Bukan Soal Uang, Ini Soal Respect
Dua Minggu yang lalu, saya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Saya sempat bertanya-tanya "ada apa gerangan?" Sampai di sana, saya oleh kepala sekolah ternyata diberi tanggung jawab untuk memegang Lab IPA. Beliau lalu meminta saya untuk mengerahkan siswa-siswi saya untuk ikut membersihkan Lab tersebut Minggu depan.
Saya kembali bertanya-tanya kenapa saya yang diberi amanah untuk memegang Lab. Kenapa tidak ruangan yang lain begitu. Ruang UKS atau apa misalnya. Kalau UKS kan enak ruangannya kecil, sudah bersih lagi. Apalagi kalau mushola juga lumayan enak. Setiap hari sudah bersih, apalagi yang mau dibersihkan. Saya sempat membagikan keluhan saya itu ke rekan sesama guru. Rekan saya berkata "sampean sih mas terlalu rajin. Makanya sampean disuruh pegang Lab." Dalam hati saya, masak saya harus menunjukkan bahwa saya ini tidak rajin di depan orang-orang. Ya kan gak mungkin begitu.
Minggu depannya, saya mengerahkan peserta didik saya untuk membawa perlengkapan kebersihan dari rumah seperti: sapu, cikrak, kemoceng, masker, dan lap. Kalau alat pel biarlah pake punya sekolah dulu. Hari kamis setelah selesai olahraga, murid saya yang laki-laki saya suruh membersihkan Lab. Yang perempuan saya suruh menyusun bendera Agustusan. Lagi-lagi saya itu dapat perintah lagi dari sekolah. Singkat cerita, lantai dan langit-langit Lab IPA sudah dibersihkan.
Jujur, saya merasa lelah membersihkan Lab itu. Boleh dikatakan hampir 60% saya yang kerja. Murid-murid saya ya begitu lah kebanyakan bermain dan bercanda. Kendati demikian, ada satu dua anak yang saya lihat rajin dan serius membantu saya. Bayangkan dari sekitar jam 10:30, kami selesai membersihkannya sekitar jam 12:00. Loh kotor sekali Labnya. Begitu baru disapu, debunya beterbangan kemana-mana. Seandainya murid yang perempuan juga ikut membersihkan Lab enak, bisa cepat selesai pekerjaannya. Tapi murid yang perempuan saya suruh menyusun bendera Agustusan. Kalau yang laki-laki lama itu pasti. Karena mau diminta besok itu benderanya sama sekolah.
Keesokan harinya, saya memberitahu kepala sekolah bahwa saya dan kelas saya sudah membersihkan Lab. Oleh beliau lalu dilihat lah lab itu. Saya tidak tahu, setelah itu nggak ada apa-apa lagi. Upah lelah itu nggak ada. Jangankan upah lelah, ucapan terima kasih saja nggak ada. Paling tidak berikanlah upah lelah untuk saya sebagai bentuk menghargai kinerja saya. Kalau bukan saya dan kelas saya, tidak akan sebersih itu lab itu. Dalam hati saya, wah kalau begini mah artinya kepala sekolah mau menjajah saya ini. Mau memanfaatkan saya saja begitu. Dulu itu saya kan langsung ditunjuk dan diberi tanggung jawab pegang lab saja gitu. Saya nggak diberi kesempatan memilih untuk milih ruangan apa terlebih dahulu. Kalau diberi kesempatan, lebih baik saya pilih UKS saja. Nah, ini saya dikasih ruangan yang paling kotor sendiri.
Ini bukan soal ikhlas atau apa. Tapi ini soal menghargai sesama manusia. Saya juga sudah muak berkali-kali diginikan tapi saya hanya bisa diam saja. Bertahun-tahun loh lab itu tidak digunakan. Kalau saya tidak salah, lab itu terakhir tidak digunakan semenjak covid 19. Ya asli kotor dalamnya. Mohon maaf ya saya menulis ini tujuannya sebagai bahan pelajaran saja untuk saya dan semuanya. Bahwa menghargai jerih payah seseorang itu penting sekali. Selain itu, saya menulis ini karena dari kecil saya tidak memiliki watak seperti kepala sekolah saya. Dulu saya oleh teman saya dibantu daftar PPG, saya beri upah dia 50 ribu. Saya pernah dibonceng teman saya ke kecamatan Wuluhan. Saya beri dia uang bensin 20 ribu. Saya nyuruh murid saya belikan saya jajan di koperasi, saya beri dia uang. Nggak percaya, tanyakan saja mereka semua. Artinya apa, di sini ada kelainan sifat antara saya dan kepala sekolah yang pada akhirnya menuntut saya menulis peristiwa ini. Kalau ditanya ikhlas, saya ikhlas. Kalau nggak ikhlas, saya cukup bersihkan lab itu ala kadarnya saja. Uang 50 ribu atau 100 ribu nggak ada artinya buat saya. Tapi ini bukan soal uang, bukan soal ikhlas, tapi soal menghargai. Terima kasih