Pemikiran Distortif: Bulan Ramadhan Jangan Pacaran Dulu

       Di Indonesia, bulan Ramadhan diidentikkan sebagai bulan yang sakral.  Artinya selama bulan tersebut, kita dituntut untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak hanya menahan dari lapar dan dahaga, kita harus bisa menahan diri dari nafsu, amarah, dan akhlak-akhlak yang tercela selama bulan tersebut. Contohnya seperti ghibah tetangga, berbohong, mencuri, pacaran, judi, dst. Bilamana ada salah satu saudara seiman kita yang mengerjakan akhlak tercela di bulan Ramadhan, kita pasti tidak akan mentolerirnya. Sebab segala macam bentuk kemungkaran seolah-olah terasa haram untuk dikerjakan khusus di bulan Ramadhan ini. Semuanya isinya wajib kebaikan dan ibadah. 
        Sakralnya bulan Ramadhan di Indonesia, membuat tak sedikit orang pemikirannya menjadi bersifat distortif. Mereka beranggapan bahwasannya di bulan Ramadhan saja lah mereka diseru untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan segala macam bentuk kemungkaran. Di luar bulan Ramadhan, mereka bebas mengerjakan akhlak tercela yang mereka kehendaki. Seperti contoh sederhananya adalah pacaran. 
      Pensakralan bulan Ramadhan mengakar pada benak orang Indonesia sehingga mereka meyakini bahwa di bulan Ramadhan mereka harus benar-benar bersih dan suci dari segala macam bentuk maksiat dan dosa. Masa iya tengah berpuasa kita mengerjakan maksiat? Ya rasanya kurang pantas. Tentu orang Indonesia akan ikut mengecam atau bahkan mengucilkan orang-orang yang mengerjakan maksiat di bulan Ramadhan. Sabar, ditunda dulu maksiatnya, dikerjakan bulan depan saja. Yang penting jangan di bulan Ramadhan. Barangkali seperti itu pemikiran orang Indonesia yang distortif. 
        Sakralnya bulan Ramadhan ini mengingatkan saya suasana ruang operasi. Ada empat dokter misalnya, tengah mengoperasi pasiennya. Tentu keempat dokter tersebut paham betul tentang SOP selama mengoperasi sang pasien. Mereka harus fokus ke pasien. Kalau gak fokus bisa terancam nyawanya sang pasien, kan gitu? Tapi saya coba bayangkan keempat dokter tersebut tidak serius dan tidak mentaati SOP dalam mengoperasi pasien. Saat operasi misalnya, dokter yang satu izin keluar ruangan operasi karena WIFI kejauhan, jadi tidak terkoneks, mau nonton tiktok kan gak bisa jadinya. Dokter yang satu lagi makan buah nanas sambil dandan. Dokter yang ketiga marah-marah tidak jelas karena tahu berita Indonesia gagal jadi tuan rumah piala dunia U20. Dokter yang keempat makan cilok sambil nyemir sepatu. Sebagai seorang dokter yang memegang teguh standar kompetensi, dokter keempat yang makan cilok tadi, menasehati ketiga dokter tersebut "heh ayo jangan mementingkan diri kita dulu, kita selesaikan dulu operasi ini. Gak boleh kita seperti ini. Ini aktifitas yang menyalahi SOP selama ada di ruang operasi. Nanti pasien mati yang dosa kita. Sabar lah dulu, bentar lagi selesai kok ini operasinya. Setelah ini selesai, baru bebas deh kita mau ngapain aja, mau jemur pakaian, jemput anak sekolah, makan duit dari pajak rakyat terserah kita". Ya kan tidak akan pernah ada contoh yang seperti ini terjadi di ruang operasi. Kalau memang ada, ya kacau suasana di ruang operasi bukan? Ini tidak jauh berbeda dengan bulan Ramadhan di negeri ini. Kita umat Islam dituntut untuk fokus dulu mengerjakan ibadah dan kebaikan di bulan Ramadhan, supaya operasi berhasil baik dan pasien selamat. Kita sama sekali tidak diperkenankan untuk berbuat hal-hal yang bertolak belakang dengan SOP di bulan Ramadhan. Siang-siang berzina di bulan Ramadhan, tidak boleh karena tidak sesuai dengan SOP yang berlaku. Nah, nanti saja kalau bulannya berganti menjadi Syawal boleh deh melakukan pekerjaan sesuai kehendak hati kita. Mau pacaran silahkan bebas, yang penting jangan di bulan Ramadhan. Ini bulan sakral soalnya, bukan bulan kaleng-kaleng. 
       Dahulu saat saya masih giat-giatnya berdakwah larangan pacaran di grup WhatsApp, saya menemukan banyak pemikiran yang sifatnya distortif. Mereka beranggapan bahwa selama bulan Ramadhan tidak boleh pacaran, nah nanti setelah bulan Ramadhan baru boleh pacaran kembali. Di sini yang mereka maksud itu adalah aktifitas berbagi kasihnya, bukan hubungan asmaranya. Kalau hubungan asmaranya mereka masih menjalinnya. Artinya mereka masih berpacaran di bulan Ramadhan. Tetapi untuk aktifitas berbagi kasihnya mereka tidak lakukan khusus di bulan Ramadhan. Contohnya seperti jalan berdua, pegangan tangan, dsb mereka tidak lakukan itu. Nah, ini kan kontradiktif dengan anggapan awal mereka. Katanya selama bulan Ramadhan tidak boleh pacaran, tetapi kenapa masih memiliki hubungan asmara. Hubungan asmara tersebut apalagi namanya kalau bukan pacaran? Sebab mohon maaf, realitas pacaran itu susah digambarkan. Apakah pacaran itu aktifitas berbagi kasihnya atau hubungan asmaranya. 
       Ada lagi yang mengaku kalau mereka tidak pacaran saat puasa, tetapi setelah buka puasa mereka pacaran. Bedanya kalau puasa mereka tidak menghabiskan waktu bersama. Namun setelah buka puasa baru lah mereka menghabiskan waktu bersama seperti makan di warung bersama, menikmati malam bersama, dst. Dan mereka sendiri yang menghalalkan itu. Ini adalah pemikiran distortif yang distortif sekali. Barangkali pelaku pacaran tersebut tidak mau putus dengan pacarnya. Dan lebih memilih mengerjakan maksiat di bulan Ramadhan. Ya walaupun dalilnya pacaran tersebut dikerjakan setelah buka puasa begitu.Tidak sakral lagi bulan Ramadhannya kalau begitu. Mereka kira bulan Ramadhan itu waktunya dari imsak sampai adzan Maghrib kali. Setelah adzan Maghrib berubah jadi bulan Syawal misalnya. Ya kan tidak begitu. Ini lah contoh orang yang munafik dan fasik. 
       Ada yang mengejutkan lagi, ketika saya bilang "bagi yang merasa punya pacar silahkan putuskan pacarnya segera. Bilang yang baik-baik. Kalau tidak bisa merangkai kata-katanya, saya ajari". Muncul beberapa komentar setelah itu di grup "Sekarang masih bulan Ramadhan tidak boleh pacaran bang". Saya balik tanya "Tetapi kamu ada keinginan mau pacaran atau tidak?". Dia jawab "ya mau sih tapi kan sekarang masih bulan Ramadhan. Jadi tidak bisa pacaran dulu". Dia pikir dia hanya boleh pacaran di luar bulan Ramadhan. Ini pemikiran yang salah, karena itu saya luruskan di grup WhatsApp tersebut. 
        Siapa yang memberitahu mereka kalau pacaran boleh dilakukan selain di bulan Ramadhan ya? Kalau bulan Ramadhan libur dulu pacarannya, setelah bulan Ramadhan lanjut pacaran lagi. Ini kan lucu begitu. Padahal hakekatnya baik mau bulan Ramadhan atau bulan yang lain selain itu, kita tidak diperkenankan untuk berpacaran. Itu yang benar. Sebab pacaran itu kita tahu sendiri lah di agama kita melarangnya. Masa iya kita tahu sudah dilarang, malah tetap dikerjakan? Kok rasanya kita lebih patuh dengan dokter ya daripada dengan Allah. Ketika kita periksa ke dokter, dokter berkata kita terkena gejala tipes. Jadi dokter pesan dan melarang kita makan makanan yang pedas, asam, dst. Dan kita mematuhi perintah atau pesan dokter tersebut. Lah kenapa perintah Allah tidak? 
       Beberapa dari mereka dari awal sudah tahu bahwa mereka berpacaran itu salah. Buktinya mereka sadar bahwa di bulan suci mereka tidak diperkenankan untuk pacaran. Kenapa? Karena pacaran merupakan maksiat. Ya masa kita mau melakukan maksiat di bulan yang suci? Tunda dulu lah maksiatnya di bulan selain Ramadhan, ya malu saja begitu. Beda jika ada orang yang tidak tahu bahwa pacaran itu salah. Mau bulan Ramadhan atau tidak, mereka akan tetap berpacaran. Contohnya seperti barusan, setelah mengantar ibu beli gorden, saya melihat dua anak muda pacaran di depan gang. Mereka pacaran di atas motor. Yang perempuan mencoba mencari kutu atau uban di kepala pacar laki-lakinya. Di bulan Ramadhan itu. Dan di depan umum juga. Kita mungkin berpikir, apa tidak malu ya mereka pacaran di bulan Ramadhan? Lah orang pacaran itu sudah tidak punya malu sejak awal. Jadi gak usah heran seperti itu. Terima kasih 

Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?