu beliau. Jujur saya tidak ingin menciptakan masalah yang dapat merusak hubungan baik kami sebagai rekan sesama guru begitu. Akhirnya ya sudah saya ambil lagi tumpukan soal tersebut di rak dan saya beri nilai. Ternyata dua tumpukan soal sudah beliau nilai, tinggal dua yang belum dinilai. Dan itu yang saya nilai. Disamping pekerjaan saya juga masih banyak, dengan sabar saya nilai itu soal PJOK. Heran saya ada orang seperti beliau. Seperti tidak ada orang lain yang dimintai tolong. Padahal beliau jelas-jelas tahu pekerjaan saya banyak. Lah kok iya masih minta bantuan saya. Akhirnya saya mengabaikan pekerjaan saya untuk menyelesaikan pekerjaan beliau. Semua itu saya lakukan karena saya tidak ingin adanya kerenggangan hubungan antara kami. Gak enak sekali gitu kalau ada sesama rekan tidak saling sapa.
Setelah saya selesai memberi nilai pada dua bendel soal PJOK, soal tersebut saya letakkan di atas meja beliau. Tugas saya hanya memberi nilai saja karena soal-soal tersebut telah dikoreksi oleh beliau bersama anak-anak. Enak sekali menurut saya begitu. Lah saya ngoreksi sendiri, bukan dikoreksi bersama anak-anak. Kalau pun sudah dikoreksi bareng anak-anak, saya akan koreksi kembali itu. Ya takut ada yang salah dibenarkan, dan sebaliknya. Lagipula, libur awal puasa sampai akhir puasa itu beliau tidak ngajar kok. Free lah begitu. Masa iya puasa-puasa mau ngajar olahraga? Tidak ada, jadwal ngajar beliau diganti dengan kegiatan keagamaan di sekolah kami. Urut hari Senin kelas 1, Selasa kelas 2, dan seterusnya. Kan enak begitu, beliau punya banyak waktu. Terlepas dari itu semua, saya sabar saja, mungkin ini ujian saya di awal bulan Ramadhan.
Tumpukan soal saya taruh di atas meja beliau. Selang beberapa kemudian, beliau melihat dengan heran ke arah tumpukan soal tersebut. "kok ada di sini ini? Loh sudah dinilai semua?" Mungkin seperti itu dalam benak beliau. Saya memang sengaja tidak memberitahu beliau terlebih dahulu kalau tumpukan soal tersebut saya beri nilai. Ya saya langsung nilai saja tanpa basa-basi begitu. Beliau pun saat itu tidak tanya ke saya "ini sampean yang ngasih nilai dik?" Tidak ada ini, padahal beliau tahu ada saya di dalam perpustakaan. Masa iya nilainya muncul sendiri begitu, kan gak mungkin. Tidak lama setelah itu, beliau izin pulang. Belum keluar dari pintu, saya bilang ke beliau kalau soal tersebut sudah saya beri nilai. Respon beliau bagaiman? Beliau hanya berkata "iya" saja. Tidak ada terima kasih- terima kasihnya. Beri saya ongkos mengerjakan apa begitu tidak ada ini, ya sudah. Mungkin beliau kecapekan ngajar olahraga di bulan Ramadhan, saya tidak tahu ngajar di mana, yang jelas di sekolah kami tidak ada pelajaran olahraga selama bulan Ramadhan. Baiklah, mungkin beliau lupa atau terburu-buru mau pulang. Saya tunggu sampai keesokan harinya. Tidak ada ini ucapan terima kasih dari beliau setelah dibantu saya. Ngasih uang apalagi, tidak ada. Sampai hari ini pun tidak ada ucapan terima kasih dari beliau setelah dibantu saya. Berat ya mengucapkan terima kasih itu? Ya kan tidak berat itu. Tidak mengeluarkan banyak tenaga juga. Ya terlepas dari itu, ya sudahlah saya anggap lucu saja.
Tulisan ini ditulis untuk dijadikan pelajaran khususnya bagi diri penulis pribadi dan para pembaca yang bijak. Mungkin suatu saat nanti kita membutuhkan bantuan orang lain, kita tidak meminta bantuannya seenak udelnya kita sendiri. Kita harus bisa mengerti keadaan orang lain ketika kita hendak meminta pertolongannya. Dia sanggup tidak ya? Dia banyak pekerjaan tidak ya? Saya minta tolong ke dia ini benar atau salah ya? Dipikir dulu yang matang dan bijak. Untuk kita yang diminta bantuan dengan semena-mena ya sudah sabar saja. Untuk kita yang meminta bantuan orang lain, jangan lupa mengucapkan terima kasih setelah dibantu oleh orang tersebut. Kalau perlu berilah uang ke orang yang telah membantu kita supaya dia lebih semangat dalam membantu kita di kemudian hari haha. Bercanda ya, ya diberi imbalan apa saja begitu sebagai bentuk hormat dan terima kasih saja terhadap orang yang telah mau membantu kita.