Tiket Berdiri Pada KA Pandanwangi Sebaiknya Ditiadakan
Hari ini, saya bersama rombongan keluarga liburan ke Banyuwangi. Kami liburan kesana menggunakan layanan jasa kereta api. Selain harga ekonomis, kereta api juga merupakan transportasi darat yang nyaman. Kami memesan tiket kereta enam hari sebelum keberangkatan. Saat itu, saya lihat di aplikasi KAI Access, dari gerbong satu hingga enam sudah banyak yang terisi calon penumpang. Mungkin karena jadwal keberangkatan kereta di hari Minggu, batin saya. Kendati demikian, Alhamdulillah kami semua mendapatkan tiket duduk.
Kereta api yang kami pilih adalah kereta api lokal dengan nama Pandanwangi. Kereta ini berangkat dari stasiun Jember menuju stasiun Ketapang pada pukul 05:30 pagi. Dari sekian banyak kelebihan, kereta ini juga memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah melayani kuota tiket berdiri bagi calon penumpang. Contohnya saja hari ini, saya sangat terkejut dengan banyaknya penumpang yang memiliki tiket berdiri di atas gerbong. Padahal kereta api ini masih belum beranjak dari stasiun Jember. Tentu ini mengurangi kenyamanan bagi kami yang memiliki tiket duduk (tidak berdiri). Ini terjadi bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama karena libur sekolah plus hari raya. Kedua bisa karena lalainya pihak stasiun atau PT KAI dalam memberikan kuota maksimum tiket berdiri bagi para calon penumpang. Ini berbeda dengan KA ekonomi lain seperti Probowangi contohnya. Di KA Probowangi tidak ada tiket berdiri. Tiket habis ya sudah habis, calon penumpang harus mencari hari atau kereta api yang lain.
Saat ini saya berada di gerbong empat. Tampak saya perhatikan di bordes, banyak sekali penumpang dengan tiket berdiri. Ini berbeda dari sebelumnya di mana saya perhatikan penumpang dengan tiket berdiri tidak sebanyak ini. Rasanya kasihan sekali melihat mereka berdiri begitu. Apalagi salah satu di antara mereka ada yang sudah lansia. Pihak PT KAI seyogyanya memberikan kuota maksimum untuk penumpang dengan tiket berdiri di kereta Pandanwangi ini. Agar penumpang berdiri tidak membeludak seperti ini. Walaupun jarak tempuh kereta ini dari stasiun awal ke akhir hanya 2 jam 35 menit, pihak KAI juga harus memprioritaskan pelayanan publik. Karena kereta api merupakan transportasi umum seperti itu. Berdiri 2 jam itu lelah sekali menurut saya, khususnya bagi para lansia. Jadi saya mohon ada sebuah kebijakan dalam menyikapi masalah ini. Atau kalau perlu, tiket berdiri ditiadakan saja pada KA Pandanwangi ini.
Nah, adanya layanan tiket berdiri ini menciptakan potensi adanya sebuah bentuk kenakalan dari beberapa penumpang. Contoh kenakalan yang saya maksud di antaranya; penumpang dengan tiket berdiri, duduk di tempat duduk yang bukan miliknya, nah begitu pemilik tempat duduk itu datang, dia pindah mencari tempat duduk lagi yang kosong. Maksud saya, kalau dapat tiket berdiri ya berdiri saja. Jangan duduk di tempat duduk orang lain seperti itu. Sudah dapat izin duduk di sana apa belum? Secara tidak sengaja dosa kita kalau berbuat seperti itu. Tempat duduk itu bukan hak kita, kok malah kita tempati. Kecuali kalau sudah dapat izin dari pemilik aslinya ya tidak apa-apa. Tahu diri sedikit lah jadi orang. Maaf saja kalau saya bilang seperti ini, karena mereka yang memiliki tiket berdiri itu resek-resek. Seolah-olah kita yang memiliki tiket duduk ini yang disuruh nyari tempat duduk lain di mata mereka.
Mohon maaf, jujur dahulu saya pernah banyak jumpai penumpang yang memiliki tempat duduk, kemudian berhenti bukan di stasiun Ketapang (akhir), tempat duduknya langsung dengan cepat ditempati oleh penumpang dengan tiket berdiri. Saya tidak ada masalah dengan itu. Yang jadi masalah adalah proses merebutkan tempat duduk tersebut. Cekcoknya itu loh yang jadi masalah. Mengganggu sekali bukan? Kalau dalam bahasa Madura "ker-ekeran".
Banyak penumpang turun, pun banyak penumpang tiket berdiri yang masuk ke dalam gerbong kereta. Akhirnya apa? Suasana atau keadaan dalam gerbong tidak nyaman. Dikarenakan semakin jauh kereta menempuh perjalanan, semakin banyak penumpang dengan tiket berdiri yang naik. Tentu ini tidak nyaman, kaki sering kena senggol secara tidak sengaja, main hp serasa dilihat oleh mereka dari belakang, dan mau turun ke stasiun tujuan juga susah. Kalau laki-laki saya kira tidak ada masalah, nah kalau perempuan ini loh. Terhimpit laki-laki misalnya di bordes, tidak sengaja tersentuh bagian tubuhnya. Kalau perempuannya tidak terima kan bisa dikenakan pasal pelecehan seksual laki-laki tersebut.
Seperti yang saya katakan, saya berada di gerbong empat. Di gerbong lima itu ada pak Guntoro, rekan sesama guru saya. Saat silaturrahmi ke rumah pak Ervan, saya jadi tahu kalau saya dan pak Guntoro akan pergi ke Banyuwangi dengan kereta yang sama dan waktu yang sama. Saya bilang ke beliau "pak Gun nanti saya temui sampean di gerbong lima". Namun sekali lagi, banyaknya penumpang dengan tiket berdiri cukup menyulitkan saya menuju ke gerbong lima. Saya perhatikan ada yang duduk di bordes, berdiri, tidur, dan saya perhatikan juga sebagian dari mereka ada yang perempuan. Akhirnya saya tidak jadi menemui pak Guntoro. Sulit sekali menemui beliau tatkala kereta api sedang berjalan. Baiklah saya tunggu kereta berhenti saja. Ketika kereta berhenti, saya harus berurusan dengan penumpang baru yang hendak masuk ke dalam gerbong. Aduh sungguh sulit sekali. Sampai kereta hendak berhenti di stasiun Kalibaru, tempat pemberhentian pak Guntoro, saya itu melihat dari gerbong empat bagian paling ujung untuk melihat posisi pak Guntoro. Rencananya ketika beliau turun, saya juga ikut turun dari gerbong empat. Ya saya mau hanya sekedar bersalaman saja dengan beliau. Tetapi sekali lagi, keadaan bordes di gerbong empat itu ramai sesak sekali. Dan saya juga tidak melihat pergerakan pak Guntoro turun dari gerbong saat itu. Selain itu pandangan mata saya juga terhalang oleh mereka dengan tiket berdiri di dekat bordes. Saya bilang ke ibu saya "ma saya tidak kelihatan pak Guntoro turun dari gerbong, saya perhatikan pak Guntoro tidak ada di gerbong lima." Ibu saya cuma berkata "mungkin pak Guntoro sudah turun". Jujur malu saya mencari pergerakan pak Guntoro dari ujung gerbong empat. Karena tidak sengaja mata saya berpapasan dengan orang lain yang saya tidak kenal begitu, baik mata laki-laki maupun perempuan. Ketika saya duduk di tempat duduk, saya melihat pak Guntoro beserta keluarganya berjalan menuju pintu keluar stasiun Kalibaru. Rasa kecewa ada dan saya sama sekali tidak menyalahkan mereka yang berdiri tersebut. Yang saya salahkan manajemen PT KAI. Harusnya mereka lebih bijak lagi lah dalam menentukan batas maksimum penumpang dengan tiket berdiri. Atau kalau perlu, tiket berdiri itu tidak perlu diadakan kembali pada kereta api ini.
Adanya perbedaan penumpang dengan tiket berdiri dan duduk menimbulkan sebuah diskriminasi sosial. Jelas itu sudah. Pihak PT KAI gak pernah belajar ilmu sosiologi saya rasa. Jangankan di kereta api, di stadion pun juga ada perbedaan-perbedaan yang menimbulkan diskriminasi. Contoh ada kelas tempat duduk reguler, VIP, VVIP, dst. Kelas reguler harus duduk di kursi beton, kelas VIP dan VVIP duduk di single seat berbahan plastik maupun sejenis sofa. Saya tanya, bagaimana respon penonton di kelas VVIP begitu tahu ada banyak penonton dari kelas reguler yang mengincar tempat duduk mereka? Pasti mereka merasa risih dan tidak nyaman. Dan di sini ada juga perbedaan harga. Di stadion Hadinegoro Jember misalnya, kelas reguler itu tiket masuknya seharga 12 ribu yang bagian selatan, bagian utara 15 ribu. Tiket VIP 25 ribu, lengkap ada atapnya itu sudah. Tiket VVIP dibrandol dengan harga 35 ribu. Nah di kereta api ini? Baik tiket berdiri maupun tiket duduk dihantam sama rata, 8 ribu semua. Harusnya tidak seperti itu. Ya tentukan lah harga tiket duduk 8 ribu ok tidak masalah. Tiket berdiri jangan 8 ribu juga. Tiket berdiri menurut saya cukup 4 ribu saja. Harga yang cocok itu.
Sekali lagi, saking banyaknya jumlah penumpang, baik penumpang dengan tiket berdiri dan tiket duduk di dalam gerbong, membuat kami tidak nyaman. Sepupu saya contohnya, dia menunjukkan ke saya bahwa dia telah mengeluarkan banyak keringat. Padahal di dalam gerbong kami ber-AC, kenapa masih gerah seperti itu sepupu saya? Ya benar, jumlah penumpang banyak sekali. Harusnya pagi seperti itu suhu cuaca dingin, lantas kenapa masih gerah? Saya lihat suhu ruangan di dalam gerbong itu sebesar 23° celcius. Ini dingin bukan? Saya pun juga merasakan hal yang sama dengan sepupu saya. Setelah saya pikir-pikir, penyebab mengapa sepupu saya gerah itu dikarenakan pintu dalam gerbong selalu terbuka. Akhirnya keadaan dalam gerbong menjadi panas dan menimbulkan gerah. Sebab dingin yang dihasilkan AC keluar begitu saja dari dalam gerbong menuju pintu dekat bordes karena pintu dalam gerbong tersebut tidak tertutup. Sama halnya dengan pembaca menghidupkan AC dalam rumah, begitu AC dihidupkan, pembaca membuka semua pintu dan jendela rumah. Ya akhirnya suhu yang dihasilkan AC tidak dirasakan begitu dingin oleh pembaca bukan? Ironisnya, selama perjalanan kereta ini, tidak ada petugas KAI di dalam gerbong yang memeriksa pintu tersebut. Ya pintunya dibiarkan terbuka begitu saja. Padahal di dalam gerbong itu saya lihat ada kondektur (orang yang memeriksa tiket dalam kereta), petugas kebersihan, dan petugas keamanan. Mereka ngapain ya kira-kira di dalam gerbong itu? Main Free Fire? Kan mereka yang memiliki tanggung jawab penuh dalam memberikan kenyamanan penumpang selama perjalanan. Kondektur misalnya, itu penumpang yang tidak memiliki tiket duduk yang menempati tempat duduk orang lain, suruh berdiri saja. Petugas keamanan kemudian, penumpang yang berdiri di atas bordes itu ditertibkan dan dikondisikan supaya menciptakan kenyamanan untuk kami. Kok sama saja seperti daun kemangi dalam lalapan saya perhatikan. Ada dan tidak adanya tidak begitu dibutuhkan. Ya kan orang beli lalapan pertama yang diincar ikannya, kedua nasi dan sambalnya. Tidak ada orang mau beli lalapan yang diincar duluan itu kemanginya. Muncul lah kemudian bintang pertunjukan yang ditawarkan dalam lalapan tersebut, ada ikan lele, ayam, jeroan, gurame, dll. Tidak ada kemangi yang dijadikan bintang dalam lalapan, misalnya kemangi goreng, basah, kering, Australia, Nigeria, tidak ada. Dan lagi pemeriksaan tiket di atas gerbong juga tidak ada ini saya lihat. Tidak tahu lagi sudah saya.
Adik saya duduk di tempat duduk dengan nomer duduk 22 E. Nah, di depan dia ada penumpang yang tidak tahu diri. Penumpang tersebut memiliki tiket berdiri, tetapi dia tidak mau berdiri. Ini kan sialan sekali begitu. Ketika ada orang yang memiliki tempat duduk di tempat yang dia duduki datang, dia si brengsek ini tidak mau pindah. Dia justru kekeh duduk di tempat duduk yang bukan milik dia. Nah, akhirnya orang yang memiliki tiket duduk dan tempat duduknya diduduki sama si brengsek ini memilih mengalah. Saya bingung kok jadi orang yang memiliki tiket duduk yang mengalah pada orang yang memiliki tiket berdiri. Terbalik itu kalau menurut saya. Akhirnya orang yang memiliki tiket duduk tersebut memilih pindah ke gerbong satu. Saya dengar gerbong satu itu khusus untuk lansia dan ibu menyusui. Harusnya kan si brengsek gak tahu diri ini yang pindah. Bukan orang tersebut begitu. Karena tempat duduk si brengsek ini pemilik aslinya ya orang yang pindah itu ke gerbong satu itu tadi. Jujur saya tidak suka dengan si brengsek ini. Dia perempuan, kira-kira berusia 40 tahunan ke atas. Dia lihat ada orang yang memiliki tiket berdiri, kemudian dia suruh orang yang berdiri tersebut duduk di sebelah dia. Ya sempit lah akhirnya. Masalahnya di sebelah dia ada orang yang duduk juga. Ini kan brengsek sekali begitu. Sok ramah saja bisanya setan itu. Saya tahu orang ini, sebab saat ada penumpang di sebelah dia turun, ibu saya langsung duduk di sebelah dia. Nah, saya duduk di sebelah adik saya. Saat itu saya berdiri di dalam gerbong memang. Saya punya tiket duduk, tetapi saya memilih untuk berdiri. Sengaja saja karena memang saya niat untuk menulis dari awal. Melihat saya yang berdiri lama, yaitu tadi akhirnya ibu saya pindah di sebelah si brengsek itu, ibu saya kemudian meminta saya untuk duduk di sebelah adik saya. Mungkin ibu saya kasihan terhadap saya. Akhirnya yaitu terjadi peristiwa dimakan dan memakan di sini. Kalau katanya Thomas Hobbes ialah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia yang lain.
Pemandangan ibu menyusui dalam gerbong juga sedikit mengurangi kenyamanan saya. Lihat ke arah depan, khawatir dituduh mengintip beliau, kan bahaya ini. Seharusnya ibu tersebut kalau mau menyusui jangan di gerbong empat, tetapi di gerbong satu saja. Karena saya dengar gerbong satu itu disediakan khusus untuk lansia dan ibu menyusui. Mohon maaf, gerbong empat itu ramai sekali, disengaja atau tidak, potensi orang lain melihat ibu tersebut menyusui anaknya pasti ada. Saya yang mau memberitahu beliau juga tidak enak. Pertama karena saya tidak punya kuasa. Kedua, saya malu mengingat diri saya laki-laki. Saat itu saya hanya berpikir mungkin beliau dari awal tidak tahu dan terlanjur menempati gerbong empat yang tidak seharusnya beliau tempati. Atau mungkin beliau baru tahu, namun untuk pindah ke gerbong satu beliau sudah enggan, mengingatkan jarak dari gerbong empat ke satu jauh sekali begitu. Saya sama sekali tidak menyalahkan beliau. Yang saya salahkan adalah petugas yang bertanggung jawab di dalam gerbong kereta. Mereka kan yang punya kuasa untuk menciptakan ketertiban serta keadilan dalam gerbong ini.
Yang membuat saya kesal adalah tidak adanya pemeriksaan tiket di dalam gerbong oleh kondektur, mulai dari stasiun keberangkatan hingga akhir. Seandainya ada pemeriksaan tiket, kondektur akan tahu siapa-siapa saja penumpang yang tidak memiliki tiket duduk, namun duduk di tempat duduk orang lain. Atau bisa juga orang yang memiliki tiket duduk, namun duduk di tempat orang lain. Nah, situasi ini perlu ditertibkan oleh kondektur yang bertugas di dalam gerbong kereta. Pak Mamat mempunyai tiket duduk 4/22E misalnya, diperiksa dan dicocokkan tempat duduk yang ada di tiket dengan tempat duduk yang pak Mamat tempati saat ini. Begitu dicocokkan ternyata cocok, oh ya sudah berarti pak Mamat benar. Bu Santi, duduk di tempat duduk 2/13A, setelah diperiksa tiketnya beliau kok tiket berdiri, ah gak bener ini. Akhirnya bu Santi terpaksa diminta untuk berdiri oleh kondekturnya. Karena tempat duduk yang beliau tempati adalah tempat duduk orang lain. Namun fakta di lapangan berbicara, walaupun kita memiliki tiket berdiri, kita tetap diperbolehkan oleh kondekturnya untuk sementara duduk di tempat duduk yang pemilik aslinya masih belum naik ke atas gerbong kereta.
Tulisan ini ditulis semata-mata sebagai bentuk kritik terhadap pihak PT KAI, supaya ke depan tiket berdiri ini ditiadakan saja. Karena hal ini ada kaitannya dengan bentuk pelayanan publik begitu. Coba sekali-kali dengarkan ketika kereta hendak berhenti di stasiun, pasti ada suara announcement di dalam gerbong. Di akhir ada kalimat "terima kasih atas kepercayaan anda telah menggunakan jasa layanan KAI". Nah, kan pelayanan katanya, kok seperti itu tapi pelayanannya? Tentu ini sedikit mengurangi ketidaknyamanan bagi para penumpang dengan tiket duduk. Yang dapat tiket duduk enak tinggal duduk. Yang dapat tiket berdiri kan kasihan. Bahkan saya lihat ada penumpang dengan tiket berdiri tidur di dekat bordes dan dekat rangkaian gerbong. Kalau jatuh ke bawah kan bahaya itu. Nah, ini berkaitan dengan layanan publik. Bukannya PT KAI merupakan pelayanan publik? Nah, kalau iya maka lebih bijak lagi lah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Kebijakan tiket berdiri itu hapus saja pada kereta api Pandanwangi. Tidak masuk kalau di saya kebijakan semacam itu. Padahal, kebijakan tiket berdiri untuk kereta api ekonomi lain itu tidak ada, katakanlah Probowangi, Tawangalun, Logawa, dst. Tidak ada tiket berdiri, adanya tiket duduk saja. Kok di kereta api Pandanwangi saja yang ada? Apa karena harga tiket KA Pandanwangi yang murah? Daripada mengeluarkan kebijakan tiket berdiri, kan lebih baik nambah gerbong saja. Dengan catatan tidak ada tiket berdiri. Dengan kata lain, penumpang dalam gerbong duduk semua. Kalau nambah gerbong, masih ada tiket berdiri ya kan sama saja. Ya benar, tujuannya untuk menciptakan kenyamanan penumpang dalam gerbong saja, itu saja gak ada maksud lain saya. Menurut saya seharusnya kebijakan yang dikeluarkan adalah menambah jumlah gerbong, bukan justru menjual tiket berdiri. Tidak benar itu, lebih-lebih harga tiket duduk dan tiket berdiri dijual sama rata. Harapannya semoga lebih baik saja lah kinerja PT KAI ini. Yang terakhir, pelayanan tiket berdiri untuk KA Pandanwangi ini, dihapus saja. Terima kasih
Ditulis pada 30 April, di dalam gerbong kereta api Pandanwangi.