Jangan Ajari Anak Anda Bahasa Indonesia di Rumah

       Pernah suatu ketika di ruang tamu, saya curhat pada ibu saya. Saya curhat panjang lebar karena merasa kesal setelah tahu hasil ulangan bahasa Jawa murid saya itu jelek semua. Sama sekali tidak ada yang menyentuh angka 60 nilainya. Di kelas lain, guru kelas yang lain pun juga mengeluhkan hal yang sama di mana hasil UAS Bahasa Jawa peserta didiknya hancur lebur. Mendengar itu, ibu saya teringat nasehat dari almarhum bapak Sukemi, tetangga saya. 

       Kejadian itu bermula saat saya berusia kurang lebih tiga tahun. Di sore hari, ibu saya tengah menyuapi saya di dekat pohon belimbing depan rumah bapak Maryadi. Di tengah waktu menyuapi saya, ibu juga mengajarkan saya bagaimana mengucapkan kata dalam bahasa Indonesia yang benar. Kira-kira ibu bilang seperti ini " Reza bentar lagi kan mau masuk TK, nanti kalau ditanya sama gurunya, namanya Reza siapa, Reza jawab apa? Terus kalau ditanya nama orang tuanya, Reza jawab apa? Terus kalau ditanya umur berapa, Reza jawab apa? Terus kalau ditanya rumahnya di mana, Reza jawab apa? Terus kalau ditanya besar nanti mau jadi apa, Reza jawab apa?" dan seterusnya tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Nah, di pertanyaan terakhir ketika besar nanti saya jadi apa, saya kecil  menjawab "nit nut." Nah, itu kata ibu saya. Karena saya sudah tidak ingat lagi, bayangkan berapa tahun yang lalu itu sudah. Nit nut di sini artinya masinis ya. Karena memang benar, waktu kecil saya itu suka sekali dengan kereta api dan ingin mengendarainya.

       Saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan ibu saya, ada salah satu pertanyaan yang saya jawab menggunakan bahasa Jawa. Lalu ibu mengoreksi dan memberitahu saya bahasa Indonesia yang benar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam menjawab tersebut, ada koreksi juga dari ibu saya mengenai cara pelafalan kata dalam bahasa Indonesia yang benar. Contoh kata "kaos kaki". Saya kecil dulu nyebutnya "sokik". Nah, di tengah-tengah obrolan saya kecil dengan ibu saya, muncul seorang bapak-bapak menghampiri kami. Bapak itu berkata "anak sampean jangan diajari bahasa Indonesia Bu. Karena di sekolah nanti dia akan mendapatkannya. Ajarilah anak sampean berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Oh penting sekali itu Bu." kira-kira seperti itu ya. Bapak yang menasehati kami itu adalah almarhum bapak Sukemi. 

       Bapak Sukemi itu adalah orang terpandang di kampung kami. Saya kira beliau satu-satunya orang yang paling berpengaruh dan terkenal di kampung kami. Beliau merupakan mantan pegawai di Kemenag, beliau juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah, beliau juga aktif menjadi imam sholat dan khotib sholat Jum'at, dsb. Menurut cerita yang saya dengar, beliau selalu menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dengan keluarganya. Anak beliau yang nomer tiga itu teman baik saya. Dulu saat SD, saya pernah melihat dia menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan beliau. Jujur, anak-anak beliau itu mahir sekali dalam berbahasa Jawa sampai detik ini. 

       Nah, dari nasehat beliau lah, kemudian ibu saya merubah cara pandangnya. Ibu saya kemudian mulai mengajarkan bahasa Jawa dasar untuk saya. Itu kata ibu saya sendiri. Saya mulai diajarkan ketika ada orang tua duduk di pinggir jalan, saya harus mengucapkan nyuwun sewu. Ketika saya dipanggil oleh orang yang lebih tua, saya harus mengucapkan dalem. Ketika saya berbuat salah pada orang lain, saya harus mengucapkan nyuwun pangapunten. Sejak kecil saya juga dibiasakan untuk berkata kulo, sampean, panjenengan, nggih dan mboten oleh ibu saya. Dan kebiasaan itu terbawa hingga sekarang. Sampai sekarang pun saya dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa halus. 

      Saat SD dulu, banyak guru kelas yang memuji saya karena saya anaknya sopan dan kalem. Ya karena saya menggunakan bahasa Jawa halus itu tadi tatkala berinteraksi dengan guru saya. Karena memang orang Jawa itu terkenal dengan sifat kalem dan kelemahlembutannya dalam hal bertutur kata dan berkomunikasi. Sehingga dalam menggunakan bahasa Jawa halus itu tadi karakter kalemnya merasuk ke dalam pribadi saya.  Yang lucu itu pas saya SMP. Saya masuk ke ruang BK, niat mau ngambil jurnal harian. Sesampai di dalam, ditanya oleh guru  menggunakan bahasa Jawa. Saya lalu menjawabnya menggunakan bahasa Jawa halus. Setelah itu beliau kagum dan memberi saya sebuah jambu. 

        Akhir-akhir ini, sulit kita jumpai anak-anak yang menggunakan bahasa Jawa tatkala berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Kebanyakan dari mereka pasti menggunakan bahasa Indonesia. Contoh terdekat di lingkungan RT saya pribadi. Kalau ngobrol sama temannya, mereka ngobrol dalam bahasa Jawa (kasar). Kalau ngobrol sama orang yang lebih tua ini, sulit menemukan anak yang menggunakan bahasa Jawa. Nah, saya kira di sini ya pentingnya orang tua mengajarkan anak menggunakan bahasa Jawa di rumah seperti apa yang dikatakan oleh almarhum bapak Sukemi. Karena seiring berkembangnya zaman, lambat laun penggunaan bahasa Jawa semakin tersisihkan dengan Bahasa Indonesia maupun Bahasa asing. Contoh anak-anak sekarang jarang membuat story WA dengan caption Bahasa Jawa. Kebanyakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 

     Saya masih ingat betul tatkala tes masuk SD. Di sana saya ditanya beberapa pertanyaan menggunakan bahasa Indonesia. Full servis bahasa Indonesia semua pokoknya. Saya juga tidak tahu mengapa demikian. Ketika saya duduk di kelas pun, guru menjelaskan materi menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, saya pernah melihat guru mengajar bahasa Jawa, namun menjelaskannya menggunakan bahasa Indonesia. Yang susah itu kelas satu. Karena kelas satu itu pembelajarannya cenderung calistung. Begitu disuruh membaca dalam pelajaran bahasa Inggris atau Jawa, jadi hancur cara membaca mereka sudah. Karena sudah melekat dan terbiasa membaca teks dalam bahasa Indonesia. 

      Satu hal yang jadi perhatian saya adalah buku bahasa Jawa peserta didik. Karena isinya menurut saya cenderung pada sastra. Hal-hal yang tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari begitu. Contohnya aksara Jawa, teks naratif berbahasa Jawa, cangkriman, dst. Dan satu lagi, zaman saya SD hampir semua siswa memiliki Pepak Bahasa Jawa. Nah, sekarang itu siswa yang memiliki Pepak di kelas bisa dihitung jari. Ya jangan harap bisa berbahasa Jawa dengan baik kalau seperti itu. Satu sih yang saya harapkan yakni adanya perbaikan ulang buku bahasa Jawa pegangan peserta didik. Isinya difokuskan pada keterampilan berbahasa sehari-hari saja. Nanti kalau sudah SMA baru belajar sastranya. SD itu fokus hal dasar dalam bahasa Jawa saja. Ya namanya saja sekolah dasar, ya dikasih yang dasar-dasar saja dulu. Saya nggak tahu mau berkomentar apa lagi. Saya itu menerima pelajaran bahasa Jawa sampai SMP saja. SMA dan PTN ngga dapat pelajaran bahasa Jawa saya. Ketika saya jadi guru kelas terus disuruh ngajar bahasa Jawa ya mohon maaf bisa tapi hasilnya tidak maksimal. 






Postingan populer dari blog ini

Rupanya Ada Yang Mengendus Blog Saya

Tiga Tipe Teman Saat Kau Jatuh di Dasar Jurang

Sejak Kapan Presentasi Dilarang Tanya?