Setiap Melihat Orang Pacaran, Semakin Besar Kemauan Untuk Menulis Tentang Pacaran

        Akhir-akhir ini, saya malas sekali menulis hal-hal yang berbau pacaran. Terlebih lagi,  tulisan saya sudah banyak yang membahas tentang pacaran. Jadi untuk apa nulis banyak hal yang berbau pacaran begitu. Saya itu ingin menulis hal-hal yang berbeda, supaya isi blog saya judul tulisannya variatif. Contohnya ada masalah sosial, politik, hukum, pendidikan, ekonomi, dll. Jadi tidak seputar pacaran terus seperti itu. Saya saja penulisnya sendiri bosan, apalagi pembaca setia blog saya? Kendati demikian, entah kenapa setiap melihat orang pacaran, kemauan menulis dalam diri saya itu besar sekali. Sehingga yang terjadi, judul tulisan saya banyak yang membahas tentang pacaran. 
       Terus terang, tatkala melihat orang yang sedang berpacaran, perasaan saya itu tidak karuan. Ada rasa kesal, gusar, gundah, jengkel, kasihan, dan sebagainya. Sebab mereka menjalani pacaran tidak menempuh jalan berpikir terlebih dahulu. Sehingga mereka tidak tahu kebenaran dalam pacaran itu seperti apa. Pokoknya asal berpacaran begitu saja. Yang penting happy katanya. 
       Mengapa tatkala melihat orang berpacaran, rasa ingin menulis dalam diri saya besar sekali? Sebab di usia 22 tahun, saya telah mempelajari apa itu cinta, wanita, dan pacaran ke teman-teman saya. Nah, awalnya saya ingin belajar dua hal, yakni cinta dan wanita. Teman saya kemudian berkata "kalau ingin tahu kedua hal itu, pacaran saja. Nanti tahu -tahu sendiri saat pacaran." Nah, dari sana saya juga memutuskan untuk belajar mengenal pacaran. Belajar saja, tidak menjalani seperti itu. Saya belajar ketiga hal itu karena beberapa alasan. Pertama usia, ketidaktahuan, lingkungan (teman sudah banyak yang pacaran, tunangan, nikah), ditanya soal pasangan oleh orang-orang sekitar, filsafat, murni keinginan untuk belajar, dst. Namun saya gagal dalam memahami ketiga hal tersebut. Tidak berhenti di sini, Allah memberikan saya ilmu laduni tentang ketiga pengetahuan tersebut. Memang saya yang memohon kepada-Nya supaya saya diajarkan ketiga hal tersebut. Sebab ketika belajar dengan manusia, saya selalu tidak setuju dan akhirnya tidak paham. Yang ada teman-teman saya jadi tambah emosi menghadapi saya. Itu kata teman saya sendiri. Jadi mereka menjelaskan, saya itu selalu membantah dan tidak setuju dengan penjelasan mereka. Dari belajar ketiga hal itu juga, saya kehilangan sosok seorang teman. Dia terlihat kesal dan tidak mau berteman dengan saya seperti saat kita awal kenal. Sampai sekarang pun hubungan pertemanan kita menjadi renggang, tak seperti awal kenal dulu. Terlepas dari itu, saya hanya ingin mengatakan andai pembaca tahu betapa menderitanya saya tatkala menerima ilmu laduni. Saya dibuat ketakutan tidak jelas tatkala menerima ilmu laduni tersebut. Saya juga mengalami stress, trauma, dan neurosis eksperimental. Yang tadinya tidur di atas jam sepuluh malam, saya jadi tidur jam delapan malam. Sebab tidak kuat menahan rasa takut setelah menerima ilmu laduni tersebut. Bukan sepersekian hari saya menerimanya, tetapi sepersekian detik. Perlu diketahui ilmu laduni ini adalah ilmu yang diperoleh manusia dari Allah tanpa melalui proses belajar. Jadi manusia itu tahu-tahu sendiri seperti itu. Terakhir, saya juga dakwah tentang larangan pacaran di grup wa. Ini sudah jalan-Nya menurut saya. Sebab dari awal saya itu tidak ada niat untuk dakwah perihal pacaran di grup wa tersebut. Saya itu hanya iseng pinjam hp adik saya kemudian membuat gaduh di grup wa tersebut. Adik saya tidak suka, katanya dia kalau mau membuat kekacauan di hp saya sendiri saja. Akhirnya dia memberikan saya link grup wa. Ketika saya lihat, kok isinya anak-anak semua, dan mayoritas perempuan. Saya iseng chat di grup tersebut "hai bocil". Kadang saya juga chat menggunakan full bahasa Inggris. Melihat respon mereka, cukup membuat saya tertawa. Entah kenapa kemudian terlintas dalam benak saya untuk berdakwah tentang larangan pacaran di grup tersebut. Ketika dakwah di grup wa tersebut, ada dampak positif yang bisa saya rasakan, yakni ketakutan dalam diri saya semakin hari semakin menghilang. Tidak hanya berdakwah, saya juga belajar dari pengalaman mereka selama mereka berpacaran. Ini yang jadi sumber landasan berpikir di judul blog-blog saya sebelumnya. Nah, saya menyampaikan dakwah sesuai dengan ilmu laduni yang saya terima sebelumnya. Tidak terhitung sudah berapa anak yang putus dengan pacarnya karena dakwah dari saya. Namun dalam tulisan ini, saya tidak menyampaikan bagaimana cara saya berdakwah, karena itu akan menjadi tulisan yang sangat panjang. 
       Sebelum saya berusia 22 tahun, tidak pernah muncul rasa jengkel, sedih, maupun marah dalam diri saya ketika saya melihat orang lain berpacaran. Sama sekali tidak ada. Teman saya contohnya, pernah berbagi kasih dengan pacarnya kemudian dipost di status wa, wah seneng sekali saya melihatnya jujur ini. Ketika teman saya berbagi kasih dengan perempuan lain di status wa, entah kenapa saya jadi kesal dengan pacarnya teman saya. Bisa-bisanya dia putus dengan teman saya seperti itu. Namun saat ini, mohon maaf saya telah menjadi barisan orang terdepan yang sangat menentang apa itu pacaran. Sebab saya telah mengetahui kebenaran di dalamnya. 
      Saya dan pacaran itu dulu seperti apa ya? Apa ya? Gak punya hubungan atau urusan penting saya dengan pacaran dulu. Saya tidak tahu kebenaran pacaran itu seperti apa dan saya pun terlihat mengizinkan orang-orang di sekitar saya untuk berpacaran. Artinya, saya tidak memberikan intervensi berarti dengan orang-orang yang berpacaran. Mau pacaran ya silahkan, tidak ya silahkan. Dan saya juga dulu tidak pernah membawa agama dalam memandang pacaran. Saya juga tidak pernah memandang bahwa pacaran itu adalah perbuatan maksiat dan menimbulkan dosa. Semua itu bisa dikatakan bahwa dulu itu terjadi gap antara saya dengan pacaran. Walaupun pacaran itu sendiri ada di sekitar saya. Atau sederhananya saya tidak terlalu memikirkan dan tidak peduli dengan pacaran. Saya masih sangat cinta dengan ilmu waktu itu dan saat ini. Sehingga kehadiran pacaran di depan saya serasa terlihat buram. Ketertarikan atau keinginan untuk terjun di dalamnya juga sama sekali tidak ada. Ya ngapain? Menambah repot hidup saja. Yaitu tadi saya masih senang bersekolah dan mencari ilmu. 
        Saya pernah dengar kata-kata ustadz di YouTube, tetapi mohon maaf saya lupa nama ustadznya. Saya hanya sekedar scroll-scroll YouTube saja waktu itu. Begitu saya coba lihat lagi, ternyata tidak ada. Beliau berkata "seorang mualaf yang mau dan memilih untuk memeluk agama Islam, pasti dia telah menempuh jalan berpikir terlebih dahulu. Dia belajar kesana-kemari untuk mencari tahu kebenaran tentang Islam, begitu hatinya mantap, dia memutuskan untuk memeluk Islam". Ya sama, saya menentang pacaran ini sebagai hasil dari berpikir dan belajar terlebih dahulu. Tidak lantas saya tiba-tiba menentang pacaran begitu saja tanpa sebab. Kan lucu itu namanya. Bagi saya, pacaran itu adalah kebodohan yang terus menerus dikerjakan. Lucunya beberapa yang mengerjakan adalah orang yang berilmu. Apa sih yang mau dicari di dalam pacaran? Cinta? Tidak ada cinta dalam pacaran. Yang ada hanya obsesi dan persepsi (istilah psikologi). Mohon maaf, saya tidak pernah membenci atau ada masalah dengan orang yang berpacaran. Yang saya benci dan permasalahkan itu kata "pacaran" saja. Kata "pacaran" ini kan yang jadi sumber masalah? Kalau tidak ada kata pacaran tersebut, ya tidak akan pernah ada yang namanya pacaran. Mau pacaran bagaimana, orang simbol/kata pacaran tidak ada. Ini perlu saya luruskan, khawatir pembaca salah paham. 
        Rasa kesal maupun jengkel tatkala melihat orang berpacaran bisa hilang begitu saja ketika saya berhasil menulis hal yang berbau pacaran. Kalau tidak ditulis itu rasanya ada yang tidak enak dalam diri saya seperti itu. Kurang lega rasanya seperti itu. Apalagi saat saya lihat murid saya sendiri yang pacaran. Wah membara sekali api semangat dalam diri saya. Jangankan lihat, dengar saja, saya semangat sekali yang mau menulis. Sesuatu yang tadinya bukan urusan saya, bisa menjadi urusan saya kalau seperti ini. Kendati demikian, saya selalu gagal menghentikan murid-murid saya untuk tidak pacaran. Sedih dan terpukul sekali rasanya. Mereka merasa dirinya paling benar, ya sudah. Besok-besok ucapan saya juga akan terbukti oleh mereka sendiri. Saya sampai mengemis di hadapan murid saya agar mereka berhenti untuk tidak pacaran. Tetapi yang ada mereka justru mengabaikan nasehat saya. Saya cuma mau bilang andai saja mereka mengerti penderitaan yang saya alami saat menerima ilmu laduni. Saya jamin 100%, mereka tidak akan mau berpacaran. Bagaimana rasanya selalu diselimuti dengan rasa takut seperti itu. Setiap melihat orang pacaran di jalan, saya itu refleks menundukkan kepala saya. Sebab saya merasa takut saja seperti itu. Dulu tidak seperti itu. Melihat orang pacaran ya biasa saja begitu, tidak sampai menundukkan kepala seperti itu. Saya itu sampai bolak-balik meminta ke orang tua dan teman saya, supaya saya diantarkan ke psikiater. Tetapi justru mereka tidak mengizinkan karena faktor biaya. Kalau kata ibu saya "tidak apa-apa, lama-lama lupa sendiri". Kalau kata teman saya "aduh Galuh, masih muda sudah stress. Ngapain ke psikiater? Ngabisin uang aja". Jujur, saya sampai nangis begitu tahu murid saya pacaran. Tidak tahu saya, tiba-tiba air mata jatuh sendiri. Jujur kontak mereka itu saya hapus semua, saking kesalnya diri saya. Kalau bisa, saya ingin mereka mengalami penderitaan yang saya alami tatkala menerima ilmu laduni tersebut. 
       Seandainya dari dulu saya tidak pernah mencoba untuk belajar mengenal wanita, cinta, dan pacaran, mungkin sekarang saat melihat orang pacaran, respon saya biasa saja. Dan pasti tidak akan ada yang namanya semangat menulis tentang pacaran. Karena saya tidak tahu apa-apa tentang pacaran, kok tiba-tiba mau bahas pacaran, lucu itu. Sebelum usia 22 tahun, pengetahuan saya tentang pacaran itu nol besar sekali. 100 nol kalau diletakkan dalam nol besar itu tadi masih muat. Bahkan dulu saya itu tidak pernah  memandang pacaran sebagai perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa. Saya dulu memandang pacaran sebagai sebuah budaya dan musim saja. Ya sudah saat ini, saya terima ini sebagai jalan dan nasib saya. Aristoteles pernah berkata " pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan menentukan karakter. Dan karakter menentukan nasib." Kalau boleh milih, jujur saya lebih memilih tidak belajar mengenal apa itu  wanita, cinta, dan pacaran. Tidak apa-apa nol besar saja. Itu lebih baik menurut saya. Mengetahui ketiga hal itu hanya membuat hidup terasa tidak tenang dan ketakutan. Tapi ya sudah, ini adalah nasib yang harus saya terima. Pengetahuan yang saya dapatkan di sini akan terus saya sebar. Ya Alhamdulillah lambat laun saya mulai hidup tenang dan tidak ketakutan lagi seperti dulu-dulu saat menerima ilmu laduni. Ya berkat dakwah di grup wa, di depan murid saya, nulis tentang pacaran ini, ketakutan dalam diri saya mulai terus menghilang. Saran saya untuk para pembaca, lebih baik tidak perlu mencoba untuk belajar yang namanya pacaran. Lebih baik tidak tahu saja. Lagipula pacaran itu tidak bisa dipelajari. Kalau benar-benar ingin tahu, anda harus mengerjakan pacaran itu sendiri. Ainan, teman saya yang pandai ilmu filsafat, juga pernah mengatakan hal demikian ke saya dulu. Kalau saya mohon maaf tidak mau mengerjakan itu. Belajarnya saja saya kesulitan, apalagi menjalaninya, kan gitu? Lebih baik tidak perlu belajar pacaran sudah, tidak akan menemukan kebenaran di dalamnya, kecuali kalau anda menerima ilmu laduni tentang pacaran, itu beda cerita lagi. Namun ya, bagi saya pribadi, tidak mengetahui ketiga hal yang saya sebutkan di atas tadi juga menyakitkan begitu. Terlepas dari itu, saya kembalikan lagi ke para pembaca supaya lebih bijak lagi dalam bertindak. Terima kasih 


















Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?