Negara Selalu Merusak Momen Indah Keluarga
Siang tadi sekitar pukul 13:00 WIB, saya menjenguk murid saya yang tengah sakit. Dia tidak masuk sekolah selama lima kali berturut-turut. Sebagai wali kelasnya, hal itu tentu membuat saya khawatir dan ingin tahu kabar dia terkini.
Sampai di rumah murid saya, saya disambut oleh kakaknya. Dia mempersilahkan saya masuk, sedangkan dia keluar untuk menyusul dan mengabari ibunya yang sedang berjualan di warung. Di kamar, saya duduk sembari bertanya kabar murid saya. Dia tampak panas saya pegang keningnya. Terjadilah sebuah obrolan singkat di sini.
Saya mulai tanya perihal sakit yang dideritanya. Dia jawab sakit panas. Lalu saya tanya lagi perihal keluarganya "itu tadi siapa?" Dia jawab "kakak saya." Kemudian saya tanya lagi kemana ibu kamu. Dia jawab ibunya jualan di warung. Saya tanya "ayahnya kerja?" Dia jawab "iya pak kerja di Gresik." Di sini saya tidak tahu pasti pekerjaan ayah dia apa. Tiba-tiba ibunya datang.
Ibunya datang menyambut saya dengan ramah. Ya di sini juga terjadi beberapa obrolan singkat antara saya dengan ibu murid saya. Pertama, yang saya tanyakan sakit apa anak itu. Ibunya jawab kalau malam itu suhu tubuhnya naik. Lalu ibunya juga berkata, kalau anaknya itu susah sekali minum tablet obat. Dihaluskan pun tablet obat tersebut hasilnya tetap sama. Anak itu pada akhirnya muntah. Akhirnya sebagai solusi, yang diminum oleh dia adalah larutan cap kaki tiga.
Dalam tulisan ini, bukan itu yang saya permasalahkan. Yang saya permasalahkan adalah mengapa negara terus menghancurkan momen indah di dalam keluarga hingga ayah murid saya ini merantau untuk kerja di luar kota. Itu dilakukannya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik untuk keluarga. Apa sesulit itu menciptakan lapangan pekerjaan di kabupaten sendiri.
Seharusnya pemerintah sedikit peka dengan masalah sosial ini. Saya kasihan dengan murid saya. Dia tinggal bersama ibu dan kakaknya di rumah. Sementara, ayahnya kerja ke luar kota. Ini mengingatkan saya akan murid saya bernama Zulfan. Sekarang anaknya sudah kelas 6.
Tahun 2022 silam, dia terpaksa pindah ke luar pulau demi ingin hidup bersama ayahnya. Tadinya, Zulfan ini tinggal bersama ibu dan adiknya saja. Ayahnya pun tadinya juga tinggal di Jember. Karena ada alasan pribadi sampai beliau akhirnya terpaksa untuk kerja ke luar pulau. Satu Minggu pertama, Zulfan dan ibunya masih aman-aman saja. Tapi Minggu selanjutnya, rasa kangen dan ingin berkumpul itu ada. Pernah, ibunya itu datang ke sekolah untuk mengurusi surat pindah dan pamit ke guru-guru. Namun, sekolah saat itu menyarankan ditunda dulu sedikit lebih lama. Suratnya sudah dibuat oleh sekolah. Namun kalau bisa, pamitnya itu setelah rapotan saja. Karena nanggung gitu lah menurut pihak sekolah.
Zulfan itu murid kesayangan saya. Dia adalah satu-satunya anak kelas 2 yang les bahasa Inggris di rumah daya. Anak ini jenius sekali. Pertanyaan yang dia ajukan ke saya, semuanya itu ada dasar filosofisnya. Contohnya; kenapa bisa ada banjir, di rumah hujan deras tapi tidak banjir, gunung itu bisa meletus kenapa ya, dst. Dalam hati saya "calon filosof anak ini." Dan saat itu, saya layani semua pertanyaan anak itu. Ya Alhamdulillah dulu pas MAN, saya mendapatkan pelajaran geografi. Jadi tahu lah walaupun sedikit. Pertanyaan dia itu tidak sama seperti anak-anak seusianya gitu, itu yang bikin saya kagum. Mahasiswa PPG kemarin, kalau dibandingkan dengan dia ya kalah jauh. Dia sekarang ada di Makassar bersama keluarganya. Jujur, saya ingin sekali mengajar dia lagi. Terus terang anak ini spesial dan saya ingin menjadikan kelebihan yang dimiliki dia itu menjadi senjata yang mematikan (positif)
Melalui tulisan ini, saya mohon lah kepada pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak. Agar tidak ada lagi ayah-ayah hebat yang harus rela kerja ke luar kota demi kebahagiaan keluarganya. Biarlah mereka ayah-ayah itu kerja di sini. Agar mereka bisa terus dekat dengan keluarganya. Saya jujur merasa kasihan. Saya tidak ingin apa yang dialami oleh dua murid saya, dialami oleh anak-anak yang lain. Dua murid saya itu kan sebagaian kecil sampel saja. Saya yakin di luar sana banyak ayah-ayah yang bertarung untuk membuat keluarganya bahagia. Caranya tentu beda-beda, salah satunya kerja di luar kota atau pulau. Saya harap pemerintah lebih tanggap lah masalah seperti ini. Terima kasih