Kenapa Saya Sendiri yang Bayar Tujuh Ribu?

        Walaupun status saya bukan guru PNS atau P3K, saya tetap pulang mengikuti jam dinas, yaitu jam 14:00 WIB. Sebetulnya, banyak guru yang meminta saya untuk pulang ketika murid dari kelas tinggi pulang, namun saya menolaknya. Ini sudah menjadi prinsip kerja saya. Prinsip kerja saya adalah saya harus datang ke sekolah lebih awal dari kepala sekolah dan saya harus pulang lebih akhir dari beliau. 
        Pulang jam 14:00 WIB, membuat saya sering merasa lapar di siang hari. Hal itu memaksa saya mau tidak mau untuk beli makanan. Biasanya, saya membeli makanan di rumah Bu Nyoto, seseorang yang rumahnya dekat dengan area sekolah. Selain jaraknya dekat, harganya juga terjangkau, yakni satu porsi nasi pecel dijual seharga enam ribu rupiah. Harga segitu kita sudah bisa dapat lauk yang banyak seperti; dadar jagung, tempe goreng yang dipotong kecil-kecil, tahu kocek, mie telur, dsb. 
       Awal membeli nasi di rumah Bu Nyoto, saya membayar enam ribu rupiah. Karena memang segitu harga yang saya dengar dari rekan-rekan guru yang lain. Esok dan keesokan harinya lagi, tatkala membeli nasi di sana saya membayarnya tujuh ribu. Alasan saya memberi lebih karena saya kasihan saja begitu. Sudah nasinya dapat banyak, lauknya pun juga dapat banyak, apa iya saya harus membayarnya enam ribu. Menurut saya, tujuh ribu itu adalah harga yang pantas. Ketika saya membayar dengan uang tujuh ribu, Bu Nyoto rupanya tidak menolak itu. Keesokan harinya lagi, saya membeli nasi dan memberikan uang sepuluh ribu ke Bu Nyoto. Oleh beliau saya diberi uang kembalian tiga ribu. Esok harinya pun terus demikian. Setiap saya membeli nasi di sana, saya harus membayarnya tujuh ribu. Saya sudah coba dengan membayar menggunakan uang sepuluh, dua puluh, dan lima puluh ribu, harga nasi tersebut sudah terhitung tujuh ribu. Mau nasinya berkurang, lauknya jadi sedikit, harga yang harus saya bayar adalah tujuh ribu. Perlu diketahui, harga tujuh ribu adalah harga khusus untuk saya, tidak untuk guru-guru yang lain. Saya juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Sampai detik ini pun,  mau nasi dan lauknya bertambah atau berkurang, harga untuk saya adalah tetap tujuh ribu. 
       Dahulu, saya pernah membeli nasi ke Bu Nyoto bersama rekan guru yang lain. Ada saya, pak Gun, pak Hilal, dan Bu Rifa. Niatnya, kami mau makan bersama di dalam kelas sepulang siswa-siswi sekolah. Ketika makan bersama sudah selesai, saatnya membayar. Kami waktu itu memutuskan bayar sendiri-sendiri, karena kita selesai makannya tidak bersamaan. Saya sudah selesai, rekan saya yang satunya masih belum selesai makan begitu. Rupanya, ketiga rekan guru saya membayar enam ribu semua, sedangkan saya sendiri yang bayar tujuh ribu. Padahal saya ingat sekali menu saya biasa saja. Saya beli pecel waktu itu. Yang lebih parahnya lagi adalah ketika saya beli nasi pecel bersama pak Ervan. Saya bayar tujuh ribu, pak Ervan bayar lima ribu. Ini kan berbeda sekali, padahal porsi yang kita dapatkan sama rata. Ya tolonglah, maksud saya tujuh ribu itu untuk sekali waktu itu saja, bukan keesokan dan keesokan harinya saya terus dipatok dengan harga tujuh ribu. Ya sebab porsinya kadang tidak konsisten, kadang dapat banyak dan kadang juga dapat sedikit. Dan lucunya saya dipatok dengan harga yang sama. Saya jadi membayangkan bagaimana jadinya seandainya saat itu saya membayar satu porsi dengan uang sepuluh ribu, bukan tujuh ribu. Apakah keesokan harinya saya akan dipatok dengan harga sepuluh ribu seperti itu? 
       Pernah suatu hari saya beli nasi di Bu Nyoto. Saya tidak ada uang kecil, karena itu saya sodorkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Lah kemudian saya ternyata menerima kembalian sebesar dua ribu rupiah. Saya tanya "loh naik harganya Bu Nyoto?" Kemudian beliau tanya kembali "itu barusan uang kembaliannya berapa?" Saya bilang "dua ribu". Nah, kemudian oleh beliau ditambah seribu lagi, sehingga uang kembalian saya jadi tiga ribu. Seandainya saya diam saat itu, saya kira keesokan harinya lagi saya akan dipatok dengan harga delapan ribu. Nah, di sini perlu adanya harga tetap yang tertulis untuk para pembeli. Ya repot juga, banner berisi daftar harga, Bu Nyoto tidak punya juga. Sehingga yang ada, harga untuk satu piring nasi dijual berbeda-beda. Bu Halimah contohnya kemarin saya tanya, dia hanya bayar lima ribu. Lah kenapa saya sendiri di sini yang tujuh ribu. 
       Dalam tulisan ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mempersalahkan nominal tujuh ribu. Bukan artinya Saya tidak ikhlas bukan. Saya anggap biarlah sudah. Biarkan itu jadi rezeki tambahan untuk Bu Nyoto. Tetapi yang saya permasalahkan di sini adalah keadilan bersama. Saya ini guru honorer, kalau dipikir seharusnya saya yang pantas untuk bayar lima ribu. Namun faktanya yang bayar lima dan enam ribu adalah rekan-rekan saya yang PNS dan P3K. Jelas ini tidak adil bukan? Bu Nyoto bisa loh kalau mau, mengingatkan saya tatkala saya hendak menyodorkan uang tujuh ribu, "pak ini uangnya lebih, harga nasi di sini hanya enam ribu", bisa beliau bilang seperti itu. Tetapi beliau hanya diam saja dan menerimanya. Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini adalah; tidak enakan dan merasa kasihan dengan orang boleh, dan itu perlu, tetapi orang yang tidak enakan dan selalu merasa kasihan biasanya akan bertemu dengan orang yang tidak tahu diri. Terima kasih 








Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?